Oleh : Kartini Nainggolan/Harian Mercusuar
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Komang menjemur pakaian di pekarangan rumahnya yang menghadap ke arah perbukitan, di desa Onepute Jaya, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Di kejauhan, tampak deretan truk tambang lalu lalang di jalan hauling milik PT Vale Indonesia Indonesia Growth Project (IGP) Morowali. Tapi tak seperti bayangannya dulu tentang debu mengubur tanaman, yang ia lihat justru hamparan pohon-pohon muda tumbuh di bekas lahan galian tambang non-vale yang sudah mulai direklamasi, jalanan yang disiram rutin, dan udara yang terasa bersih.
“Dulu saya takut, karena orang bilang tambang bikin tanah mati,” ujarnya sambil merapikan jemurannya.
Komang sekarang bisa menanam bunga, cabai, apotek hidup, bahkan beternak ayam di belakang rumah. Tidak ada debu, tidak ada bau, yang ada justru tanah yang hidup kembali.
“Kami orang Bali harus banyak tanam bunga untuk dipake (dipakai) sembahyang,dan semua harus bunga segar,” kata Komang menunjuk beberapa bunga kertas (Bougenville) berwarna warni yang tumbuh subur di pekarangan rumahnya,
Salah satu perubahan besar yang paling dirasakan Komang terjadi belum setahun, saat PT Vale memasang jaring penghalang debu di batas antara jalan hauling dan kawasan permukiman. Sebagai warga yang tinggal tak sampai 10 meter dari jalur operasional tambang, Komang dulunya hafal betul bagaimana debu halus sering beterbangan saat truk-truk tambang non-vale melintas.
“Pakaian yang dijemur bisa abu-abu warnanya. Anak-anak pun sering batuk,” kenangnya.
Namun, sejak pemasangan jaring tinggi berwarna hitam yang membentang seperti dinding raksasa di tepian jalan hauling, Komang merasa seperti hidup di ruang yang lebih aman dan bersih.
Debu yang dulu menempel di dedaunan kini hampir tak terlihat.
“Sekarang, kami bisa menjemur pakaian tanpa khawatir. Anak-anak juga bebas main di halaman,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia ingat bagaimana debu menghalangi aktivitas mereka di luar rumah. Respon cepat perusahaan dengan pemasangan net penghalang debu, penyiraman jalan hauling secara berkala, dan penanaman pohon pelindung di batas kampung, seolah menjawab bahwa investasi tambang dan masyarakat bisa berbagi ruang hidup tanpa saling merugikan.
“Ini baru tambang yang mau dengar warga,” ujar Komang sambil melanjutkan aktifitas menjemur pakaiannya, Sabtu (6/9/2025).
Ia tak memungkiri, dulu ia termasuk yang skeptis. Tapi kini, setiap kali menatap jaring hitam yang menjulang dari pekarangan depan rumahnya, ia merasa ada harapan baru.
Vale Menambang Nikel, Kami Menambang Sampah
Tak jauh dari rumah Komang di Onepute Jaya, di sebuah sudut bangunan, tangan-tangan sibuk mengais sampah sisa makanan yang dipenuhi ribuan ulat kecil atau Maggot dari larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF).
Salah satu diantaranya adalah tangan Tri Puji Nurjanah (38) yang cekatan tanpa rasa takut ataupun jijik memilah sampah organik yang telah menjadi kompos berkualitas dari ribuan Maggot. Tri Puji Nurjanah, Ketua Pengelola Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Desa Onepute Jaya binaan PT Vale, kini menambang bukan hanya sampah, tapi juga harapan.
Kisah tentang Tri Puji Nurjanah, bukan sekedar cerita seorang perempuan yang hidup ditengah aktivitas pertambangan PT Vale. Ia adalah wajah dari perempuan-perempuan desa Onepute Jaya yang juga ikut menambang, bukan nikel tapi sampah untuk keberlanjutan.
PT Vale Indonesia melalui proyek IGP Morowali meresmikan pabriknya pada 10 Februari 2023 dengan investasi mencapai US$2 miliar. Kehadiran tambang sering kali identik dengan kerusakan lingkungan. Namun, di Onepute Jaya, Vale menampilkan wajah lain, berbagi ruang dengan masyarakat lewat program sosial, termasuk pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Salah satunya adalah TPS3R Onepute Jaya. Program ini menjadi ruang partisipasi warga desa untuk menjaga lingkungan, mengurangi sampah, dan bahkan membuka jalan ekonomi baru.
