Oleh: Temu Sutrisno
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan mengambil keputusan. Jika dahulu pilihan politik, pola konsumsi, dan cara berpikir banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial secara langsung, kini teknologi tampil sebagai “tangan tak terlihat” baru (the new invisible hand) yang bekerja secara senyap namun sangat menentukan. Melalui algoritma dan data, teknologi mengarahkan apa yang kita lihat, baca, beli, dan percayai.
Di era digital, data menjadi fondasi utama sekaligus keunggulan kompetitif yang paling berharga. Setiap klik, pencarian, unggahan, dan transaksi meninggalkan jejak digital. Jejak inilah yang kemudian diolah oleh algoritma untuk membentuk profil personal setiap individu. Dari profil inilah sistem digital menyajikan konten, iklan, hingga rekomendasi yang dianggap paling relevan bagi masing-masing orang.
Dampaknya bisa dilihat bahkan dalam lingkup yang paling sederhana, yakni keluarga. Dalam satu rumah, ayah, ibu, dan anak bisa memiliki pandangan politik yang berbeda, kecenderungan konsumsi yang tidak sama, serta perhatian pada isu-isu yang berlainan. Perbedaan ini sering kali bukan semata karena perbedaan nilai atau pengalaman hidup, melainkan karena algoritma digital yang bekerja secara personal. Setiap anggota keluarga menerima arus informasi yang berbeda sesuai dengan profil digital masing-masing.
Perbedaan pilihan tersebut pada dasarnya dikendalikan oleh aliran data dan arsitektur algoritma. Siapa yang menguasai data, dialah yang memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi cara pandang dan keputusan orang banyak. Dari sinilah muncul konsep Algorithmic Leadership, yakni bentuk kepemimpinan baru yang tidak selalu tampak dalam struktur formal kekuasaan, tetapi sangat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku individu dan kelompok melalui sistem algoritmik.
Algorithmic Leadership tidak hanya hadir dalam ranah politik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan budaya. Di pasar digital, algoritma menentukan produk apa yang laris, pelaku usaha mana yang lebih terlihat, dan siapa yang tertinggal. Bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), algoritma platform digital bisa menjadi peluang sekaligus ancaman. Di satu sisi, teknologi membuka akses pasar yang luas. Namun di sisi lain, perubahan kecil pada algoritma dapat langsung memengaruhi penjualan dan keberlangsungan usaha.
Pergeseran struktural ini menciptakan tantangan besar bagi para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan, baik di pemerintahan, organisasi, dunia usaha, maupun dalam kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan tidak lagi hanya soal kemampuan mengatur manusia secara langsung, tetapi juga memahami dan mengelola sistem teknologi yang memengaruhi manusia. Tanpa pemahaman yang memadai, pengambil keputusan bisa tertinggal oleh kekuatan algoritma yang bergerak lebih cepat dari regulasi.
Meskipun teknologi digital menawarkan jangkauan global yang instan dan efisiensi tinggi, ia juga meninggalkan berbagai lubang kerentanan. Salah satu masalah utama adalah asimetri data. Platform digital besar menguasai data dalam jumlah masif, sementara pengguna dan bahkan negara sering kali memiliki akses yang terbatas. Ketimpangan ini memunculkan bias informasi, di mana algoritma hanya menampilkan sudut pandang tertentu dan menyembunyikan yang lain.
Selain itu, ketergantungan berlebihan pada algoritma berisiko mengurangi daya kritis manusia. Keputusan yang seharusnya melibatkan pertimbangan etis dan sosial bisa diserahkan sepenuhnya pada mesin. Lebih jauh lagi, pemilahan data oleh algoritma dapat menciptakan diskriminasi, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Kelompok tertentu bisa terpinggirkan hanya karena tidak sesuai dengan kriteria algoritmik yang ditetapkan.
Untuk mengantisipasi sisi negatif dari bias algoritma, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang komprehensif dan adaptif. Salah satunya adalah hibridisasi penegakan hukum yang menggabungkan pencegahan (ex-ante) dengan penindakan tegas (ex-post). Pencegahan dilakukan melalui regulasi yang jelas sejak awal, sementara penindakan diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap penyalahgunaan data dan algoritma.
Selain itu, peningkatan kapasitas digital forensik menjadi kebutuhan mendesak. Aparat penegak hukum dan lembaga pengawas harus memiliki kemampuan teknis untuk menelusuri cara kerja algoritma dan aliran data. Penyusunan protokol audit algoritma juga penting agar sistem digital dapat diuji secara transparan dan akuntabel. Audit ini bukan untuk menghambat inovasi, melainkan memastikan bahwa teknologi berjalan secara adil dan bertanggung jawab.
Kemudahan portabilitas data juga perlu dijamin. Pengguna harus memiliki hak untuk memindahkan data mereka dari satu platform ke platform lain tanpa hambatan yang berlebihan. Dengan demikian, dominasi segelintir platform dapat dikurangi, dan persaingan usaha menjadi lebih sehat. Dalam konteks ini, pembangunan Competition Capacity Hub dapat menjadi wadah kolaborasi untuk berbagi informasi, melakukan investigasi bersama, dan memperkuat pengawasan lintas sektor.
Tantangan ke depan diperkirakan akan semakin kompleks dengan hadirnya teknologi komputasi canggih yang berpotensi mengancam keamanan data nasional. Tanpa kesiapan yang matang, data strategis negara dan masyarakat bisa menjadi sasaran eksploitasi. Oleh karena itu, kolaborasi lintas lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional, menjadi keharusan. Regulasi juga harus terus beradaptasi secara progresif agar tidak tertinggal oleh laju teknologi.
Pada akhirnya, Algorithmic Leadership menuntut bentuk kepemimpinan baru yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga berlandaskan etika dan kepentingan publik. Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kemanusiaan, bukan sebaliknya. Dengan kebijakan yang tepat, literasi digital yang memadai, dan kolaborasi yang kuat, algoritma dapat diarahkan untuk menjadi kekuatan positif dalam membangun peradaban yang lebih adil dan berkelanjutan dalam visi kemanusiaan. ***
Palu, 22 Desember 2025
Penulis adalah Sekretaris PWI Sulteng, Pemerhati Etika Digital
(Tulisan ini merupakan pandangan pribadi, tidak mencerminkan sikap organisasi)







