Di tengah kedamaian hutan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang lebat di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), saya menghabiskan tiga hari penuh menjelajahi kawasan ini, demi menemukan burung Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), atau yang lebih dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama Alo. Pada Sabtu, 5 Agustus 2023, akhirnya saya berhasil melihat satu di antaranya. Namun, meskipun melihat burung yang megah ini adalah pengalaman yang menakjubkan, ada kesedihan yang mendalam sebab kenyataan bahwa spesies ini semakin langka di hutan Sulteng.
LAPORAN : KARTINI NAINGGOLAN
Menurut warga setempat, menemukan burung Alo seperti yang saya lihat saat itu bukanlah hal yang mudah lagi. Satrio, seorang warga dari Lore Tengah, menceritakan bahwa dulunya burung ini banyak ditemukan di hutan saat musim buah. Burung Alo dikenal dengan kebiasaannya yang selalu terbang berpasangan, namun kini, sangat jarang terlihat.
“Sekarang, burung Alo sulit ditemukan. Jika ada yang terlihat, bisa jadi itu jantan yang sedang terpisah dari pasangannya yang mungkin sudah mati diburu,” kata Satrio, yang mengingat masa lalu di mana burung ini menjadi pemandangan biasa di hutan.
Perburuan burung Alo telah menjadi bagian dari kebiasaan turun-temurun bagi sebagian masyarakat di Sulteng. Masyarakat adat yang sering masuk hutan untuk mencari damar atau rotan juga mengandalkan perburuan burung untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Adi (45) warga Poso mengungkapkan bahwa perburuan burung seperti Alo sudah menjadi tradisi bagi warga ketika mereka kehabisan makanan di hutan.
“Kami masuk hutan berkelompok untuk mencari damar atau rotan. Kalau persediaan makanan habis, kami berburu apa saja yang bisa dimakan, termasuk burung besar seperti Alo,” ujarnya.
Namun, ada juga tradisi yang lebih bersifat simbolis terkait perburuan ini. Paruh dan bulu burung Alo sering digunakan untuk hiasan atau dijual. Bulu burung ini, misalnya, dianggap sebagai benda yang dapat mengusir roh jahat, sehingga sering digantung di pintu rumah. Paruhnya juga dijadikan hiasan atau koleksi. Bahkan, Adi menceritakan bagaimana ayahnya dulu memiliki banyak koleksi paruh burung Alo yang dipajang di dinding rumah mereka.
Perburuan burung Alo tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa, namun juga melibatkan individu yang lebih terorganisir, burung Alo bahkan dijual ke luar daerah, seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
“Kami tidak tahu siapa yang membeli, tapi mereka biasanya datang dengan mobil plat nomor DD atau DB. Paruhnya bisa dijual Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu, tergantung ukurannya,” tambah Adi.
DD adalah plat nomor mobil dari Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan DB dari Provinis Sulawesi Utara.
Pernyataan Adi ini menggambarkan betapa meluasnya perdagangan ilegal burung Alo. Penegakan hukum terhadap perburuan satwa yang dilindungi, termasuk burung Julang Sulawesi, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Asdi Soiyong, Kepala Resort Tongoa, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) menceritakan bahwa perburuan burung ini seringkali melibatkan penjualan ke luar negeri melalui perantara di kota-kota besar seperti Palu.
Dalam beberapa kasus, bahkan aparat yang seharusnya menjaga kawasan konservasi turut terlibat dalam perburuan.
“Kami tahu bahwa beberapa aparat yang bertugas mengamankan kawasan hutan justru ikut menembak satwa. Ini jelas menjadi masalah, karena mereka seharusnya melindungi satwa dan bukan malah memburu satwa,” ujar Asdi dengan prihatin.
Sebagai langkah penegakan hukum, BBTNLL bersama dengan pihak kepolisian dan instansi terkait telah berupaya menangkap pelaku perburuan. Salah satunya adalah penangkapan terhadap pelaku yang berburu burung Alo di Desa Bakubakulu, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Namun, meski perburuan Alo illegal dan ada ancaman hukuman untuk pelakunya, masyarakat setempat sering merasa takut untuk melaporkan pelaku perburuan karena adanya ancaman dari para pemburu.
Burung Julang Sulawesi atau Alo, bukan hanya penting sebagai bagian dari budaya masyarakat Sulteng, tetapi juga memegang peranan vital dalam ekosistem hutan tropis. Sebagai pemakan buah, burung ini membantu dalam penyebaran biji-bijian, yang mendukung kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, perburuan burung Alo bukan hanya ancaman bagi spesies tersebut, tetapi juga bagi keseimbangan alam yang lebih luas.
