PALU, MERCUSUAR – Pandemi covid-19 memperburuk kondisi penyitas perempuan yang sampai saat ini masih tinggal di hunian sementara (Hutara) di Kota Palu.
Elniwati (42) pengungsi di Huntar Talise, Palu Timur mengaku bahwa setelah pemerintah kota Palu memberlakukan Social distancing perusahaan tempat suaminya bekerja terpaksa memberhentikan sementara proses pekerjaan.
Sudah empat bulan suami Elniwati tidak lagi bekerja sebagai buruh bangunan di perusahaan. Kondisi tersebut semakin memperburuk kondisi ekonomi keluarga mereka.
Elniwati terpaksa ikut menangung beban keluarga dengan ikut membantu mencari nafka agar kebutuhan makan sehari-hari bisa terpenuhi.
Meskipun pemerintah menganjurkan untuk tetap dirumah, Elniwati terpaksa memilih keluar rumah untuk mengumpulkan sampah yang bisa dijadikan uang.
Bersama kurang lebih 20 orang perempuan penyintas bencana lain yang tinggal di huntara Talise, Elniwati setiap hari mengumpulkan botol dan gelas plastik minuman bekas.
“Setiap hari saya bersama teman-teman perempuan di pengusian memulung. Kami bisa memulung setelah pekerjaan di rumah selesai. Bisanya jam 14.00 Wita kami sudah keluar rumah untuk memulung. Pukul 17.00 wita kami sudah kembali karena harus menyiapkan makan malam,” kata Elniwati kepada media ini.
Sritini (50) perempuan penyintas di Huntara Talise juga merasakan hal yang sama. Berbeda dengan Elniwati yang masih bisa membantu suami mencari nafka dengan memulung, Sritini tidak memiliki aktivitas untuk membantu suami. Ia hanya bisa berdiam diri di rumah dan mengharap nafja dari suami.
“Banyak perempuan di Huntara yang tidak bisa bekerja membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangga karena berbagai keterbatasan. Ada yang memiliki balita, ada yang cacat karena menjadi korban bencana alam sehingga tidak bisa melakkan aktivitas di luar rumah,” ujarnya.
Sritini mengaku bahwa selama pasca bencana alam dan pandemic covid-19, dirinya hanya berharap uluruan tagan dari para donator yang datang ke huntara. Sritini tidak bisa berharap kepada pemerintah untuk membantu mereka, sebab sampai saat ini jatah hidup (jadup) pasca bencana alam tidak ada kejelasan.
“Setidaknya pemerintah memberikan solusi untuk kami. Seperti modal usaha agar kami juga bisa menghasilkan uang walaupun di rumah,” ujarnya.
Ketua Komisi Kesra dan Pemerintahan DPRD Palu, Mutmainah Korona mengemukakan kelompok rentan adalah perempuan, lansia dan anak yang perlu diberi perhatian khusus agar terlindungi dari ancaman penyebaran COVID-19.
“Dalam situasi tanggap darurat bencana non-alam ini, juga harus melihat bagaimana kelompok rentan menjadi perhatian khusus berdasarkan pada pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengacu pada UU Perlindungan Anak,” ucap Mutmainah.
Apalagi, Kota Palu yang baru setahun lebih tertimpa bencana gempa, tsunami dan likuefaksi. Kondisi kelompok rentan yang berada di shelter pengungsian semakin memprihatinkan.
Pemerintah kata Mutmainah harus memberikan solusi terkait pemulihan ekonomi masyarakat korban bencana. Salah satunya dengan memberikan modal usaha untuk perempuan yang selama ini memiliki beban ganda sebagai pencari nafka keluarga.
Sementara Yayasan Sikola Mombine sejak tahun 2019 melalui program emergency response melakukan pendampingan kelompok perempuan yang menjadi korban bencana di Palu, Sigi dan Donggala.
community organizer Yayasan Sikola Mombine, Wulan mengatakan pihaknya melakukan pendampingan upaya pemulihan melalui Galeri Usaha Kampung (GUK) melalui Sikola Mombine di Sulawesi Tengah yang kini menghadapi tantangan di tengah pandemi virus corona.
Wulan melakukan pendampingan ekonomi ke beberapa kelompok perempuan, khususnya korban bencana. Mereka melakukannya didorong kepedulian pada sesama perempuan.
“Pendampingan ekonomi bagi penyintas perempuan terus kami lakukan sehingga kondisi mereka pasca bencana tidak terpuruk dengan adanya pandemic covid-19. Ini harus di dukung semua pihak, terutama pemerintah,” kata Wulan.TIN