Oleh: Lukman Nadjamuddin (Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Tadulako)
Penantian panjang sosok pahlawan nasional asal Sulawesi Tengah menemui titik akhir, pada hari ini, Rabu, 10 November 2021, ketika Tombolotutu (tokoh dari Sulawesi Tengah), bersama tiga tokoh lainnya, yakni Sultan Aji Muhammad Idris (tokoh dari Kalimantan Timur), Aji Usmar Ismail (tokoh dari DKI Jakarta) dan Raden Arya Wangsa Kara (tokoh dari Banten), mendapat penganugerahan gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan Republik Indonesia Tahun 2021 oleh Presiden. Sebelumnya, pada 28 Oktober 2021, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui Youtube menyatakan, Presiden Joko Widodo kembali memberikan gelar pahlawan nasional di tahun 2021. Dari ratusan nama yang diajukan, diputuskan untuk memberikan gelar pahlawan kepada empat tokoh tersebut di atas.
Tombolotutu, yang penetapan gelar pahlawan nasional sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 109/TK/2021 tentang penganugerahan pahlawan nasional, secara silsilah merupakan anak dari Massu dan Pua Lara. Massu merupakan saudara tiri lain ibu dengan Pondatu, Raja Moutong ke empat (1881 -1892), yang keduanya merupakan anak dari Magalatung atau bergelar Pua Datu Mula, yakni Raja Moutong kedua. Kurais D. P. Masulili menyebutkan, jiwa kepahlawanan Tombolotutu sudah tampak sejak belia. Begitu juga dengan karakter kepemimpinannya, selalu tercermin dalam aktivitas keseharian, terutama saat berdomisili di Molosipat. Menjelang dekade akhir abad XIX, situasi Moutong makin sukar ke luar dari tekanan Belanda. Saat kontrak perjanjian tahun 1897 dibuat, Moutong tidak bebas menentukan nasib sendiri, melainkan ditentukan oleh Hindia Belanda, bahkan suksesi kekuasaan Kerajaan Moutong menjadi bagian dari hegemoni Hindia Belanda. Dukungan Belanda kepada Daeng Malino, ekploitasi emas, dan pengusaan sumber daya alam menjadi alasan utama timbulnya perlawanan Tombolotutu.
Intervensi pemerintah kolonial terutama oleh E. J. Jellesma, Residen Manado, tampak pada penolakan terhadap pengukuhan Tombolotutu sebagai Raja Moutong menggantikan Pondatu. Belanda lebih memilih Daeng Malino yang dilantik setelah menandatangani kontrak politik. Sejak awal, banyak yang meragukan legitimasi Daeng Malino dalam menduduki tahta, sebaliknya cenderung melegitimasi Tombolotutu yang selalu mendapat dukungan kuat dari “arus bawah”, karena sejalan dengan masyarakat atas penolakan terhadap sejumlah kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam Koloniaal Verslag over het jaar 1901-1902 dijelaskan, Tombolotutu tidak puas terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi akibat intervensi Belanda. Begitu juga dengan pembagian tanah-tanah pasini, yang diubah menjadi lahan eksploitasi pertambangan oleh perusahaan besar di bawah kendali Belanda. Bagi Tombolotutu, tidak ada pilihan kecuali mengibarkan bendera perlawanan kepada Belanda dan berkomitmen mempertahankan Moutong sebagai kerajaan yang merdeka dari dominasi kolonial.
Henri Hubert van Kol, Anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah Parlemen Belanda) dari Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP), yang memberikan perhatian terhadap Tombolotutu, mengecam Baron van Hoevell, Gubernur Celebes, sebagai pihak paling bertanggungjawab terhadap perlawanan Tombolotutu, yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa dan besarnya pengeluaran anggaran. Dalam pers kolonial yang memuat kunjungan Baron van Hoevell ke Sulawesi Selatan, van Kol mempertanyakan kepada Tuan Gubernur, mengapa sekarang Kompeni Belanda menjadi sebuah gerombolan perampok? Mengapa Tombolotutu yang memiliki hak atas tahta Moutong tidak dipilih sebagai raja? Mengapa harta Tombolotutu disita dan dirampas, tanpa meminta pertanggungjawaban dia terlebih dahulu? (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, 3 Februari 1902, lbr. 2).
FOTO: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, 3 Februari 1902.
Pertanyaan yang menggelitik di atas bagi seorang pejabat tinggi Belanda yang bertanggungjawab atas pemerintahan suatu wilayah terluas di Sulawesi jelas menunjukkan adanya kritik tajam terhadap sejumlah kebijakan yang ditempuh. Gubernur Baron van Hoevell tidak memberikan komentar atas pertanyaan itu, melainkan menyerahkan kepada Gubernur Jenderal Rooseboom di Batavia. Hal ini mengisyaratkan bahwa van Hoevell menyadari kesalahan langkah yang diambil pemerintah dan tidak ada alasan menjadikan Tombolotutu sebagai penyebab perlawanan. Residen Manado, Jellesma, juga menjadi sasaran kritik dan turut bertanggungjawab atas ekspedisi militer ke Moutong dengan segala implikasinya. Jellesma dianggap mendukung Daeng Malino, yang sebenarnya tidak berhak menduduki tahta Kerajaan Moutong, sebaliknya menyingkirkan Tombolotutu. Selain itu, Jellesma dituduh telah memberikan informasi kepada pemerintah di Makassar dan Batavia, sehingga pimpinan tertinggi pemerintahan Belanda membuat keputusan yang berakibat munculnya perlawanan Tombolotutu.
Kondisi makin tegang, terutama di kalangan pers, ketika polemik mulai muncul dan mengganggu kenyamanan para pejabat kolonial Belanda. Hal ini mendorong van Kol berkunjung ke Sulawesi Tengah pada 26 Juni 1902, untuk melihat peristiwa yang terjadi. Dari hasil kunjungan tersebut disusun laporan tertulis pada tangal 31 Agustus 1902 dan mengirimkan kepada pers kolonial sebagai berikut:
”Ketika saya tiba di Donggala pada 26 Juni, seorang tokoh Bugis menunjukkan dari sebuah ketinggian tempat Tombolotutu terbunuh karena kesalahan pemerintah Belanda dan menambahkan “tidak adil!” Saya merasa malu dan terdiam. Penduduk Bolano yang tanpa tahu apa-apa ikut dihukum dan harus menanggung beban berat akibat bantuannya kepada Tombolotutu. Para pemimpinnya dipecat dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama 10 tahun dengan dirantai, kepada perampas tahta Moutong mereka menyerahkan 1/10 dari semua panennya sebagai hasil untuk membuktikan kepatuhan” (“Mooeton” dalam Soerabajasch Handelsblad, tanggal 29 Oktober 1902, lbr. 2).
FOTO: Soerabajasch Handelsblad, tanggal 29 Oktober 1902