Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Hasan Tawil, sang pandu sejati itu, telah berpulang ke haribaan penciptanya, Kamis (12/8/2021), dalam usia 87 tahun. Sosok berperawakan kecil dengan pandangan tajam kelahiran Tolitoli, 5 Januari 1934 ini, selain dikenal sebagai penyintas tragedi kecelakaan pesawat di Gunung Tinombala, juga dikenal sebagai sosok pandu sejati.
Jamrin Abubakar, dalam buku 13 Tokoh Bersejarah Sulawesi Tengah yang terbit tahun 2013 menulis, Hasan Tawil mengawali jejak kepanduannya, dari Kepanduan SIAP saat masih berusia remaja di Tolitoli. Dirinya bahkan ikut dalam Jambore pandu se-Indonesia di Jakarta tahun 1955. Setahun berselang, ia dipercaya menjabat sebagai Komisaris SIAP untuk wilayah Sulteng. Pada saat peleburan berbagai gerakan kepanduan ke dalam Gerakan Pramuka di Provinsi Sulawesi Utara-Tengah tahun 1961 di Manado, Hasan Tawil juga terlibat di dalamnya.
Dirinya juga dikenang sebagai salah seorang sosok yang memperjuangkan berdirinya pusat perkemahan Pramuka di Paneki, Desa Pombewe, Kabupaten Sigi, pada tahun 1969. Dirinya juga pernah diberi amanah sebagai Ketua Kwartir Daerah Pramuka Sulteng di periode 1970-an. Dedikasi Hasan Tawil di dunia kepanduan ini, berbuah penghargaan Lencana Melati, yang merupakan penghargaan tertinggi dalan Gerakan Pramuka, yang diserahkan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, Letjen TNI (Purn) Mahadi, pada tahun 1996 di Jakarta.
Turut Dalam Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulteng
Selain aktif di kepanduan, sosok Hasan Tawil ternyata juga turut berperan dalam perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah. Jamrin Abubakar menulis, Hasan tawil menjadi bagian dari Gerakan Penuntut Pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah (GPPST). Gerakan ini digawangi oleh sejumlah tokoh seperti Ishack Moro, Rusdy Toana, Lolontomene Lamakarate, hingga KH Zainal Abidin Betalembah. Hasan Tawil sendiri menjadi anggota tim di Sulteng, mewakili daerah Tolitoli. Selain itu, dirinya juga merupakan salah seorang tokoh pembentukan Kabupaten Buol Tolitoli yang disahkan pada tahun 1960.
Kesempatan Kedua: Penyintas Tragedi Tinombala
Sepanjang perjalanan hidupnya, Hasan Tawil telah menyintas berbagai tragedi, termasuk tragedi paling membekas di hidupnya, yakni kecelakaan pesawat Twin Otter DHC-6 bernomor registrasi PK-NUP MZ-516 milik Merpati Nusantara Airlines, yang ditumpanginya bersama 19 penumpang dan 3 awak lainnya, di Gunung Tinombala, 22 Maret 1977. Kecelakaan ini menewaskan 13 dari 23 orang yang menumpang di pesawat tersebut, termasuk Husni Alatas, koresponden Tempo di Sulteng yang juga pemimpin redaksi surat kabar Sulteng Post, dan Harsono, pengurus Golkar Sulteng saat itu.
Dilansir dari Tempo edisi 23 April 1977, keberhasilan Hasan Tawil yang saat itu merupakan calon anggota DPRD Sulteng dari Golkar dengan nomor urut 13 untuk pemilu 1977, selamat dari kecelakaan naas itu, kemungkinan disebabkan oleh latihan kepramukaan, yang menolongnya dalam menemukan jalan keluar dari reruntuhan pesawat.
Hasan terlempar ke luar sejauh 7 meter dari pesawat. Saat melihat ke sekeliling, dirinya menemukan Haji Salim Midun dan isteri Husni Alatas. Dirinya mendengar Husni merintih minta tolong.
“Husni, di mana kau?” sahut isterinya yang mencoba merangkak mendapatkan suaminya dekat pintu pesawat.
Isteri Husni meminta pertolongan Hasan, karena kaki kirinya patah. Hasan kemudian memapahnya mendekati Husni, yang terjepit dekat pintu pesawat, persis pada bagian badan pesawat yang patah.
“Saya pungutkan kepingan badan pesawat dan saya tudungkan ke atas isteri Husni supaya dia tak kehujanan. Di sebelah Husni saya melihat Pak Harsoyo yang belum sadarkan diri. Kira-kira dua jam kemudian baru saya berangkat meninggalkan pesawat bersama ko pilot Masykur. Haji Salim Midun kami ajak juga untuk pergi meminta bantuan. Tapi karena luka di lututnya dia tak bisa ikut serta,” urai hasan, sebagaimana dilansir dari Tempo edisi 23 April 1977.
Begitu mereka berdiri di tempat yang pohon-pohonnya telah tumbang oleh benturan pesawat, Hasan melihat kampung dan mesjid yang terletak tak jauh di bawah. Dekat sekali. Dengan berbekal sebuah apel, mereka berjalan selama 5 jam untuk mencari kampung bermesjid itu. Tapi yang mereka temukan hanya sungai.
