Development for Whom?

Oleh: Ibnu Mundzir (Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu)

Anda tahu apa salah satu kenikmatan yang bisa dinikmati dipagi hari ? Diantaranya sarapan yang sehat serta membaca tulisan yang bernas yang disajikan secara ringan dan populer, apalagi yang menulis tulisan tersebut adalah orang capable terhadap isyu yang sedang dia bahas, salah satunya tulisan dari sahabat Nursangadji, tentang Palu Kota Transit

Pagi ini, dapat salah satu tulisan yang rugi rasanya jika tidak diberikan catatan kecil, sebab ‘gizi’ yang dikandungnya meliputi isyu yang sedang IN, yaitu saat kota palu sedang menyusun perencanaan jangka panjangnya untuk durasi 4 kali masa pemerintahan yaitu 20 tahun, dan saat ini kota palu sedang bersyukur sebab salah satu kerja perencanaan pembangunannya mendapat apresiasi berupa penghargaan juara 2 PPD tingkat nasional tahun 2024.l, artinya kota palu hampir 10 kali berturut turut masuk dalam nominasi 10 besar penilaian kota dengan perencanaan terbaik.

Judul diatas adalah pertanyaan ketika penulis mengikuti training intensif tentang Participatory Local Social Development di Nagoya jepang, selama 2 bulan. Pertanyaan itu diberikan oleh Prof. Yutaka Ohama, kami menyebutnya sebagai goodfather PLSD Mafia, sebab patent metodologi tersebut memang beliau yang pegang, dan setahuku beliau belum mengizinkan orang lain untuk mengajarkannya, kecuali beliau sendiri yang merekomendasikannya.

Kembali kepertanyaan dasar Development for whom, sebenarnya adalah tatakan dasar untuk apa dan pada siapa suatu intervensi pembangunan dilaksanakan. Sebab jika hal ini tidak dituntaskan pertanyaannya secara clear maka yang terjadi adalah potensj jebakan aktifitas pembangunan, yang seolah olah nampak giat sibuk membangun, namun manfaat pembangunan tersebut, tidak benar benar dirasakan kefaedahannya oleh masyarakat, dalam bahasa yang lebih ringan yaitu pelaksanaan pembangunan yang ber-output namun tidak ber-outcome, ber-outcome tapi tidak ber-impact, mungkin ber-impact tapi tidak ber-benefit

Padahal ilmu dasar ketika kita belajar tentang perencanaan pembangunan, maka yang harus dituntaskan adalah pembangunan adalah sebuah proses interaktif perbaikan, perubahan serta peningkatan manfaat dari suatu aktivitas yang sedang dilakukan atau diikhtiarkan dilaksanakan. Kalau mau lihat suatu perencanaan pembangunan tidak berjalan secara normal, maka lihatlah kejutan kejutan ide yang akhirnya tidak tereksekusi secara baik, kalau dalam bahasanya kawan Ahlis Djirimu, ide pembangunan yang sekedar seperti kembang api, menyala indah diawal namun dingin dan membeku diakhirnya.

Kembali ke tulisan kanda Nursangadji, pagi ini tentang mengapa banyak bandara di kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah, namun tidak tersambung dengan penerbangan yang ada pada bandara Mutiara Sis Al jufri, padahal itu adalah episentrum dan barometer ‘berdaulatnya’ simpul pembangunan di Propinsi Sulawesi Tengah.

Disebut berdaulat, sebab aneh saja rasanya, kabupaten yang dikeruk habis habisan secara ekstraktif kekayaan alamnya, namun manfaat yang diperoleh oleh ibu kota provinsinya, hanya sekedar angka di atas kertas, bukan manfaat riil pergerakan ekonomi, kalau tidak percaya, silahkan research secara serius tentang manfaat pertambangan terhadap perkembangan daerah tetangga baik itu Kendari atau Makassar dibandingkan dengan Kota Palu, kalau kita bisa berhipotesa, salah satu sebabnya adalah kemudahan transportasi, baik udara maupun darat, sehingga tarikan ekonomi lebih dirasakan kefaedahan oleh daerah tersebut.

Kalau kita belajar ilmu lingkungan, ada istilah cammon properties, terjadinya penurunan sumberdaya alam, tapi tidak ada satupun yang merasa bertanggung jawab.

Kasus hilangnya rute penerbangan yang harusnya rutin ada, sehingga bandara yang telah dibangun dengan effort dan anggaran yang tidak sedikit, tidak malah menjadi suatu yang mubazir sebab antara biaya operasional dan aktifitas pelayanan yang tidak simetris, alias besar pasak dari tiang.

Kayaknya saya setuju tawaran tentang negosiasi yang kuat dari pimpinan daerah kepada para maskapai dan Kementrian Perhubungan, namun yang jauh lebih penting adalah menjadikan daerah daerah tersebut menjadi ‘gula’ yang menarik untuk investor, tentu saja ini tidak bisa dicapai sekedar janji lama ditutupi dengan janji baru, tanpa keseriusan menongkrongi secara detail setiap tahapan rencana yang sudah diperjanjikan diawal, dan ini hanya bisa dicapai jika frase Development for whom, bisa didudukan secara benar dan dijawab secara jujur dari lubuk hati terdalam dan diseriusi dengan rencana aksi yang teknokratis, wallahu alam. ***

Pos terkait