SINAR matahari mulai mengintip dari sela-sela jendela kamar, mengenai tubuh dan membuat saya terbangun. Kokok ayam dan kicau burung menjadi alarm alami penanda hari telah berganti dari malam menjadi pagi. Nampak kabut masih berselimut tipis di rimbun pepohonan yang ada di perbukitan, tepat saat pintu depan rumah dibuka.
Rumah Iswadin (39) adalah tempat saya tinggal di Desa Rano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, selama pelaksanaan Festival Rano Balaesang, 29 Februari hingga 1 Maret 2020. Rumah ini merupakan salah satu rumah yang didirikan di kawasan pemukiman baru di desa tersebut, kawasan pemukiman yang direkomendasikan oleh Walhi Sulteng, sebagai lokasi aman bencana.
Pada lokasi pemukiman yang berada di Dusun I Desa Rano ini, belum banyak rumah yang dibangun. Sebagian besar rumah yang dibangun adalah rumah tumbuh yang diinisiasi oleh Walhi. Warga yang memutuskan pindah ke lokasi ini, sebagian besar adalah mereka yang dulunya tinggal di sempadan danau. Bencana gempa bumi 28 September 2018 lalu, membuat kawasan tempat tinggal mereka secara zonasi masuk zona merah, karena kerentanan terhadap gempa bumi, dan zonasi tersebut membuat sebagian warga yang dulunya bermukim di lokasi tersebut, pindah secara sukarela ke lokasi pemukiman baru ini.
“Ada juga yang belum pindah. Tidak ada paksaan untuk segera pindah ke lokasi baru, yang mau saja yang pindah ke sini,” ujar Iswadin, Sabtu (29/2/2020).
Menurut Iswadin, akibat bencana gempa bumi 28 September 2018 lalu, hampir 90 persen rumah warga di desa tersebut mengalami kerusakan. Hanya rumah berdinding papan dan berbahan kayu yang selamat. Rumah yang ditempatinya di lokasi pemukiman baru tersebut, saat gempa terjadi, sementara dalam proses pembangunan dan dinding batako bagian atas roboh. Tidak ingin kejadian serupa terulang dan membahayakan keluarganya, setengah dinding yang roboh tersebut, kemudian diganti dengan kayu dan papan, hingga menjadi bangunan semi permanen.
Dengan intervensi bantuan oleh Walhi, dibangun 67 rumah tumbuh yang tersebar di empat dusun di Desa Rano, dengan rincian 25 unit rumah dibangun pada tahap pertama dan 42 unit rumah dibangun pada tahap kedua. Satu unit rumah tumbuh berukuran 4×7 meter, dan luasannya dapat ditambah secara mandiri oleh warga penerima.
Lokasi Desa Rano yang berada di jantung Tanjung Manimbaya, membuat desa tersebut dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan. Topografi alam tersebut membuat akses listrik, telekomunikasi dan jalan ke desa tersebut menjadi sangat terbatas. Untuk listrik misalnya, sejak 1990-an telah berdiri tiang listrik di desa tersebut, dari arah Desa Kamonji, namun tak kunjung dipasangi kabel dan dialiri listrik. Baru pada tahun 2019, jaringan tiang dan kabel listrik masuk dari arah Desa Awesang, namun sampai saat ini juga belum jelas kapan teraliri listrik. Antara tahun 2011 hingga 2017, masyarakat sempat menikmati aliran listrik dari pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) bantuan dari Bank Indonesia, namun kerusakan mesin PLTMH tersebut membuat masyarakat kembali mengandalkan pasokan listrik dari genset dan panel surya.
Untuk akses telekomunikasi, sebelumnya kata Iswadin, jika warga di Desa Rano ingin menghubungi keluarganya di luar lewat sambungan telepon, maka mereka harus ke daerah ‘puncak’, atau daerah ketinggian, untuk menemukan sinyal telekomunikasi. Baru setahun terakhir, sebuah tower telekomunikasi berdiri di desa tersebut, sehingga akses telekomunikasi akhirnya terbuka.
“Tower ini mengunakan listrik dari panel surya, jadi walaupun listrik padam, sinyal tidak terganggu,” ujarnya.
Kemudian untuk akses jalan, ada tiga jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Desa Rano, yakni melalui jalur dari Desa Kamonji, dengan kondisi jalan berlumpur dan becek jika musim hujan tiba. Jalur jalan yang telah diaspal tersebut, aspalnya telah dimakan usia dan hingga kini belum ada perbaikan jalan.
Jalur kedua dari Desa Awesang, yang diklaim merupakan salah satu jalur yang tercepat. Jalur ini bermuara di jalur Walandano – Palau. Menurut Iswadin, jika musim hujan, akses jalan di jalur ini lebih sudah dilewati daripada jalur dari Kamonji, karena kondisi jalan yang mendaki dan berlumpur.
Jalur ketiga adalah jalur jalan dari wilayah Dusun Sivia, Desa Ketong, yang merupakan jalan setapak yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua.
Buruknya akses jalan ini, berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Desa Rano. Untuk pengembangan wisata danau misalnya, walaupun memiliki potensi keindahan alam yang tidak kalah dengan danau lainnya, tapi akses jalan membuat potensi ini tidak muncul keluar. Selain itu, untuk menuju pasar terdekat, yakni di Desa Kamonji misalnya, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit.
“Syukur sudah ada pasar di Kamonji, jadi sudah agak dekat sedikit, maksimal setengah hari perjalanan lah, jika hendak ke pasar tersebut. Kalau dulu, saat pasar Kamonji belum ada dan kendaraan belum banyak seperti sekarang, warga di sini terpaksa menempuh perjalanan jalan kaki menuju pasar Labean, lewat jalur Desa Awesang. Mereka harus mulai jalan dari jam 2-3 dinihari, agar tidak ketinggalan kapal atau perahu menuju Dusun Mapaga, Labean. Butuh waktu satu hari, hanya untuk ke pasar, itupun dengan bawaan yang terbatas, karena hanya mengandalkan tenaga sendiri,” jelas Iswadin.
Festival Rano Balaesang yang dilaksanakan Walhi ini, seharusnya menjadi turning point untuk mendesak pemerintah terkait perbaikan infrastruktur jalan, percepatan masuknya listrik, serta pengembangan potensi wisata danau tersebut. Hampir 75 tahun Indonesia merdeka, namun keterbukaan akses seperti di daerah lain, tidak kunjung dirasakan warga desa tersebut. Sudah saatnya pemerintah membuka mata untuk pengembangan Desa Rano. JEF