Namun, tradisi berburu yang telah berlangsung turun-temurun sulit untuk dipisahkan dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat. Hal ini menimbulkan dilema antara pelestarian alam dan mempertahankan kebiasaan budaya yang sudah lama ada.
Adi mengakui bahwa sebagian besar warga belum sepenuhnya menyadari bahwa burung Alo termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi oleh undang-undang.
“Kami tahu burung ini semakin langka, tapi kami tidak tahu bahwa mereka dilindungi. Kami hanya berburu untuk makan atau mendapatkan penghasilan dari jualan bulu dan paruhnya,” kata Adi.
Untuk mengatasi masalah ini, edukasi kepada masyarakat sangat penting. Asdi Soiyong mengungkapkan bahwa sosialisasi tentang pentingnya melindungi satwa yang dilindungi harus lebih ditingkatkan, terutama di kalangan generasi muda.
“Sosialisasi harus dilakukan lebih intensif agar masyarakat tahu bahwa burung Alo bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga bagian dari warisan alam yang perlu dilestarikan,” katanya.
Selain itu, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap perburuan ilegal juga sangat diperlukan. Pemerintah, bersama dengan organisasi konservasi dan aparat keamanan, harus bekerja lebih keras untuk melindungi kawasan konservasi, mengurangi perburuan liar, dan memastikan bahwa satwa yang dilindungi tidak menjadi korban perdagangan ilegal.
Kisah Aco dan Tantangan Pelestarian Burung Alo
Di tengah hutan lebat Sulteng, Aco, warga Desa Bakubakulu, Kabupaten Sigi, mengungkapkan realitas suram ketika ia masih aktif berburu Alo, spesies langka yang kini terancam punah.
Aco, yang pernah ditangkap oleh petugas dari BBTNLL karena tertangkap basah berburu burung Alo beberapa tahun lalu, menceritakan bagaimana burung dengan paruh besar dan bulu indah itu menjadi komoditas buruan yang sangat dicari. Bahkan, pembeli tidak segan-segan mendatangi desa-desa di sekitar hutan untuk mencari mereka.
“Ada orang Selatan (Sulawesi Selatan) yang datang ke rumah saya karena tahu saya sering masuk hutan untuk mencari rotan. Mereka tanya, apakah saya sering bertemu dengan burung besar seperti Alo di hutan. Kalau saya bisa menangkap burung itu, mereka bilang akan membeli,” ungkap Aco.
Burung Alo atau Julang Sulawesi menjadi incaran pemburu karena nilai jualnya yang tinggi. Paruh dan bulu burung ini, yang memiliki ciri khas yang sangat mencolok, sering dijadikan sebagai barang koleksi atau perhiasan. Aco mengingat dengan jelas harga yang didapatkan dari penjualan burung tersebut.
“Harga per ekor bervariasi, tergantung paruhnya. Yang paling mahal pernah saya jual seharga Rp500 ribu, tapi ada juga yang dibeli seharga Rp150 ribu sampai Rp 200 ribu,” lanjutnya.
Karena iming-iming uang yang menggiurkan, Aco semakin sering masuk hutan bukan hanya untuk mencari rotan dan damar, tetapi juga untuk berburu Julang Sulawesi.
“Saya tidak kenal siapa yang sering datang beli, biasanya saya panggil mereka ‘Daeng’. Katanya sih tinggal di Palu, tapi saya tidak pernah tanya untuk apa mereka beli burung itu,” ujar Aco, mengenang masa-masa berburu yang kini ia sesali.
Setiap bulan, pembeli yang tidak dikenalnya itu datang ke desa untuk membeli burung Alo. Dalam sebulan, Aco bisa menjual dua sampai tiga ekor burung yang ia tangkap. Namun, setelah Aco tertangkap oleh petugas BBTNLL, Aco mengaku sudah tidak berani lagi berburu.
“Waktu ditangkap saya tidak dihukum, cuma diperingati. Katanya kalau saya masih berburu, saya bisa dipenjara dan didenda karena burung Alo itu dilindungi,” jelasnya.
Setelah kejadian itu, Aco sadar bahwa resiko berburu burung langka jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapatkan.
“Saya pikir lebih baik mencari rotan dan damar di hutan daripada berburu Alo. Kalau dipenjara, siapa yang akan mengurus keluarga saya?” ungkapnya dengan nada penuh penyesalan.