Tri Puji, salah satu warga Desa Onepute Jaya, yang awalnya tak memiliki sedikit pun pengalaman atau pengetahuan tentang pengelolaan sampah. Program dari PT Vale membawanya menjadi perempuan penggerak perubahan bersama beberapa perempuan lainnya.
“Dulu kalau ada sampah, kalau sisa makanan di tanam, kalau sampah plastik atau sejenisnya dibakar,” ujarnya mengingat awal mula sebelum ia terjun dalam kegiatan sosial pengelolaan sampah.
Mengubah Kebiasaan, Menjadi Pelanggan
Kebiasaan lama warga membuang sampah ke sungai atau membakarnya sudah mulai terkikis. Tri Puji bersama timnya aktif mengedukasi warga untuk memilah sejak dari rumah. Bahkan, TPS3R menerapkan aturan tegas, dimana sampah yang tidak dipilah, tidak akan diangkut.
“Walaupun mereka pelanggan, jika sampah tidak dipilah kami tidak akan mengangkut ke TPS3R,” tegasnya.
Kini, dari sekitar 750 rumah tangga di Onepute Jaya, separuh sudah berlangganan TPS3R. Data menunjukkan, sejak pertama berjalan pada Agustus 2024 dengan 107 pelanggan, jumlahnya melonjak hingga Agustus 2025 menjadi 281 pelanggan, naik lebih dari 100 persen.
Sistem iuran disesuaikan kategori, rumah tangga Rp20 ribu per bulan, kios Rp25 ribu, toko R100 ribu, pedagang sayur Rp40 ribu, pemasok sayur Rp100 ribu, penginapan Rp200 ribu, mess Rp500 ribu, dan perusahaan kontraktor Rp1 juta. Jumlah pendapatan dari iuran sekitar Rp6 juta per bulan.
Volume sampah melonjak hingga lebih dari 22 ton per bulan atau meningkat 7 kali lipat dari Agustus 2024 ke Agustus 2025.
“Harapannya seluruh rumah tangga di Onepute Jaya bisa berpartisipasi menjadi pelanggan, karena kebersihan lingkungan adalah tanggungjawab bersama. Kami juga membuka peluang jika dari desa lain mau berlangganan,” ujarnya.
Selain pengelolaan untuk keberlanjutan lingkungan, keberadaan TPS3R ini membuka peluang kerja baru bagi warga. Ada 4 orang tenaga, diluar pengurus yang sudah bisa mendapatkan penghasilan Rp2 juta per bulan.
Salah satunya adalah Hadijah yang saat ini menggantungkan hidupnya di TPS3R Onepute Jaya. Setiap hari ia mengawali aktivitasnya dengan mengangkut sampah pelanggan, memilah sampah, hingga ikut dalam proses pembuatan pupuk kompos.
Dari Maggot hingga Kompos Bernilai
Sabtu siang itu, Hadijah tampak cekatan melempar karung sampah residu ke armada pengangkut. Di antara pekerja laki-laki, ia justru bergerak lebih sigap. Sesekali ia merapikan masker untuk menahan bau menyengat.
“Dulu saya hanya di rumah, suami kerja kumpul besi tua untuk dijual. Penghasilannya paling Rp500 ribu per bulan,” ucapnya. Kini, dengan upah Rp2 juta per bulan, Hadijah bisa membantu suami menghidupi lima anak mereka.
TPS3R Onepute Jaya tak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga menghasilkan produk bernilai. Ribuan Maggot BSF yang dibudidayakan dijadikan media untuk mengurai sampah organik menjadi kompos. Dari setiap kilogram kompos, pengelola bisa menjual dengan harga Rp7.000.
Produk ini menjadi sumber tambahan pendapatan, selain iuran pelanggan. Namun, tantangan tetap ada. Armada pengangkut masih terbatas, hanya satu unit roda tiga.
Untuk sampah residu, pengelola harus menyewa armada tambahan dengan biaya Rp1 juta per sekali angkut. Akibatnya, pengangkutan residu hanya bisa dilakukan sekali dalam seminggu.
“Kami berharap ada dukungan pemerintah agar bisa punya armada sendiri. Kalau bisa, jangkauan pelanggan bisa lebih luas, bahkan desa tetangga juga bisa ikut,” kata Tri Puji.
Perubahan paling terasa adalah berkurangnya praktik pembakaran sampah. Nugroho Iskandar, Project Manager Waste4Change Morowali yang mendampingi TPS3R, menyebutkan perbedaan mencolok.
“Dulu ketika awal masuk di Desa Onepute Jaya, pembakaran sampah hampir terjadi pagi hingga sore. Sekarang sudah berkurang hingga 80 persen,” jelasnya.
