REFLEKSI DUA TAHUN BENCANA PALU
Tepat dua yang lalu, gempa berkekuatan 7.4 SR menguncang teluk Palu. Kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana sangat besar. Ribuan orang meninggal dunia, belum lagi yang mengalami luka serta kehilangan tempat tinggal.
Dua tahun berlalu, sejumlah permasalahan penanganan pemulihan pascabencana terjadi di kota Palu, khususnya perencanaan yang berkaitan dengan penyiapan lahan relokasi dan pembangunan hunian tetap.
Tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban bencana, menolak rencana relokasi yang dilakukan pemerintah dengan berbagai alasan. Diantaranya, lokasi rekolaksi jauh dari tempat mereka mencari nafkah.
Dalam situasi ini, Yayasan Arsitektur Komunitas (Arkom) hadir ditengah-tengah para penyitas memberikan solusi, sehingga mereka bisa terus bangkit untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Masyarakat saling bahu membahu, bergotong royong untuk menata kembali hidup mereka. Nilai-nilai sosial, saling percaya antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, serta unsur kapasitas sosial lainnya menyebabkan penanganan pasca bencana berjalan dengan baik. Selain itu, penanganan dilakukan dengan pendekatan berbasis masyarakat dengan memperhatikan kearifan lokal.
Direktur Arkom Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), Yuli Kusworo mengatakan, sebelum memulai melakukan pendampingan kepada warga penyitas, Arkom melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau belum.
Ternyata apa yang dilakukan pemerintah kata Yuli, khususnya berkaitan dengan relokasi hunian tetap (Huntap) bagi penyitas yang ada di wilayah pesisir terjadi gap.
Menurutnya, sejak awal mendata warga pesisir yang ada di zona merah, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa warga yang berada di Zona merah harus direlokasi.
Masalahnya saat itu, tidak semua warga yang ada di zona merah atau nelayan tradisional yang ingin hidupnya tetap dekat dengan laut, bersedia pidah ditempat yang meraka anggap jauh.
Dari permasalahn yang ada, Arkom kemudian mencoba berkomunikasi dengan pemerintah daerah, apakah ada kemungkinan skema-skema yang bisa dilakukan. “Ternyata diawal masih sangat sulit, karena kebijakan yang ada ternyata relokasi mandiri hanya sifatnya yang berskala besar dan skala satelit,” kata Yuli.
Selanjutnya, Arkom berdiskusi dengan para penyintas terkait lokasi, dan ternyata ada 39 Kepala Keluarga (KK) di kelurahan Mamboro Barat, kecamatan Palu Utara, menginginkan relokasi mandiri tidak jauh dari tempat mereka mencari nafkah.
Dari diskusi ke diskusi yang berlangsung kurang lebih enam bulan lamanya, Arkom mencoba mencari solusi yang benar-benar sesuai dnegan harapan warga. Dan akhirnya ditemukan lokasi relokasi yang sesuai dengan keinginan warga. Bersama warga dan Arkom mulai membangun hunian tetap secara bergotong royong.
“Warga mau bergotong royong, berswadaya, meluangkan waktunya, dan ini luar biasa sekali. Inilah yang menjadi bagian penting dari proses Arkom. Kita menggangap rekonstruksi ini bukan sekedar membangun rumah, tetap membangun komunitas dan kehidupan. Artinya, setiap proses menjadi bagian penting dimana masyarakat bisa terlibat,” kata Yuli.
Menurtnya, Arkom ingin menekankan soal phsikologis bahwa warga bukan korban, namun bagaimana mereka bisa bangkit bahkan bisa membangun kampunya sendiri . itulah semangat yang selalu Arkom tekankan dari awal proses, karena Arkom yakin warga adalah penyintas yang memiliki kekuatan untuk bangkit.
Dari hal itu, kata dia, secara perlahan, akan tumbuh semangat, kebersamaan, gotong royong dan bersedia menerima satu sama lain. Akhirnya dua tahun setelah bencana, warga bisa membangun sendiri rumahnya.