Doni, anggota komunitas pecinta burung, juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang semakin berkurangnya populasi Julang Sulawesi di Sulteng. Di Kabupaten Parigi Moutong, Sigi, dan Poso, masih ada beberapa wilayah di mana burung ini dapat ditemukan. Namun, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, yang sebelumnya juga banyak ditemukan burung Alo, kini populasinya semakin sulit ditemukan.
“Masih ada beberapa tempat di Sigi dan Parigi Moutong yang bisa kita temui burung Alo, tapi jumlahnya tidak sebanyak dulu. Banyak orang yang sudah tahu kalau burung ini ada harganya, jadi mereka buru,” ujar Doni, yang juga aktif dalam pelestarian satwa liar di Sulteng.
Doni juga menilai bahwa salah satu kendala utama dalam upaya pelestarian burung Alo adalah kurangnya sosialisasi tentang pentingnya perlindungan satwa liar.
“Di Sulawesi Tengah, masih ada daerah yang mengkonsumsi satwa apa saja, termasuk yang dilindungi. Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi tentang satwa yang dilindungi, karena banyak warga yang belum tahu nama satwa yang boleh diburu dan mana yang tidak. Budaya berburu yang sudah ada sejak turun-temurun masih sangat kuat di sini,” jelas Doni.
Aco, yang kini memilih untuk mencari rotan dan damar daripada berburu, berharap agar lebih banyak orang sadar akan pentingnya melindungi spesies langka seperti Julang Sulawesi.
“Saya ingin anak saya bisa melihat burung Alo di hutan, bukan cuma cerita. Semoga ada lebih banyak yang peduli untuk melindungi mereka,” kata Aco dengan penuh harapan.
Diselundupkan dalam Kapal
Meskipun status perlindungannya sudah jelas, dengan adanya Undang-Undang No. 5/1990, Peraturan Pemerintah No. 7/1999, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2018, yang mengatur perlindungan terhadap satwa ini, perburuan burung Alo tetap berlangsung secara luas di bumi Tadulako, khususnya di Kabupaten Morowali, Poso, dan Sigi. Keberadaannya yang semakin langka tak menghentikan praktik illegal ini, bahkan perdagangan burung ini tak hanya beredar di Sulawesi, tetapi juga melibatkan jaringan lintas provinsi, melalui jalur darat dan laut.
Burung ini bukan hanya menjadi simbol keindahan alam Sulawesi, tetapi juga sebuah spesies yang terancam punah. Terdaftar dalam kategori rentan (VU) di Daftar Merah IUCN dan termasuk dalam Appendix II CITES, Julang Sulawesi menghadapi ancaman serius akibat perburuan liar dan kerusakan habitat alami mereka.
Perburuan Julang Sulawesi, tidak hanya didorong oleh kebutuhan pangan, tetapi juga oleh nilai budaya dan tradisi yang sudah ada sejak lama. Banyak warga yang percaya bahwa bulu, kepala, dan paruh burung ini memiliki kekuatan magis. Mereka meyakini bahwa benda-benda ini bisa memberikan perlindungan dari roh jahat, menjamin kemenangan dalam peperangan, dan menjadi pelengkap hiasan dalam upacara tradisional seperti tarian prajurit Cakalele. Kepercayaan-kepercayaan ini telah membentuk budaya yang kental dengan praktik perburuan.
Selain itu, bulu burung Alo juga digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan di laut. Paruh dan bulunya sering dijadikan pajangan atau hiasan kepala dalam upacara adat. Tidak jarang, burung ini juga diperdagangkan secara ilegal sebagai barang koleksi atau untuk tujuan-tujuan yang bersifat mistis, menyebabkan meningkatnya perburuan yang merugikan spesies ini.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng, Mulyadi Joyomartono, mengungkapkan bahwa meskipun Julang Sulawesi memiliki status perlindungan yang jelas, populasinya tetap mengalami penurunan yang signifikan.
“Secara keseluruhan, populasi Julang Sulawesi terus mengalami penurunan. Habitatnya semakin berkurang akibat pembukaan lahan dan perburuan liar yang terus berlangsung,” ujarnya dalam sebuah wawancara pada September 2023.
Mulyadi menambahkan, upaya untuk meningkatkan populasi Julang Sulawesi sangat terbatas.
