GEMPA dan tsunami meluluhlanttakan semuanya. Selain menelan korban jiwa, juga menghancurkan sumber-sumber kehidupan. Salah satunya, areal tambak garam di bibir Teluk Palu, Pantai Talise, lenyap seketika. Ratusan petani kehilangan mata pencaharian.
Waktu itu, Abdul Madjid siap menjual produksi garamnya. Sebanyak 103 ton garam siap dikirim ke PT Mamuang, anak usaha PT Astra AgroLestari di Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Rencananya, hari Minggu garam dikirim ke Pasangkayu untuk kebutuhan pupuk perusahaan kelapa sawit itu. Madjid sudah bermimpi untuk menerima sekitar Rp 300 juta dari penjualan garamnya itu.
Tetapi, mimpi tinggal mimpi. Tiga hari sebelum pengiriman, atau persis 28 September 2018, sore hari, terjadi gempa dahsyat disertai tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi, dan Donggala.
Jangankan bermimpi untuk mengantongi uang Rp 300 juta, Madjid pun nyaris menjadi korban tsunami. “Saya kebetulan di penggaraman Talise waktu itu, sempat diseret air sampai ratusan meter dan tersangkut di pohon sana. Untung saya masih selamat,” kata Madjid, sembari menunjuk pohon nun jauh di sana.
Lelaki kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, itu menceritakan kisahnya saat ditemui di Penggaraman Talise, Senin (21/9) pagi.
Gempa dan tsunami hebat akhir September itu melenyapkan ladang sumber mata pencaharian Madjid dan kawan-kawan. Lahan luas yang sejak lama menjadi sumber penghidupan mereka lenyap seketika. Kubangan-kubangan yang biasa untuk “menanam” garam itu tertimbun material dan pasir laut yang meluap.
Areal penggaraman di bibir Teluk Palu seluas 21 hektare itu porak-poranda. Malahan, ditemukan beberapa mayat di kawasan itu. Kawasan penggaraman Talise yang diolah sekitar 164 petani garam, menjadi salah satu titik yang parah dihantam tsunami.
Empat bulan setelah bencana berlalu, para petani garam mulai membenahi lahannya lagi. Termasuk Abd. Madjid. Menurutnya, pasca bencana lahan menjadi berkurang dari 21 hektar menjadi 16 hektar. Petaninya pun berkurang.
Bencana itu sempat membuat para petani garam kelimpungan. Bagaimana kembali menata kehidupan? Harus memulainya lagi nol.
Saat mereka mulai menggarap petak-petak garam itu, datang bantuan dari Jejaring Mitra Kemanusiaan (JKM) Oxfam. Sebanyak 158 petani garam mendapat bantuan agar mereka segera bisa mandiri dan menata kehidupan baru.
“Bantuan ini bagi kami merupakan berkah dan memberi manfaat luar biasa untuk masa datang,” kata Amran, salah satu petani garam.
Sementara Officer Livelihood dan pendamping kelompok petambak garam, Nuraidha yang dihubungi menjelaskan, dari hasil pendataan, 160 petani garam yang tergabung dalam 16 kelompok membutuhkan bantuan. Mereka butuh bantuan mulai dari papan, pipa paralon, gerobak dorong, cangkul, sekop, penggaruk, serta diesel penyedot dari air laut ke tambaknya masing-masing.
Selain bantuan peralatan, JMK-Oxfam juga menawarkan teknologi baru dalam proses pembuatan garam. Yakni dengan menggunakan terpal sebagai pelapis tanah yang disebut teknologi membran. Tujuannya selain lebih efektif, kualitas garam juga lebih bagus.
Meski begitu, pihaknya tidak memaksakan keinginan. “Kalau memang petani tetap menginginkan cara tradisional juga tidak ada masalah. Buat kami, yang penting petani garam kembali menemukan harapan dan memulihkan kembali kehidupannya,” katanya.
Produksi Meningkat
Rata-rata petani garam di Talise memanfaatkan bantuan dari JMK-Oxfam. Hampir semua lahan tambak kini menggunakan membran. Penerapan teknologi membran guna menghasilkan garam kualitas satu oleh petani garam di Pantai Talise.
Khusus lahan dua petak yang dimiliki Ahlan agak lain dari yang lainnya. Pinggir petak lahannya sampai dicor dengan semen sehingga menjadi kuat dan tak gampang dimasuki kotoran.
Setiap tiga hari ia bisa melakukan panen garam dengan menggunakan membran. Padahal bisanya dengan cara tradisional nanti lima hari baru garam dapat dipanen.
Amran, yang masih bersaudara dengan Ahlan, membenarkan produksi garam lebih menjanjikan dengan menggunakan teknologi membran ketimbang yang tradisional. “Setiap tiga hari sudah dapat panen, sedangkan yang diolah secara tradisional nanti lima hari baru dapat dipanen,” katanya.
“Apalagi sekarang musim hujan, panen selalu gagal. Dengan memakai membran, lolos tiga hari tidak hujan sudah bisa panen,” kata Amran, pensiunan PNS.
Abd. Madjid juga membenarkan. Ia menceritakan, ketika lahannya dipasang membran, istrinya sempat ngomel. Namun alangkah terkejutnya sang istri ketika ia bilang siapkan delapan karung untuk panen garam. “Soalnya selama ini bila panen hanya menghasilkan tiga karung garam dalam sepetak lahan,” katanya.
Tetapi sejak enam bulan terakhir, petani garam di Talise kebanyakan gagal panen. Penyebabnya, selalu turun hujan. “Begitu hujan, sudah gagal lagi panen. Hanya satu dua petani saja yang panen karena menggunakan membran,” kata Amran.
Ia mengungkapkan, tumpukan garam yang dijual di sepanjang Jalan Yos Sudarso, bukanlah produksi Pantai Talise. Tumpukan garam itu berasal dari Surabaya dan Makassar. “Ya, karena itu tadi, musim hujan sehingga selalu gagal panen,” katanya.
Menurutnya, harga garam sekarang mencapai Rp 200 ribu per karung untuk keperluan konsumsi. Tetapi untukkeperluan industry dijual Rp 90 ribu per karung karena pembelian dalam jumlah banyak.
“Kami ingin mempopulerkan garam asli Talise. Begitu orang menyebut garam, langsung teringat garam asli dari Talise. Koperasi pun kami bentuk dengan nama Garata. Itu adalah kepanjangan dari Garam Asli Talise,” kata Madjid yang juga sebagai Ketua Koperasi Garata.
Ratusan petani garam di Talise mulai bangkit kembali. Namun kendala yang dihadapi menurut Madjid, mereka belum memiliki gudang untuk penampungan hasil panen para petani.
Meski begitu, yang penting para petani garam sudah kembali menemukan harapan dan memulihkan kembali kehidupan mereka. TASMAN BANTO