Oleh: Muhammad Fazlur Rahman (Tim SultengLawanCovid)
Tanggal 26 Maret 2020, kasus pertama COVID-19 terdeteksi di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kota Palu. Pasien tersebut merupakan pelaku perjalanan, yang kemungkinan tertular saat sebelum kembali ke Palu. Lebih dari 500 hari kemudian, COVID-19 masih terdeteksi di Sulawesi Tengah bahkan dalam keadaan yang lebih berbahaya.
Hingga Minggu, 15 Agustus 2021, tercatat 1048 kasus meninggal yang diakibatkan oleh COVID-19 di Sulawesi Tengah. Ada catatan penting yang perlu kita renungkan, 645 kasus meninggal atau 67.6 persen dari total kasus meninggal terjadi di 1,5 bulan terakhir. Ini berarti, di Sulawesi Tengah, 1 orang meninggal akibat COVID-19 setiap 2 jam. Mungkin, kerabat kita sudah menjadi korban.
Dari 1048 kasus meninggal terkait COVID-19, angka terbesar datang dari Kabupaten Banggai sebanyak 224 kasus, disusul Kota Palu sebanyak 173 kasus. Banggai Laut, kabupaten terjauh dari Kota Palu mencatat 20 kasus meninggal akibat virus ini. Tidak ada kota atau kabupaten yang bebas dari COVID-19, penyakit ini telah mewabah ke segala penjuru hingga ke pelosok.
Lebih Mencekam dari Pulau Jawa
Pada situs Kementerian Kesehatan, terdapat tiga kategori transmisi komunitas untuk mengukur keparahan penyebaran COVID-19. Tiga kategori ini adalah Kasus Konfirmasi, Rawat Inap Rumah Sakit, dan Kematian. Perhitungan yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk kategori-kategori tersebut dibagi per 100 ribu penduduk per minggu. Dengan cara ini, kita dapat melihat tingkat “kepadatan” COVID-19 di masyarakat pada suatu daerah.
Sulawesi Tengah, per 11 Agustus 2021, mencatat 203,76 kasus terkonfirmasi positif per 100 ribu penduduk per minggu. Angka ini jauh lebih tinggi dari puncak kasus COVID-19 di Jawa Barat dengan 127,59 kasus terkonfirmasi positif per 100 ribu penduduk per minggu. Pada kategori ini, penyebaran COVID-19 di Sulawesi Tengah juga “lebih padat” dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dengan jumlah fasilitas kesehatan yang lebih sedikit dari provinsi-provinsi tersebut, tentu beban yang dihadapi puskesmas, rumah sakit, dan tenaga Kesehatan kita lebih berat. Jelas, kondisi pandemi di provinsi kita lebih mencekam dari Pulau Jawa. Kita berada dalam kondisi krisis.
Pada 13 Agustus 2021, Sulawesi Tengah berada pada 6 besar provinsi dengan kasus terkonfirmasi per 100 ribu penduduk per minggu terbanyak. Kita memuncaki klasemen di Pulau Sulawesi, menjadi daerah yang paling berbahaya di antara provinsi-provinsi lainnya.
Gambaran kondisi krisis ini jelas terlihat pada masyarakat kita. Di Banggai misalnya, dalam sehari terdapat 12 Jenazah yang “antri” untuk pemulasaran COVID-19 pada tanggal 4 Agustus 2021. Kemudian di Palu, di hari yang sama, dr. Rochmat selaku Ketua Satgas COVID-19 Kota Palu, menyampaikan bahwa 7 orang penderita COVID-19 meninggal saat isolasi mandiri di minggu itu.
Mari kita renungkan sekali lagi, kita berada dalam kondisi krisis. Kasus COVID-19 di Sulawesi Tengah jauh lebih mencekam dari Pulau Jawa.
PPKM Level IV
Efektif mulai tanggal 10 Agustus hingga 23 Agustus 2021, terdapat tiga daerah yang harus menjalani Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level IV di Sulawesi Tengah. Tiga daerah tersebut adalah Palu, Banggai, dan Poso dengan lebih dari 1000 kasus aktif COVID-19. Hal ini tentu merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus ini di tengah masyarakat.
Masyarakat tidak diperbolehkan mengadakan acara yang melibatkan keramaian, termasuk pesta dan resepsi pernikahan. Kegiatan-kegiatan pada tempat umum juga dibatasi jumlah warga dan jam operasionalnya. Pun, menurut instruksi gubernur, bilamana ada keramaian pada lingkungan masyarakat, protokol kesehatan 5M harus dipatuhi.
Lain aturan dengan lapangan, beberapa kali kami menjumpai laporan mengenai keramaian yang terjadi di masyarakat. Misalnya, Wali Kota Palu menganjurkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti demi mengejar target penghargaan Adipura. Kita tahu, tidak ada kerja bakti yang tidak menimbulkan keramaian, pun tidak mungkin dilakukan secara virtual. Alih-alih berupaya menurukan penyebaran COVID-19 di masyarakat, ajakan kerja bakti ini justru membuka celah baru bagi virus ini.
Mari kita renungkan sekali lagi, kita berada dalam kondisi krisis. Sudahi acara beramai-ramai, tekan laju penyebaran COVID-19!
Lawan COVID-19!
Simpul-simpul relawan yang diinisiasi oleh warga mulai terjalin. Sebut saja Roa Jaga Roa, gerakan oleh wartawan di Kota Palu yang bertujuan untuk membantu pasien-pasien isolasi mandiri (isoman). Beberapa nama lain yang bisa kami sebutkan adalah JagaPalu, Sigi Mosijagai, dan Relawan Nagasi oleh Pemerintah Kota Palu.
Gerakan relawan ini fokus pada penanganan pasien yang telah terkonfirmasi COVID-19. Ibarat genting bocor saat hujan deras, mereka membantu pemerintah “mengeringkan” lantai untuk mencegah korban jiwa. Kawan-kawan relawan Mendedikasikan energi, waktu, dan biaya atas nama kemanusian.
Melawan COVID-19 tidak cukup dengan mengeringkan lantai yang basah tersebut. Masalah di bagian hulu harus diatasi, yaitu dengan membenahi genting yang bocor. Laju penyebaran virus ini harus ditekan sehingga jumlah orang yang terjangkit dan meninggal berkurang. Ikhtiar membenahi genting yang bocor ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang memiliki sumber daya dan kuasa. Instrumen-instrumen yang dapat digunakan tentu sudah termuat dalam arahan PPKM Level IV, yang kemudian harus diadaptasi sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
Masyarakat dan pemerintah harus bergandengan tangan menekan penyebaran COVID-19. Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas testing, tracing, dan treatment. Sementara masyarakat harus menegakkan protokol kesehatan 5M; memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Dalam melaksanakan perannya, masyarakat dan pemerintah perlu saling mengingatkan sehingga penanganan krisis akibat wabah dapat berjalan dengan baik. ***