“Harapan untuk meningkatkan populasi mereka di alam sangat kecil, karena perburuan dan konversi habitat terus mengancam kelangsungan hidup burung ini,” kata Mulyadi.
Saat ini, satu-satunya cara untuk melestarikan spesies ini adalah dengan membiarkan mereka hidup bebas di alam, sementara upaya pengembangbiakan yang efektif di penangkaran belum dilakukan.
Perburuan Julang Sulawesi tidak hanya terjadi dengan menggunakan jerat atau perangkap, tetapi juga dengan senjata api. Menurut laporan BKSDA Sulteng, senjata api sering digunakan untuk memburu burung ini, dengan tujuan mendapatkan kepala burung yang bernilai tinggi atau bulu untuk perdagangan. Perburuan ini sering dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang nilai jual burung tersebut.
Berdasarkan pantauan BKSDA Sulteng, perburuan Julang Sulawesi di wilayah Sulteng seringkali terkait dengan jaringan perdagangan ilegal yang lebih besar.
“Kami telah menemukan beberapa kasus, seperti penjualan burung Alo yang ditangkap dan dibawa ke luar daerah, misalnya dari Luwuk ke Palu, atau bahkan ke Makassar,” ujar Mulyadi.
Jalur perdagangan ini sering kali sulit untuk terdeteksi karena burung biasanya diselundupkan dengan kapal milik masyarakat yang digunakan untuk berdagang antar pulau.
Jalur perdagangan ini juga memanfaatkan kurangnya pengawasan di pintu-pintu masuk wilayah Sulteng. Kapal-kapal milik nelayan atau pedagang lokal seringkali menjadi kendaraan utama untuk menyelundupkan satwa yang dilindungi.
“Kami tidak bisa memeriksa setiap kapal yang masuk, kecuali kami tahu pasti ada barang terlarang yang dibawa. Perburuan dan perdagangan ilegal ini sangat sulit diatasi karena kurangnya pengawasan di jalur perdagangan,” kata Mulyadi.
Meskipun banyak perburuan dan perdagangan Julang Sulawesi yang terjadi di luar pengawasan, BKSDA Sulteng tidak tinggal diam. Mulyadi mengungkapkan bahwa pihaknya telah menangani beberapa kasus perburuan dan perdagangan burung Alo. Salah satunya adalah kasus di Kabupaten Morowali dan Poso, di mana warga yang memelihara burung tersebut akhirnya menyerahkannya ke pihak berwenang setelah mempostingnya di media sosial.
Namun, meskipun ada tindakan preventif dan pengawasan yang dilakukan oleh BKSDA, penegakan hukum terhadap perburuan burung Alo seringkali menghadapi kendala.
“Kasus yang sampai ke pengadilan masih sangat sedikit. Mayoritas kasus perburuan Julang Sulawesi berakhir dengan pembinaan dan sosialisasi,” jelas Mulyadi.
Kasus yang melibatkan perdagangan atau penembakan burung ini sering kali tidak sampai ke proses hukum karena adanya kesulitan dalam membuktikan tindak pidana tersebut.
Menurutnya, keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian, seperti melalui edukasi dan pemberdayaan, sangat penting untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya keberadaan Julang Sulawesi di alam. Selain itu, penegakan hukum yang lebih tegas dan sistem pengawasan yang lebih baik diperlukan untuk mencegah perdagangan ilegal yang merugikan spesies ini.
Sebagai bagian dari upaya pelestarian, BKSDA Sulteng juga terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat, untuk mengawasi kawasan hutan dan mencegah perburuan.
“Kami berharap ada perubahan pola pikir dari masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih mencintai dan melindungi alam serta satwa-satwa yang ada di sekitar mereka,” ujar Mulyadi.
Julang Sulawesi: Petani Tangguh Namun Rentan
Julang Sulawesi adalah spesies burung rangkong endemik yang hanya ditemukan di Pulau Sulawesi. Dengan keunikan morfologi dan perilakunya, Julang Sulawesi memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, sehingga dijuluki sebagai “petani tangguh” hutan tropis Sulawesi.
Julang Sulawesi dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah dan pegunungan yang lebat, menyesuaikan diri dengan keberagaman ekosistem Sulawesi. Mereka lebih suka tinggal di kawasan hutan dengan vegetasi yang beragam, yang menyediakan kebutuhan pangan dan tempat berlindung. Di Sulteng, burung ini tersebar di beberapa kawasan penting, termasuk Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bancea, serta di luar kawasan perlindungan, seperti di Kabupaten Poso.
