BUOL, MERCUSUAR-Menginjak usia 21 tahun, perkembangan Kabupaten Buol belum sepenuhnya sesuai harapan pada awal pemekaran. Tanggal 12 Oktober 1999, saat Buol mekar dari Kabupaten Buol Tolitoli, semangatnya adalah peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah.
Salah satu tokoh pemekaran Kabupaten Buol, Syamsuddin Salakea mengungkapkan, kemajuan daerah dirasakan lambat jika dibandingkan kabupaten lain yang seusia Buol. Kabupaten ujung utara Sulteng itu mekar bersamaan dengan Kabupaten Morowali dan Banggai Kepulauan melalui UU No. 51 Tahun 1999.
“Sebagai refleksi, semangatnya kita mekar dari Tolitoli supaya pembangunan bisa digenjot dan masyarakat lebih sejahtera. Dalam perkembangannya, jika dibandingkan Morowali, Buol masih kalah,” kata Syamsuddin, Selasa (13/10/2020).
Bahkan Bangkep dan Morowali, diluar konflik penempatan ibukota, saat ini telah mekar menjadi dua kabupaten baru. Bangkep melahirkan Banggai Laut, dan Morowali mekar menjadi Morowali dan Morowali Utara.
“Padahal saat pemekaran, potensi Buol lebih baik dari kedua daerah. Misal akses masuk daerah. Buol memiliki akses masuk dari tiga moda transportasi darat, laut, dan udara. Bangkep dan Morowali hanya darat dan laut. Buol belum bisa memanfaatkan akses itu dengan optimal, sebagai pintu masuk pergerakan ekonomi,” ujarnya.
Dampaknya, distribusi ekonomi Buol hingga kini masih didominasi barang dari Tolitoli dan Gorontalo. “Ini yang mengakibatkan harga barang di Buol menjadi lebih mahal, karena ada tambahan biaya transportasi dari Tolitoli dan Gorontalo,” ucap mantan Kepala Bappeda Kabupaten Buol ini.
Syamsuddin mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi ekonomi Buol, khususnya ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat yang belum mampu dipenuhi produksi dalam daerah. Buol belum mampu swasembada pangan di usia 21 tahun. “Sampai hari ini, sebagian kebutuhan beras kita di Buol didatangkan dari Gorontalo. Malah ikan juga dari Tolitoli. Padahal kita punya pantai yang cukup panjang dan langsung berhadapan dengan laut, sebagai daerah terdepan Indonesia di bagian utara Sulawesi. Potensi ini belum tergarap dengan baik. Dampaknya bahan kebutuhan pokok mahal. Tentu ini bisa lebih murah, jika produksi dalam daerah meningkat,” katanya.
Syamsuddin berharap pemerintah Buol hari ini dan kedepan, mampu mengembangkan potensi yang ada dan menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah untuk biaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Potensi terbesar Buol apa? Sektor kelautan dan pertanian. Ini yang harus digarap. Tingkatkan daya saing petani, nelayan, dan anak-anak muda kita. Bekali mereka dengan kemampuan wira usaha. Saat saya di Bappeda, pernah lakukan kajian. Hasilnya apa? Jiwa bisnis atau kewirausahaan masyarakat Buol rendah. Ini harus dibangkitkan, ditingkatkan. Sehingga bisa mendongkrak sektor pertanian dan kelautan, jika dikelola dengan pendekatan bisnis dan kewirausahaan. Masyarakat menjadi lebih produktif dan memicu pertumbuhan ekonomi,” saran Syamsuddin.
Syamsuddin juga mengingatkan pemerintah dan DPRD, agar tidak terobsesi dengan infrastruktur yang mahal, namun tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
Syamsuddin menyontohkan pembangunan jalan di Kabupaten Buol, secara umum menggunakan aspal hotmix. Menurut Syamsuddin, penggunaan jenis aspal tergantung pada jenis dan fungsi jalan.
“Untuk apa jalan dibangun dengan hotmix yang mahal kalau yang lewat hanya sapi atau kendaraan satu atau dua? Jalan dibangun mahal, tanpa mempehitungkan fungsi dan kelas jalan. Semua rata menggunakan hotmix, tanpa memperhitungkan angka kendaraan yang lewat. Jika pemerintah dan DPRD lebih rasional dan realistis dalam penganggaran, pembangunan jalan bisa lebih murah dan kelebihan anggaran bisa dialihkan untuk program dan kegiatan lain, yang benar-benar prioritas sesuai kebutuhan daerah dan masyarakat,” tuturnya.
“Saya lihat di Buol rata menggunakan hot roller sheet (HRS) untuk semua jenis jalan. Ini mahal. Padahal fungsi aspal sebagai lapis permukaan konstruksi agar kedap air. Mestinya dalam perencanaan, perkuatan lapisan di bawahnya atau tanah yang dijaga.
Saran saya, untuk jalan-jalan lingkungan atau jalan desa yang tidak terlalu banyak beban kendaraan bisa menggunakan sand sheet, ini lebih murah dan efesien sepanjang lapisan bawah aspal dan tanahnya dilakukan perkuatan dengan baik,” imbuhnya.
Syamsuddin sebagaimana masyarakat Buol lainnya, masih memiliki keyakinan jika pemerintahan dikelola dengan baik, cita-cita pemekaran akan terwujud di masa yang akan datang.
“Apapun kondisi Buol saat ini, kita semua harus membangun sikap optimistis. Bersama-sama mewujudkan Buol sesuai harapan masyarakat dan semangat saat pemekaran. Saya ucapkan selamat ulang tahun Buol, semoga kedepan Buol lebih maju dan sejahtera,” tutup Syamsuddin. TMU