Bandingkan dengan desa lain di sekitar Morowali, praktik pembakaran masih marak, bahkan asapnya menyerupai pembakaran hutan. Di Onepute Jaya, warga mulai sadar bahwa sampah bisa dipilah dan bernilai.
Tantangan Kesadaran dan Dukungan
Meski ada peningkatan signifikan, tantangan terbesar tetap pada kesadaran masyarakat. Masih ada warga yang enggan ikut serta dengan alasan ‘tidak punya sampah’ karena sudah dibakar atau dibuang ke sungai.
Nugroho menilai, dukungan pemerintah daerah masih minim.
“Belum ada dorongan serius ke desa-desa untuk pengelolaan sampah mandiri. Banyak desa hanya kumpul, angkut, lalu buang. Tidak ada pengelolaan akhirnya. Padahal dampaknya besar bisa terjadi banjir, penyakit, air tercemar,” ujarnya.
PT Vale melalui program CSR berupaya mengisi celah itu. Mereka membangun fasilitas TPS3R, menyediakan armada roda tiga, mesin pengolah, hingga menggandeng Waste4Change untuk pelatihan dan pendampingan.
Manager External Relation PT Vale Indonesia IGP Morowali, Asriani Amiruddin, menegaskan bahwa program CSR seperti TPS3R Onepute Jaya dirancang untuk berkelanjutan.
“Bantuan melalui program CSR diharapkan bisa terus berjalan. Bukan hanya sekadar selesai ketika programnya selesai, lalu tidak ada lagi yang dikerjakan,” ujarnya.
Ia menekankan, kehadiran industri tidak boleh hanya meninggalkan jejak kerusakan. Perusahaan harus ikut mendorong perubahan sosial dan lingkungan di sekitarnya.
Sampah yang dulunya dianggap masalah kini menjadi sumber penghidupan. Dari Maggot, kompos, hingga iuran pelanggan, semua menggerakkan ekonomi lokal. Dari kebiasaan membakar sampah, warga kini belajar memilah. Dari rasa enggan, mereka bertransformasi menjadi pelanggan yang sadar lingkungan.
Di tengah bayangan industri , Onepute Jaya justru melahirkan cerita kecil tentang keberanian perempuan desa. Cerita bahwa perubahan bisa dimulai dari tumpukan yang diabaikan. Dan dari sana, harapan baru digali, sama berharganya dengan menggali nikel, mungkin bahkan lebih.
Program Vale dan Harapan Perempuan
Mengumpulkan sampah, menjaga kebersihan kampung, dan mengorganisasi dukungan sesama perempuan di TPS3R. Solidaritas Perempuan (SP) memandang langkah-langkah warga ini perlu difasilitasi dan diperkuat melalui akses pasar, peralatan kerja yang aman, pendampingan usaha, serta pengurangan beban kerja domestik agar manfaatnya nyata dan terukur bagi dapur mereka.
Staf Kampanye SP, Nurul Amalia mengatakan, ukuran keberhasilan sebaiknya sederhana namun tegas. Air dan udara lebih bersih, waktu kerja domestik berkurang, anak punya tempat bermain yang aman, dan pendapatan rumah tangga perempuan naik.
“Pelatihan, bantuan alat, atau modal akan bermakna jika indikator-indikator itu bergerak ke arah pemulihan,” ujarnya.
Nurul Amalia menyebutkan belum berdiskusi langsung dengan perempuan penerima manfaat dari apa yang telah dilakukan PT Vale. Meski begitu, SP mengapresiasi upaya perusahaan untuk menjaga desa-desa lingkar tambang tetap aman dari pencemaran air dan udara. Apresiasi itu berjalan seiring dorongan agar program perusahaan semakin dekat dengan kebutuhan paling dasar masyarakat, khususnya perempuan sehingga udara dan lingkungan yang bersih, serta penghidupan yang pasti.
Berbagi ruang hidup di tanah nikel, Kata Nurul, berarti berbagi kuasa menentukan arah. Itu tampak dari siapa yang duduk di forum, bagaimana data lingkungan dibuka, dan sejauh apa program perusahaan menutup kerugian yang ditanggung perempuan.
Di lingkar tambang, ukuran sederhananya adalah apakah lantai perlu disapu sesering dulu, apakah pohon dan bunga-bunga berubah warna, apakah anak-anak aman bermain di halaman dan apakah ibu-ibu punya waktu luang yang tidak habis oleh debu.
Nurul Mendorong agar PT Vale memperkuat transparansi, membuka ruang partisipasi perempuan marginal sejak awal, memastikan reklamasi berjalan sesuai kewajiban, serta menautkan program pemberdayaan ke indikator pemulihan yang warga rasakan.***