“Kami menginap semalam di tepi sungai yang deras itu. Kami berdua saling berangkulan selama tidur di atas batu, supaya tubuh kami hangat. Keesokan harinya ketika kami meninggalkan sungai itu, matahari sudah tak bisa kelihatan. Sungai yang kecil itu ditutup daun pepohonan yang tinggi. Empat hari lamanya kami tak pernah melihat matahari. Tanah berlumut dan lintah bukan main besarnya. Sebesar batang sapu lidi,” jelasnya.
Dari reruntuhan pesawat, mereka membawa permen dan roti sebagai bekal dalam perjalanan, tapi pada hari kedua, permen dan roti yang mereka bawa, tak sempat dimakan. Akibat derasnya aliran sungai, roti yang dilemparkan kepada Masykur, ternyata tak bisa ditangkapnya dan jatuh ke sungai. Kemudian ketika sampai di seberang, permen yang disimpan Hasan di kantongnya sudah habis mencair, selama berusaha menyeberangi sungai yang deras itu. Sisa makanan lainnya begitu pula: sudah habis dibawa sungai.
Hutan yang mereka lalui itu belum pernah dijamah manusia. Tak ada pohon kayu yang terpotong. Dan lintah – yang berwarna biru – kadang-kadang seperti terbang menghinggapi. Kaki, tangan dan pinggang penuh lintah. Mereka biarkan saja. Kalau lintah sudah terasa terlalu banyak yang mengisap darah, baru mereka turun ke sungai dan lintah itu lepas dengan sendirinya.
Hasan menceritakan, lapar hanya hari pertama mereka rasakan. Sesudah itu cuma haus. Mereka mencoba memakan daun-daunan tapi semuanya terasa pahit. Saban hari, mereka hanya bisa berjalan selama 6 jam. Mulai jam 7 dan berhenti jam satu siang. Saban hari hujan. Selain itu setelah jam satu, hari sudah mulai gelap.
Untuk mengatasi haus, mereka meminum air dari sungai.
Pada hari keempat, pada pertemuan sebuah sungai, mereka berdua berjumpa dengan Haji Salim Midu. Perjalanan kemudian diteruskan menyusuri sungai dan kalau sudah tiba waktu tidur, mereka tidur di gua-gua batu yang terletak di tepi sungai. Selama tidur, tubuh mereka saling bersentuhan, agar mereka di mana temannya berada, karena kalau sudah malam, jarak setengah meter teman tak kelihatan.
Pada hari kelima barulah kami melihat batang-batang pohon dipotong orang. Pada hari Minggu besoknya, kira-kira jam 11 siang, mereka berjumpa dengan setumpuk rotan. Hasan jadi yakin kampung yang dilihatnya pada hari pertama sudah dekat. Mereka duduk di atas rotan itu menunggu kalau-kalau yang punya datang. Lama menunggu, akhirnya mereka meneruskan perjalanan hingga mendekati sebidang tanah perladangan. mereka melihat seorang perempuan yang sedang bekerja di situ.
Mereka kemudian minta tolong. Perempuan itu melihat mereka sebentar, lantas pergi, kemudian muncullah dua orang laki-laki. Hasan bertanya sambil berteriak: “Ini kampung pa?”. “Ini Ongka”, jawab mereka.
“Kalau begitu ini sudah daerah Donggala,” batin Hasan.
Mereka kemudian berkenalan, dan dari perkenalan itu Hasan tahu orang tadi berasal dari Jawa. Kemudian dia meminta Masykur untuk bicara dengan mereka. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa, di mana ko pilot itu mengatakan dia dan Hasan serta pak Midu, adalah korban pesawat yang jatuh. Dari tempat itu, mereka harus berjalan dua kilometer lagi, barulah berjumpa dengan mantri. Esok paginya sekitar jam 11.00, Hasan sudah sampai di Tolitoli menumpang heli.
Tidak Kapok Naik Pesawat
Setelah peristiwa naas itu, Hasan sama sekali tidak kapok naik pesawat. Dilansir dari Tempo edisi 28 Oktober 1978, lebih setahun setelah peristiwa naas itu, tepatnya pada September 1978, Hasan Tawil dengan beberapa orang dari Palu datang ke Jakarta, membawa berapa nama calon gubernur, untuk disetujui dan dipilih Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud. Pesawat DC-9 Garuda yang ditumpanginya ke Jakarta, salah satu mesinnya macet, namun untung bisa mendarat dengan selamat.
Kembali dari Jakarta, saat Hasan Tawil dalam perjalanan ke Toli-Toli naik Twin Otter, pesawat terjebak oleh kabut tebal, dan diperkirakan di atas daerah Tinombala. Lepas dari kabut tebal, Hasan masih sempat berujar kepada seorang penumpang di sampingnya “Itulah sungai yang kami lalui, ketika kami jatuh tahun lalu,” katanya. Tidak ada yang menanggapi omongannya, karena belum lepas dari ketegangan.
Ketika pesawat selamat mendarat di Toli-Toli, seorang penumpang berkata: “Lain kali kalau naik pesawat, lihat dulu daftar penumpang, ah. Kalau ada Hasan Tawil lebih baik tunda saja keberangkatan.” ***