Al-Kafalat dalam Bencana

Temu4

LIMA bulan berlalu sejak bencana 28 September 2019. Sampai hari ini,persoalan mendasar, hak-hak masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi. Mulai dari hunian sementara, hunian tetap, santunan, utang piutang, dan hak keperdataan lainnya menjadi isu yang ramai dibicarakan dan diharapkan segera terpenuhi.

Setiap kali bencana terjadi, pemerintah atasnama negara dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam rangka menangani bencana, mulai dari masalah antisipasi dini sampai pada proses penanganan dampak yang ditimbulkannya. Tanggungjawab pemerintah, sebenarnya telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sebagai perangkat hukum perlindungan bagi korban bencana.

Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang dimaksud adalah bahwa Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.

Jika ditelisik, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 belum sepenuhnya mampu mengakomodir hak-hak warga negara yang dilanda bencana. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebut secara eksplisit bahwa lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. Konsekuensi dari ini maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana.

Padahal Pembukaan UUD NRI Tahun1945 jelas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana alam, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum. 

Pasal 28H ayat (1) menyatakan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal inilah yang menjadi landasan dalam menjamin hak-hak korban bencana alam.

 

Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga ketika pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam kondisi susah tertimpa bencana, Islam mengatur agar negara menberikan hak tanggungan (Al-kafalat) pada warganya. Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Negara yang adil adalah negara dengan pemerintahan yang memenuhi hak kaum lemah, termasuk hak-hak korban bencana. Semoga hak-hak korban bencana segera terpenuhi secara keseluruhan dengan adil.***

 

 

Pos terkait