Gadis Kulawi Itu Kini Lancar Berbahasa dan Menulis Mandarin

IMG-20200819-WA0010

INILAH pengalaman menarik dari Evita Oktavia. Jauh-jauh pergi menuntut ilmu ke Tiongkok, tetapi sekata-patah pun ia tak paham bahasa di sana. Berkat kegigihannya dan keinginannya belajar, semuanya dilalui dengan lancar-lancar saja. Kini, gadis asal Kulawi, Kabupaten Sigi itu lancar bercakap menggunakan mabahasa Mandarin termasuk menulis. 

“Saya mendapat beasiswa dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) untuk melanjutkan studi di Tiongkok. Saya kuliah di Central South University di Kota Changsha, Provinsi Hunan, Tiongkok, mengambil Magister Psikologi Klinis,” kata Evita Oktavia kepada Mercusuar.

Hari Sabtu lalu, ia ikut bergabung dengan pengurus INTI Sulawesi Tengah saat penyerahan bantuan ke korban banjir di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi. Ia kemudian menceritakan pengalamannya bagaimana berjuang untuk belajar di Kota Changsha.

Evita, kelahiran 26 Oktober 1995, berangkat ke sana tanpa modal bahasa Mandarin. Mulai pertama kali tiba di bandar udara Changsha, ia mulai kesulitan berkomunikasi. Tidak seorang pun yang mengerti bahasa Inggris. Padahal, ia perlu menghubungi teman untuk menjemputnya.

Bayangkan saja, proses dimulai sejak ia tiba pertama kalinya di bandara Changsha. Ia berangkat sendiri dari Shanghai ke Changsha. “Belum memiliki provider Tiongkok, belum mengerti, apalagi ngomong bahasa Mandarin, lengkap sudah ha … ha… ha …,” katanya.

Waktu itu, mau tidak mau ia harus berusaha untuk menghubungi temannya. Ia hanya bisa memakai bahasa isyarat untuk meminjam Wifi ke salah seorang petugas di bandara. Itu pun butuh beberapa saat sampai dia meminjamkannya.

“Mulai dari pengalaman itu, saya bertekad untuk bisa menggunakan bahasa Mandarin. Saya harus bisa,” kata lulusan S1 daari Sanata Dharma University, Jogyakarta itu.

Setibanya di Asrama, bibi penanggung jawab asrama juga hanya bisa senyam senyum karena mereka berdua belum bisa berkomunikasi. Bibi yang akan terus mendampinginya juga tidak mengerti bahasa Inggris.

“Inilah yang menjadi proses saya sehari-harinya, karena saya perlu sering komunikasi dengan bibi. Isi air galon, cek saldo listrik, tanya pemberitahuan, tanya peraturan asrama, tanya alamat, dan lainnya itu perlu komunikasi sama bibi,” tuturnya.

Selain komunikasi, belum lagi berbagai aplikasi buatan negara luar seperti google, WhatsApp, Line, dan lainnya  tidak bisa digunakan di Tiongkok. Jadi harus mengunduh aplikasi serupa namun milik Tiongkok. Semuanya tentu saja memakai Hanzi.

Lalu, ke mana-mana di Changsha semua tulisan berupa Hanzi. Sangat minim tulisan berupa huruf atau dalam bahasa Inggris.

Awal perkuliahan Evita memulainya dengan belajar bahasa Mandarin. Dalam waktu kurang dari 1 tahun, tepatnya 8 bulan, ia dan teman-temannya harus lulus ujian kompetensi bahasa Mandarin tingkat 4 (HSK 4).

“Wah, secara pribadi ini tantangan sekali karena saya benar-benar dari nol, tidak mengerti bahasa Mandarin sama sekali. Tetapi proses yang saya lewati sangat membantu untuk berhasil lulus HSK 4,” cerita Evita.

Dosen di kampusnya sangat ramah dan kebanyakan mereka masih muda. Seperti wali kelasnya, misalnya, seumuran dengan dia. Jadi agak mudah untuk berbagi kesulitan dalam belajar. Mereka sangat mendorong setiap mahasiswa untuk disiplin belajar.

Ketika kuliah di Tiongkok, khususnya Changsha, akan sering dijumpai mahasiswa-mahasiswa yang datang ke kelas untuk belajar di luar jam kuliah. Memang kampus dibuka setiap hari dari jam 7 sampai jam 10 malam. Kebanyakan mahasiswa memilih untuk belajar di kelas daripada di asrama.

Menurutnya, kampus adalah lingkungan yang sangat produktif. Ketika jam kuliah sudah selesai, ia juga suka menghabiskan waktu untuk meriview pelajaran atau mengerjakan PR di kelas.

Yang perlu dicontoh menurutnya, perpustakaan akan selalu penuh setiap paginya. Mahasiswa lokal di sana akan mulai berbaris memanjang seperti ular 30 menit sebelum perpustakaan dibuka. Mereka mengantre untuk masuk ke perpustakaan.

Ketika minggu ujian, jangan harap akan mendapatkan tempat di perpustakaan. Siapa cepat dia dapat. Bahkan, di kelas-kelas juga akan penuh mahasiswa yang mau belajar.

“Saya juga tidak kesulitan untuk mencari teman lokal. Sewaktu saya sedang istirahat di taman, ada dua orang mahasiswa yang sedang berlatih bahasa Inggris dan saya tergerak ingin menyapa. Akhirnya kami pun menjadi teman,” ungkapnya.

Merekalah yang menemani Evita untuk berkeliling mengenal Kota Changsha dan saling bertukar bahasa. Mereka mengajari dia bahasa Mandarin dan ia mengajari mereka bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sekalipun serba terbata-bata, tapi perbedaan bahasa bukan menjadi penghalang mereka untuk tetap berteman.

Menurutnya, mereka sangat mengerti dia yang masih belajar bahasa Mandarin, dan ia juga mengerti mereka yang masih belajar bahasa Inggris.

Sewaktu di dalam angkutan umum juga tidak sulit untuk mengajak orang lokal berkenalan. Mereka sangat terbuka kepada orang asing dan bahkan bisa bersahabat dengan mereka.

“Sewaktu di tempat makan, seorang warga lokal tidak sengaja menginjak kaki saya dan hanya dari kecelakaan kecil kami pun juga bisa menjadi teman. Bahkan, ternyata dia pernah ke Bali, jadi kami nyambung sewaktu bercerita,” papar Evita.

Menurutnya, kuliah di Changsha adalah bekal terbaik untuk menggapai cita-citanya. Setiap hambatan adalah batu loncatan untuk bisa melangkah lebih jauh. Ia mulai kuliah sejak tahun lalu, dan mentargetkan selesai dua tahun lagi.MAN

Pos terkait