Saat Air Menarik Saya, Menenggelamkan Saya
Jumat, 28 September 2018 seharusnya menjadi hari bahagia bagi warga Kota Palu, begitu juga dengan saya yang bertugas meliput pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni ke-III tahun 2018 di Anjungan Palu Nomoni. Apalah daya, badai tsunami sesaat setelah gempa dahsyat menghantam pesisir Kota Palu membuyarkan segalanya.
Dalam beberapa tahun terakhir saya ditugaskan untuk mengawal program dan kegiatan Pemerintah Kota Palu. Praktis, setiap tahun saya terlibat dalam peliputan perayaan Hari Jadi Kota Palu, termasuk ketika perayaan Hari Ulang Tahun masih bernama Festival Teluk Palu di masa kepemimpinan Rusdy Mastura.
Dan Jumat di penghujung September itu adalah festival ketiga yang diselenggarakan di era kepemimpinan Hidayat-Sigit selaku Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Wawali) Palu. Kegiatan dengan mata acara utama festival kesenian dan hiburan ini dihelat sehari setelah ibu kota Sulteng berulang tahun ke-40, 27 September 2018.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Jumat itu saya datang lebih awal di lokasi Festival Pesona Palu Nomoni. Letaknya di bibir pantai Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, tepat di sebelah jembatan Palu IV—ikon Kota Palu. Selain untuk menghindari macet, di sini, saya bersama teman-teman komunitas Tangan Di Atas (TDA) turut terlibat dalam lapak UKM milik Dinas Koperasi, UKM dan Ketenagakerjaan Kota Palu. Jadi, selain akan meliput pembukaan yang dijadwalkan berlangsung pukul 19.30 Wita, saya juga ikut meramaikan lapak TDA.
Waktu itu sekitar pukul 15.00 wita. Dari rumah di Jalan Kelor, Kelurahan Balaroa, Palu Barat, saya singgah dulu di Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik yang berada di Jalan WR Supratman, Kelurahan Lere, Palu Barat. Saya ke sana untuk melengkapi berkas penjurian lomba kebersihan yang akan diumumkan pada malam penutupan Fastival Palu Nomoni. Baru saja ngobrol dengan Kabid Kelembagaan Adat Kesbangpol, Moh Iqbal, terjadi gempa. Sontak pegawai berhamburan keluar. Setelah reda, perjalanan kembali saya lanjutkan ke Kampung Kaili, lokasi Festival Pesona Palu Nomoni, tepatnya di Soki-soki atau Sou-sou. Di sini saya ingin meliput persiapan dari para lurah. Di Sou-sou, setiap pemerintah kelurahan dituntut secara kreatif untuk menampilkan kerajinan, termasuk makanan khas, seperti surabe, dange, dan lain sebagainya.
Sekitar pukul 17.00 wita, Wali Kota Hidayat bersama Wawali Sigit Purnomo Said didampingi Kadis Perumahan dan Pemukiman Kota Palu datang mengontrol persiapan dan kebersihan Soki-soki. Wawali sempat menegur pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraannya di dekat Soki-soki. Aparat dari dinas perhubungan pun seketika diperintahkan untuk meminta warga mengeluarkan kendaraan tersebut. Sigit juga sempat naik ke atas panggung dengan memegang pengeras suara dan meminta semua masyarakat yang berada di area Kampung Kaili untuk menjaga kebersihan.
Setelah berkeliling sebentar, wali kota dan wawali berpamitan untuk pulang mandi dan Salat Magrib, karena waktu pembukaan pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni sudah dekat. Di Kampung Kaili, panitia terus bekerja: merampungkan panggung, mengecek pengeras suara, merapikan stand. Pengunjung pun mulai berdatangan, tak terkecuali anak-anak dan orang tua yang ingin menikmati panorama teluk.
Saya pun kembali ke stand TDA untuk duduk sambil memanfaatkan waktu dengan mengetik berita mengenai sidak yang baru dilakukan Wali Kota Palu. Baru saja dua paragraf saya lewatkan di telepon genggam, tiba-tiba terjadi gempa yang goncanganya besar. Tenda krucut yang ada di sekitar saya berjatuhan. Begitu juga jualan dari dalam tenda di Kampung Kaili ikut berhamburan. Jempatan Palu IV ambruk.
