Gubernur Sulteng Tanggapi Situasi ANA, Perintahkan Investasi Harus Dijaga, Bukan Diusir

PALU, MERCUSUAR –  Aksi-aksi klaim lahan di atas area perkebunan PT Agro Nusa Abadi (ANA) masih terus terjadi. Setelah keluar rekomendasi penyelesaian dari Gubernur Sulteng, larangan panen kini kian melebar dan berpotensi menjadi konflik horizontal. Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura khawatir situasi ini mengganggu iklim investasi. 

“Ini pengusaha atau investor jangan diusir, karena kan ini penting untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Rusdy Mastura kepada Mercusuar. Menurutnya, untuk mencegah oknum masyarakat melakukan pencurian, musti ada aparat polisi yang menjaga (keamanan). “Kalau klaim lahan itu lewat Biro Hukum, nanti ada Kepala Desa yang wakili masyarakatnya,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah provinsi sudah turun tangan berusaha membantu penyelesaian. Rusdy Mastura yakin bahwa masyarakat akan berterima kasih jika masalah ini dapat diselesaikan.

Penyelesaian memang sangat diharapkan. Ketua Lembaga Adat Wita Mori, Julius Pode mengungkapkan bahwa aksi klaim lahan ini sudah berlarut-larut. Padahal, menurut tokoh masyarakat yang tahu persis awal mula kehadiran perusahaan di daerahnya ini, sosialisasi dan ganti rugi sudah selesai di tahun 2006. Saat itu, proses sosialisasi dan pendataan memakan waktu yang sangat lama. 

“Sudah verifikasi, sudah validasi, sudah kompensasi juga. Bahkan waktu itu, tiga bulan daftar nama (pemilik lahan) digantung di Balai Desa, silahkan protes kalau tidak ada namanya,” kata Julius Pode menceritakan kembali situasi awal mula perusahaan hadir. Langkah ini dilakukan untuk memastikan hak-hak warga terjamin.

Namun, ia mengaku heran. Dalam proses yang panjang itu tidak ada keributan seperti sekarang. “Lucunya kenapa baru sekarang (para klaimer) muncul? Sudah bertahun-tahun ditanam. Setelah berhasil. Sebenarnya kalau mau muncul saat itu bisa (saat pembukaan di 2006),” katanya.

Bahkan menurut kesaksian Julius Pode, PT ANA telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Morowali Utara. Tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, PT ANA juga memberikan fasilitas pendidikan, seperti pembangunan sekolah, bus antar-jemput serta beasiswa pendidikan bagi anak-anak berprestasi. Selain itu, PT ANA juga kerap menggulirkan program CSR untuk masyarakat sekitar.

Menurut Ketua Lembaga Adat Wita Mori tersebut, aturan dibuat untuk mendukung dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk dipangkas bahkan dihilangkan. Menurutnya, operasional (PT ANA) sudah sesuai aturan. Julius Pode hanya berharap untuk mengembalikan semua proses penyelesaian kasus di PT ANA kepada aturan yang berlaku di Indonesia.

Anggota DPRD Morowali Utara Yaristan Palesa menambahkan bahwa kehadiran pengusaha atau investor ke suatu daerah pasti memiliki niat yang baik dalam membangun ekonomi daerah dan tentu juga masyarakat sekitar. Apalagi pada kasus PT ANA, perusahaan diundang masuk oleh pemerintah setempat. Ketika ada konflik, menurutnya penyelesaian bisa dilakukan secara musyawarah. Tapi jika aktivitas sudah ilegal sebaiknya diselesaikan secara hukum.

“Sebagai negara hukum, tentu kita harus ikut aturan yang ada. Kalau kasus pencurian sudah jelas itu tindakan kriminal, dan bisa pidana. Kalau memang itu kasus klaim lahan bisa diselesaikan secara musyawarah dan diikuti dengan hukum yang berlaku,” ungkap Yaristan Palesa.

Yaristan Palesa lebih lanjut menjelaskan bahwa memang ada perubahan hukum yang terjadi di Indonesia, tetapi undang-undang itu tidak berlaku surut. Maksudnya, kalau suatu perusahaan itu baru saja beroperasi, mereka akan mengikuti undang-undang saat itu.

“Merujuk kepada UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014, perusahaan yang sudah dikelola sebelum tahun 2017 berarti secara legalitas sudah aman untuk tetap melakukan bisnis. Tetapi karena ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 138 di tahun 2015, sekarang perusahaan harus mengurus Hak Guna Usaha (HGU) sembari mengelola bisnisnya. Ini sudah banyak dijelaskan oleh pakar hukum,” tutup Yaristan.(MAN

Pos terkait