Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Pada masa kolonial, Palu yang belum merupakan sebuah kota besar, ternyata pernah memiliki wahana komidi putar. Wahana komidi putar ini digerakkan dengan mesin uap.
Berita tentang keberadaan wahana komidi putar ini, dituliskan oleh jurnalis surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, Loupke Luna, pada surat kabar tersebut, edisi 10 Juni 1939. Tulisan dengan judul Dagh-Register, De Stoom-Mallemolen itu, menuliskan tentang Wali Kota Manado yang tertipu membeli wahana komidi putar rusak dari Palu.
Willa Widiana dalam tulisannya Zaman Dulu, Komidi Putar Digunakan untuk Latihan Berkuda, yang diterbitkan laman bobo.id menjelaskan, komidi putar atau carousel menggunakan tenaga uap, mulai digunakan pada tahun 1800-an. Sebelumnya, komidi putar digerakkan oleh tenaga hewan seperti keledai dan tenaga manusia.
Loupke Luna menulis, di lanskap Palu, di mana pada suatu hari sebuah festival besar akan diadakan, pejabat lanskap yang telah mengenal komidi putar uap sejak masa mudanya, muncul dengan ide untuk membangun komidi putar untuk festival tersebut.
Rencana tersebut mendapat dukungan umum. Mereka mulai bekerja, perhitungan dan konstruksi dilakukan dengan ekspektasi tinggi masyarakat Palu.
Saat festival dilaksanakan, penduduk disebut kagum dengan kehadiran komidi putar ini. Loupke menyebut, masyarakat Palu belum pernah melihat yang seperti ini dalam hidup mereka. Mereka duduk dengan bangga di komidi putar, menunggu apa yang akan terjadi.
Kemudian, mesin uap komidi putar dihidupkan dan mengeluarkan uap, tetapi kecepatan komidi putar tidak bertambah. Komidi putar hanya berputar perlahan, yang digambarkan Loupke berputar dengan kecepatan siput, sementara orang-orang Palu menunggu sensasinya. Tapi, sensasi yang ditunggu tidak datang, karena komidi putar tetap berputar lambat.
Akibat insiden ini, masyarakat Palu pun tidak menyukai kehadiran komidi putar uap ini. Loupke menulis, insiden ini adalah kegagalan total dan kemudian benda itu disingkirkan.
Lanjut Loupke, suatu hari di lanskap Palu, datang Wali Kota Manado. Dia diterima dengan ramah, dan menceritakan tentang kotanya Manado dan apa yang bisa dialami di sana, dan ada pembicaraan tentang pesona Palu.
Kemudian tulis Loupke, di malam hari, melalui keramahtamahannya, Wali Kota Manado yang dikenal dermawan, ditawarkan komidi putar di Palu yang disebut sebagai sebuah keajaiban. Malam itu, Wali Kota Manado membuat keputusan yang berani untuk membeli komidi putar ini, dengan harga empat ribu gulden.
Komidi putar inipun berpindah tangan dan diangkut ke Manado. Namun ketika suatu saat kaum bangsawan Manado ingin merasakan sensasi komidi putar uap, komidi putar tersebut berhenti bekerja sama sekali.
Di Palu, komidi putar ini berjalan lambat, yang membuat penduduk asli yang tidak terbiasa mengira itu sebuah penipuan. Tetapi di Manado, komidi putar ini tidak bermain sama sekali, tidak peduli berapa banyak uap yang diberikan. ***