BALUT, MERCUSUAR – Kepala Dinas (Kadis) Pariwisata Kabupaten Banggai Laut (Balut), Ruslan Tolani menyebutkan bahwa rumah kuno bekas kediaman ‘Jogugu’ Banggai yang saat ini digunakan sebagai kantor Dinas Pariwisata Balut hanya sementara. Sebab pembangunan Kantor Dinas Pariwisata Balut sedang dalam proses tindak lanjut.
“Gedung ini hanya dipakai sementara. Pembangunan kantor baru sudah kami usulkan dan sedang dalam proses tindak lanjut,” jelas kadis merespon isu yang berkembang di masyarakat menjelang momentum adat penjemputan telur Maleo (Malabot Tumbe) pada bulan Desember bahwa situs sejarah Kerajaan Banggai di Balut keunikan budayanya kini sudah hampir punah karena proses rehab, salah satunya kantor Dinas Pariwisata, pekan lalu.
Dikatakannya, meskipun ada proyek rehabilitasi kantor, pihaknya tetap menjaga agar tidak menyentuh apalagi merubah konsep bangunan yang sudah ada.
“Kami pun punya komitmen yang sama dalam hal menjaga warisan budaya semaksimal mungkin,” tegasnya.
Dijelaskan Kadis, sejumlah langkah yang telah diupayakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk pelestarian bangunan-bangunan lama. Dimana pihaknya sudah merampungkan site plan rencana penataan gerbang dan halaman istana keraton Banggai, termasuk gerbang bersama konsultan dan adat. “Untuk site plan gerbang dan halaman keraton, pihak konsultan bahkan sudah presentasi bersama tokoh adat,” katanya.
Sebelumnya, tetua adat Balut, Syarif Uda’a menyoroti situs sejarah Kerajaan Banggai di Balut yang keunikan budayanya hampir punah, kota lama Banggai perlahan ‘tersulap’ menjadi kota modern.
Salah satunya yang disebutnya bekas rumah Jogugu yang kini jadi kantor Dinas Pariwisata. Bangunan tersebut bukan hanya beralih fungsi tapi kini sudah mulai berganti bentuk, karena proyek rehabilitasi yang tak mengacu model aslinya,
“Ini layak jadi keprihatinan bersama. Terutama bagi para kandidat yang lagi bertarung memperebutkan kursi kepala daerah,” kata Syarif Uda’a.
Dia mengaku tak punya kemampuan cukup untuk membendung tren kepunahan yang terus melanda aset-aset kerajaan itu.
Selain terbatas modal, ia juga juga merasa para pemangku adat tak lagi ‘bergigi’. “Yang pertama harus ada kepedulian pemerintah. Mereka yang punya anggaran dan kekuasaan. Sudah selayaknya berada digaris depan,” ujarnya. RM