Saat gempa berkekuatan 7,7 SR pada 18.02 wita itu, saya belum langsung lari, sebab sempat jatuh dan duduk di atas rak jualan. Baru beberapa langkah saya merangkak ke luar area tenda, saya melihat orang sudah berlarian. Kepanikan terjadi. Banyak yang jatuh. Saya ingin menangkap momen ini dengan merekam suasana gempa tersebut. Namun yang membuat saya panik, saat melihat aspal yang saya pijak sudak retak dan terus meluas.
Ke arah bibir pantai, ombak besar berwarna cokelat terus menggulung. Tingginya kira-kira 4 sampai 5 meter. Gelombang itu menerobos ke Kampung Kaili. Sontak saya memacu langkah sekencang-kencangnya ke arah gedung di depan saya: Ditlantas Polda Sulteng. Saya berlari tanpa alas kaki sambil mencoba memasukkan handphone ke dalam tas.
Tak lagi terpikir untuk menyelamatkan motor. Saya sudah takut dengan ombak besar dari arah pantai. Saat sudah berdiri di samping Ditlantas, saya menoleh ke belakang dan melihat air gulungan ombak berhenti. Nahas, gempa masih terjadi. Warga dan penyintas terus berlari dalam kondisi oleng. Orang-orang berupaya menerobos pagar gedung di belakang Ditlantas.
Tadinya saya berpikir air tidak akan datang lagi, namun saat hampir saja dapat memanjat menuju dinding belakang kantor Ditlantas, air sudah menarik saya, menenggelamkan saya. Di dalam air, saya berusaha sadar dan mencoba bangkit sambil melafadzkan doa memohon ampun kepada Allah. Saat air tidak lagi berarus, saya dapat bangkit dengan beberapa korban, termasuk seorang anak lelaki yang terus menangis mencari ibunya.
Saya mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Celana panjang tersangkut sehingga menyulitkan saya berdiri. Tas model selempang warna biru yang saya pakai berisi kamera kerja, dua telepon, buku, dan dompet ikut terlepas dari badan saya. Dengan kondisi tangan yang masih sakit, saya mencoba merangkul anak kecil tersebut yang terus menagis dan mengiggil kedinginan sambil menepi di dinding.
Orang-orang berupaya memanjat reruntuhan kayu sisa tsunami untuk naik ke atap gedung Ditlantas Polda. Karena saya tidak bisa bergerak sebab kaki dan tangan semua sakit, saya hanya bisa berteriak meminta tolong sambil melafalkan istigfar dengan suara yang serak.
Tiba-tiba seorang lelaki berteriak menunjukkan jalan ke arah belakang gedung yang tembus ke Jalan Hayam Wuruk. Saya, anak kecil itu, dan seorang perempuan, mencoba berjalan perlahan sambil meminta tolong saat akan keluar gedung itu. Lagi-lagi gempa terjadi. Dengan kaki pincang, kami terus berjalan mencari tempat aman. Maka, bersama rombongan saya masuk ke sebuah masjid di Jalan Mulawarman. Di sana sudah banyak orang-orang berkumpul. Suasana gelap. Listrik padam.
Cukup lama saya berlindung di masjid dengan keadaan sakit di kaki. Orang-orang menangis. Sebagian lagi berkumpul dan duduk di tangga masjid dengan kondisi luka.
Karena kaki saya semakin terasa sakit, saya terus menggulung celana. Saat saya meraba luka, terasa ada daging keluar di belakang lutut. Lantaran tak tapat menekuk lutut, saya memilih memeluk pohon saat kembali terjadi gempa. Dan setelah tenang saya mencoba mencegat pengendara motor untuk meminta tolong diantar pulang.
“Pak, bisa tolong antar saya pulang,” kata saya. “Saya juga ini lagi cari keluarga,” kata bapak pengendara motor itu. Saya pasrah. Begitu terus beberapa kali saya mencoba meminta tolong mengingat ayah saya sedang sakit stroke di rumah. Akhirnya mukjizat itu datang. Seorang teman yang saya jumpai di masjid meminta tolong temannya untuk mengantar kami. Dengan berbonceng tiga, saya dapat pulang ke Jalan Kelor, rumah saya.