Membangun sendiri lanjut dia, bukan hanya sekedar membangun rumah, akan tetapi proses sampai ke titik ini sangat Panjang. Artinya, warga membuat sendiri site plan-nya, dan Arkom memfasilitasi bangaimana cara membuat site plan, bagaimana mengetahui skala. Itu adalah bangain dari Arkom mentransfer pengetahuan tentang perencanaan.
Proses itulah kata Yuli, menjadi bagian dari capacity building membangun ketangguhan. Itulah yang menjadi bagian dari konsep dibalik sekedar rekonstruksi membangun rumah, tetapi intinya bagaimana membangu sosial, membangun ikatan kebersamaan dan rasa memiliki.
“Kunci dari semua ini adalah pendampingan. Bagaimana menemani mereka menjadi percaya diri,” ujarnya.
GAYUNG BERSAMBUT
Yang menarik dari ini adalah, ketika warga berproses dan disampaikan ke pemerintah daerah dan ternyata gayung bersambut. Dimana proses tersebut dianggap sebagai sebuah solusi alternatif atas gap yang terjadi dari kebijakan yang sebelumnya dikeluarkan pemerintah pusat.
“Dari 39 unit, ada 29 unit yang mengunakan dana stimulant BPBD dan dana relokasi mandiri dari PUPR. Warga bergotong royong untuk mewujudkan apa yang diharapkan,” kata Yuli.
Projek rekonstrukis berbasi masyarakat lanjut dia, bukan sekedar membangun rumah, tapi bagaimana membangun kehidupan. Karen arkom memaknai membangun rumah merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi, karena masyarakat sendiri bergotong royong, material bangunan dari warga yang menciptakan sendiri. Dari proses itu, warga juga bisa mendapat uang.
“Kita berharap dari dana stimulant Rp 50 juta untuk pembagunan, akan kembali lagi kepada masyarakat sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.
Menurut Yuli, dua tahun ini menjadi titik balik Arkom menilai bahwa masyarakat sudah bisa mandiri dan bangkit. Proses dari Arkom mendamping akan segera kembalikan ke masyarakat, dan proses jangka panjangnya masyarakat sendiri yang akan menentukan.
Kedepan kata dia, warga yang akan menegelolah. Artinya, masyarakat mempunyai oganisasisai yang kuat untuk melanjutkan kehidupanya yang lebih baik karena sudah memiik modal.
39 UNIT HUNTAP RISHA
Dua tahun mendampingi warga penyinyas, Arkom telah membangun 39 unit Huntap menggunakan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) dengan skema relokasi mandiri ex-situ kelompok.
Luas total lahan relokasi mandiri ex-situ kelompok penyintas bencana gempa dan tsunami Kelurahan Mamboro Barat 5.827 meter persegi. Lahan relokasi itu terletak sekitar 1 kilo meter ke arah timur dari permukiman awal penyintas.
Pembangunan Huntap penyintas menggunakan skema stimulan, namun terlebih dahulu Arkom Indonesia menalangi dana pembangunan mulai dari menalangi pembebasan lahan hingga pembangunan Huntap.
Kata Yuli, skema relokasi mandiri ex-situ kelompok mendapat dukungan penuh dari penyintas, sebab lahan relokasi masih berada di wilayah yang sama, serta terintegrasi dengan pekerjaan penyintas.
Sementara nama projek ini adalah rekontrusksi berbasis masyarakat, artinyabukan hanya ruamahnya, tetapi ini menjadi bagian proses dari membangun kehidupan. Karena Arkom memaknai membangun rumah bagian dari pemberdayaan ekonomi .
Sementara model bangunan lanjut dia, Arkom mencoba mengekplorasi arstektur Kaili Bugis yang merupakan hasil dari gambar yang dibuat sendiri oleh warga sesuai mimpi mereka. Ternyata, mayoritas warga membuat gambar rumah kayu, sehingga ada kolaborasi arsitektur tradisional dengan kotenporer.***
KATA WARGA
SAMSUDDIN – Ketuan RT 02 Mamboro Barat
Tahan Banting Menghadapi Penyintas
Samsuddin (45) ketua RT 02, RW 01 kelurahan Mamboro Barat, kecamatan Palu Utara mengakui keberadaan Arkom ditengah-tengah penyitas sangat membantu. Arkom hingga saat ini menjadi satu-satunya lembaga di luar pemerintah yang masih setia mendampingi warga penyintas di Mamboro Barat.