Saat ini, Julang Sulawesi telah menjadi maskot dari BBTNLL, Provinsi Sulteng.
Julang Sulawesi adalah burung yang sangat aktif, terutama pada pagi dan sore hari, ketika mereka mencari makan. Pada siang hari, mereka biasanya beristirahat di tempat yang teduh, seperti cabang-cabang pohon yang rimbun. Julang Sulawesi tidak melakukan migrasi jauh, namun mereka dapat berpindah-pindah antar wilayah dalam mencari sumber makanan yang tersedia, sesuai dengan musim dan ketersediaan buah atau serangga.
Makanan utama Julang Sulawesi terdiri dari buah-buahan yang matang, serta serangga yang berada di permukaan tajuk pohon. Sebagai penyebar benih, Julang Sulawesi memiliki peran ekologis yang sangat penting dalam regenerasi hutan, membantu menanamkan bibit-bibit pohon baru yang akan tumbuh menjadi hutan yang lebih lebat dan sehat.
Julang Sulawesi cenderung bersifat monogami, yaitu membentuk pasangan seumur hidup. Pasangan ini bekerja sama dalam berbagai aktivitas, seperti mencari makan, merawat sarang, dan berkembang biak. Kehidupan pasangan Julang sangat erat, dan ketika salah satu individu mati, baik karena perburuan atau faktor lain, yang tersisa akan hidup menyendiri dan tidak akan berkembang biak lagi hingga ia mati.
Betina Julang Sulawesi bertanggung jawab atas pengeboran lubang di pohon sebagai tempat bertelur. Biasanya, lubang ini berasal dari bekas sarang burung kayu yang tidak aktif atau lubang alami di pohon yang sudah ada. Betina akan menutupi lubang tersebut dengan lumpur atau kotoran untuk melindungi telur, menyisakan hanya lubang kecil untuk memungkinkan sang jantan memasukkan makanan ke dalamnya.
Setelah telur menetas, betina akan merawat anak-anaknya dengan penuh perhatian. Selama masa inkubasi dan perawatan anak, betina merontokkan sebagian bulunya untuk melindungi anak-anaknya dari suhu ekstrem dan menjaga mereka tetap hangat di dalam sarang. Kedua induk berbagi tanggung jawab dalam merawat dan memberi makan anak-anaknya. Ketika anak-anaknya cukup kuat untuk terbang, sang jantan akan membongkar lubang pohon yang tertutup, agar anak-anaknya dan betina bisa keluar dari sarang.
Perburuan Julang Sulawesi, terutama saat proses berkembang biak, sangat mengancam kelangsungan hidup spesies ini. Ketika betina dan anaknya berada di dalam sarang, mereka sangat rentan terhadap perburuan. Jika sang jantan diburu atau mati, maka betina dan anak-anaknya akan terkubur dalam lubang pohon dan tidak dapat keluar, karena hanya sang jantan yang dapat membongkar lubang tersebut.
Selain perburuan, kerusakan habitat akibat penebangan liar dan konversi lahan juga memperburuk kondisi populasi Julang Sulawesi. Perburuan yang terjadi selama periode berkembang biak membuat jumlah mereka semakin menurun. Hal ini menjadi tantangan besar bagi upaya pelestarian, karena burung ini memiliki tingkat reproduksi yang sangat lambat. Setelah satu pasangan berhasil menetas, mereka baru akan kembali berkembang biak setelah sekitar 8 tahun, menjadikannya salah satu spesies yang sangat rentan terhadap gangguan ekosistem.
Dengan segala ancaman yang dihadapi, Julang Sulawesi membutuhkan perlindungan yang lebih intensif. Salah satu langkah yang diambil oleh pihak terkait adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengawasan terhadap perburuan ilegal. BBTNLL dan berbagai pihak berwenang terus berupaya untuk melindungi habitat Julang Sulawesi, serta memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar agar tidak terlibat dalam perburuan atau perdagangan burung ini.
Melalui upaya konservasi yang melibatkan masyarakat lokal, pemerintah, dan lembaga terkait, diharapkan Julang Sulawesi dapat terus bertahan hidup di alam liar dan tetap berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan Sulawesi.
Julang Sulawesi adalah simbol kekayaan alam Indonesia yang sangat berharga. Melalui kolaborasi dan perhatian lebih, kita dapat membantu memastikan bahwa petani tangguh ini tetap ada di Bumi Tadulako untuk generasi yang akan datang.***