Di jalan, orang-orang berkumpul untuk mengungsi dengan menggunakan mobil. Sebagian lagi lalu lalang dengan motor. Saat masuk ke Jalan Kelor, api berkobar dan melahap rumah yang ada di situ. Saya pun diturunkan di perempatan Jalan Ketimun karena kondisi jalan yang juga sudah ambles dan retak besar. Dari sana saya berjalan cepat sambil menyeret kaki kanan yang sakit. Rasa cemas semakin besar setelah melihat kondisi rumah tetangga banyak yang roboh. Air got meluap di jalan.
Di depan lorong jalan masuk rumah, saya menanyakan dimana keluarga saya, dan orang tua saya. Air mata tidak ada lagi. Yang saya ingat, saya harus kuat. Alhamdulillah, orang-orang berkata ayah saya aman dan ada di kebun sayur. Beberapa tetangga juga mengungsi di sana. Lega rasanya melihat mereka selamat.
Karena saya terluka parah, sepupu mengobati kaki kanan saya dengan kunyit dan mengikatnya dengan kain. Dan dengan beralaskan seadanya di bawah pohon pisang di dekat got depan petak sayur kankung, saya berbaring istirahat. Tubuh menggigil kedinginan sementara di belakang saya api berkobar. Orang-orang berteriak bahwa Perumnas yang ada di Kelurahan Balaroa sudah rata dengan tanah. Banyak yang ikut tertelan dengan rumah. Saya mau ke sana tapi tidak dapat bergerak. Rupanya Balaroa juga mengalami likuefaksi atau ambles setelah gempa.
Keesokan harinya, lelaki di tempat pengungsian, termasuk sepupu, mencoba mencari bensin. Harga bensin eceran tiba-tiba dijual Rp 50 ribu sebotol. Syukur, kami masih bisa makan dari bahan makanan yang tersisa di dalam rumah. Gempa pun masih terjadi sehingga kami harus saling berteriak untuk menghindari rumah.
Begitu sedihnya saya melihat rumah yang saya tinggali sejak kecil harus rusak karena gempa. Meskipun dari depan, rumah berlantai dua itu berdiri kokoh, namun terdapat banyak retakan di dalamnya. Dapur sudah ambruk. Barang-barang berhamburan. Di tingkat dua kamar saya lebih parah lagi. Plafon berjatuhan menimpa meja. Lemari baju terbelah menghamburkan seluruh isinya, dan begitu juga dengan meja rias ikut rusak tak berbentuk. Kacanya pecah menjadi serpihan kecil.
Melihat hal itu semua, kakak saya memutuskan rumah tersebut tidak dapat lagi ditempati sebab ada rasa khawatir akan bahaya. Lingkungan sekitar juga sudah tidak sehat sebab berbau mayat.
Luka di kaki baru bisa terobati pada Minggu (30/9/2018) atau dua hari pascagempa. Saat itu saya dijemput tante yang datang dari Pasangkayu, Sulawesi Barat untuk dibawa ke rumah tante saya di Lik Roviga, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Di sana, ada petugas kesehatan dari Sulawesi Barat yang datang membantu korban gempa. Dari petugas kesehatan itu, luka saya dibersihan dengan peralatan seadanya. Saya pun diarahkan untuk pergi ke rumah sakit, sebab luka saya harus dijahit. Luka dua hari itu hampir membusuk bila tidak ditangani serius. Entah berapa puluh jahitan di kaki saya dan berapa kali suntikan obat bius, kecuali itu saya hanya pasrah dijahit petugas di tenda depan RS Bhayangkara bersama korban tsunami dan gempa lainya. Setelah itu, saya dan ayah dibawa kakak pertama ke Gorontalo. Di provinsi penghasil jagung itu, beberapa pekan saya menenangkan diri dari trauma. Saya bersyukur masih diberi kesempatan hidup kedua dari Yang Maha Kuasa, Allah subhanahu wa taala. ***