Samsuddin juga mengakui ketangguhan orang-orang di Arkom dalam menghadapi warga penyitas yang awalnya masih ragu-ragu dengan kehadiran mereka. Namun kesabaran dan tahan banting mengahadapi penyitas yang membuat warga perlahan-lahan menerima kehadiran Arkom.
Selaku ketua RT, dirinya mengucapkan terimakasih kepada Arkom karena sampai detik ini masih setia mendampingi warga, dan palin utama Arkom bisa mewujudkan mimpi penyintas di pesisir pantai mendapatkan tempat tinggal tidak jauh dari tempat warga mencari nafkah.***
EMILIA – Penyintas Mamboro Barat
Awalnya Ragu-ragu
Awal kehadiran Arkom di tengah-tengah warga korban bencana tsunami di kelurahan Mamboro Barat, tidak sedikit warga yang ragu. Hal ini disebabkan karena begitu banyak lembaga yang datang dan pergi begitu saja pasca bencana terjadi.
Emilia (45) yang merupakan salah satu korban tsunami di Mamboro tidak begitu yakin dengan kehadiran Arkom, sebab awal masuk pihak Arkom mengatakan mereka datang membantu tanpa membawa uang, sementara saat itu yang dibutuhkan warga adalah bantuan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum.
Namun ternyata perjalanan Arkom membantu tanpa berbekal uang, dibuktikan dengan kesungguhan memenuhi keinginan Sebagian besar warga mendapatkan tempat tinggal tidak jauh dari hidup mereka yaitu laut.
Emilia bahkan tidak pernah bermimpi bisa mendapatkan hunia yang sebelumnya menjadi mimpi mereka pasca adanya kebijakan pemerintah untuk merelokasi penyintas di zona merah jauh dari tempat mereka bekerja.
Bukan hanya sekedar mewujudkan mimpi warga memiliki rumah, namun Arkom juga terus mendampingi warga sampai pada pemulihan ekonomi.***
SAHARUDDIN – Penyintas Mamboro Barat
Kesempatan Belajar
Bukan hanya sekedar membangun rumah, Arkom juga berhasil mentransfer ilmu kepada penyintas di Mamboro Barat. Hal itu dirasakan Saharuddin (60) warga Mamboro Barat yang sudah mendapatkan berbagai ilmu tehnik membangun. Mulai dari pengetahuan teknik pengecoran dan pembesian yang cepat dan tepat sesuai standar bangunan tahan gempa.
Menurut Saharudin, Arkom hadir bukan sekedar membangun hunian tetap untuk penyintas bencana alam, tetapi dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan ekonomi warga dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses itu.
Saharudin yang saat ini dipercayakan sebagai kepala tukang untuk pembangunan huntap di Mamboro barat, sudah merasakan manfaat dari ilmu yang diberikan Arkom, dimana yang awalnya hanya mengetahui soal rumah kayu, saat ini sudah punya ilmu untuk Teknik bangunan beton.***
INDA UPE – Penyintas mamboro Barat
Dua Tahun Tetap Setia
Inda Upe (45) penyitas bencana kelurahan Mamboro Barat sampai saat ini masih merasakan manfaat dari kehadiran Arkom. Selama dua tahun ini, Arkom masih setia mendapingi warga hingga bisa mewujudkan mimpi mereka mendapatkan rumah impian tidak jauh dari laut yang merupakan hidup mereka.
Kehidupan laut kata Inda tidak bisa jauh dari warga Mamboro Barat yang Sebagian besar mata pencarian sebagai nelayan. Perjuangan warga yang menolak relokasi yang ditetapkan pemerintah tidak sia-sia, karena Arkom hadir memberikan solusi terbaik.***