PALU, MERCUSUAR – Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) dengan dukungan program kemitraan Wallacea II Burung Indonesia dan Critical Ecosystem Patnership Fund (CEPF), melaksanakan Workshop Pengesahan Kesepakatan Pengelolaan dan Perlindungan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Area XI Pulau Bakalan dan Bakalan Mauno, Kamis (21/4/2022), bertempat di Aula Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Direktur Komiu, Gifvents Lasimpo, dalam sambutannya menjelaskan, tujuan dilaksanakannya workshop ini, yakni membangun kesepahaman pengelolaan dan perlindungan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Area XI Pulau Bakalan dan Bakalan Pauno. Kesepahaman ini kata dia, akan ditandai dengan penandatangan kesepakatan pengelolaan dan perlindungan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Area XI Pulau Bakalan dan Bakalan Pauno, antara pemerintah desa, kelompok nelayan dan Kepala UPT KKP3K Banggai Dalaka.
Workshop ini menghadirkan Kepala UPT Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Banggai Dalaka, Fonni Helmince. Dalam pemaparannya, Fonni menjelaskan, berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 53/KEPMENKP/2019 tentang kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Banggai, Banggai Laut dan Banggai Kepulauan dan perairan sekitarnya di Provinsi Sulteng, membagi wilayah konservasi pesisir menjadi 13 area pengelolaan yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Banggai, Banggai Laut dan Banggai Kepulauan.
Fonni menjelaskan, pada Area XI yang menjadi wilayah pengawasannya, terdapat sejumlah isu yang merupakan hasil pengamatan pihaknya, yakni masih maraknya aktifitas perikanan destruktif oleh masyarakat, masih terjadi penangkapan Penyu yang merupakan biota terancam punah, masih kurangnya kepedulian terhadap lingkungan di mana laut menjadi tempat pembuangan sampah, belum terwujudnya peran Bumdes dalam mengelola potensi wisata bahari, serta para milenial belum terdorong untuk menemukan sumber ekonomi baru.
Hal ini kata dia, terjadi karena beberapa faktor, seperti masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, adanya pola pikir yang keliru terhadap Kawasan Konservasi, tingkat pendidikan kejuruan life skill belum memadai, serta masyarakat miskin sebagian besar berada di pedesaan pesisir sekitar kawasan.
“Saya berharap kepada pemerintah desa dan kelompok nelayan yang akan menandatangani kesepakatan ini, apa yang tercantum dalam poin kesepakatan, hendaknya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, karena laut adalah masa depan kita,” ujarnya.
Adapun Pulau Bakalan sendiri memiliki luas ± 4.144 Hektar dan Bakalan Pauno ± 670,70 Hektar. Kedua pulau tersebut ditetapkan menjadi Area XI sub zona penangkapan ikan, dengan luasan wilayah pengelolaan mencapai 5.733,60 Hektar dan terbagi berupa zona pemanfaatan terbatas, yang terdiri dari sub zona penangkapan ikan dengan luas 5.660,60 (lima ribu enam ratus enam puluh koma enam nol) Hektare dan sub zona wisata bahari dengan luas 73 (tujuh puluh tiga) Hektare.
Di Pulau Bakalan terdapat 3 desa yaitu Desa Bulungkobit, Desa Bungin dan Desa Bakalan, namun penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, berpusat di Desa Bungin. Dalam praktek pengelolaannya masyarakat nelayan yang menangkap ikan di perairan pulau tersebut memiliki 10 spot wilayah tangkapan ikan dan beberapa di antaranya adalah wilayah perlindungan lokal. Pada perairan pulau Bakalan dan Bakalan Pauno, praktek penangkapan ikan tidak hanya dilakukan oleh nelayan yang ada di 3 desa tersebut, akan tetapi terdapat juga nelayan yang berasal dari Desa tetangga diantaranya Desa Bongganang, Desa Pondi-pondi, Desa Tata Kalai, Desa Montop, Desa Tinangkung, Desa Kautu dan Desa Kalambatan.
Tidak terkoordinasinya wilayah perlindungan dan tangkapan lokal membuat tingginya potensi konflik antara nelayan. Maraknya praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan selama ini, berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan pada perairan pulau tersebut. Merujuk data Badan Pusat Statistik Kabupaten Banggai Kepulauan tahun 2017, produksi perikanan tangkap di Kecamatan Tinangkung yang di dalamnya termasuk Pulau Bakalan, memperlihatkan penurunan drastis, di mana pada tahun 2015 terdapat produksi tangkapan ikan mencapai 2.310 ton, sedangkan di tahun 2017 mengalami penurunan hanya 705 ton.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah desa, kelompok nelayan dan masyarakat yang bermukim di Pulau Bakalan bersepakat untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan pada wilayah Pulau Bakalan dan Bakalan Pauno. JEF