PALU, MERCUSUAR – Dodi Putro dari PT. Lintas Data Prima, mengatakan bahwa potensi untuk mendirikan pabrik kakao di Palu sangat strategis melihat potensi yang ada. Berdasarkan kajian bahwa hasil perkebunan kakao masyarakat Sulteng dieksport melalui Makassar, sehingga hasil kakao Sulteng tidak di kenal oleh publik nasional maupun internasional.
“Akhirnya industri kakao besar dunia kurang memberikan perhatian dalam pemberian CSR kepada masyarakat Sulawesi Tengah,” ungkapnya.
Hal itu dikemukakan dalam rapat di ruang kerja Sekdaprov Sulteng, Senin (4/3).
Menurut Dodi, rencana pembangunan industri kakao di Palu perlu dukungan pemerintah agar kebutuhan industri dapat terpenuhi. Kalau dilihat industri kakao di Tangerang membutuhkan 400 ton per hari, tapi melihat potensi kakao daerah ini sangat potensial untuk pembangunan industri kakao di Palu.
Karenanya perlu dukungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis dan Perusda, sehingga industri kakao sesuai harapan bisa segera terwujud.
Sekertaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sulawesi Tengah, Mohammad Hidayat Lamakarate, didampingi Asisten II, Bunga Elim Somba, memimpin rapat rencana pembangunan industri kakao di Palu itu. Rapat ini dihadiri Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan, Maya Malania Noor, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Mohammad Arief Latjuba, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM, Eda Nur Ely dan Pimpinan Perusahaan Daerah, PT. Pembangunan Sulteng.
Pada kesempatan itu, Hidayat Lamakarate, menyampaikan apresiasi atas rencana pembangunan industri kakao di Palu. Hal itu sebagai wujud meningkatnya kesejahteraan masyarakat petani kakao.
Oleh sebab itu, perlu dibangunnya industri kakao yang berskala besar dengan harapan, harga kakao dan jaminan untuk menampung hasil masyarakat terpenuhi. Dengan demikian, diharapkan adanya peningkatan harga kakao produksi perkebunan masyarakat.
Selain itu perlu peningkatan dukungan dari pemerintah kepada masyarakat petani kakao, sehingga masyarakat petani kakao dapat lebih bergairah lagi.
“Harapannya dapat terpenuhi kebutuhan industri kakao yang rencananya akan dibangun,” katanya.
Hidayat Lamakarate mengemukakan terkait lokasi pembangunan industri kakao yang direncanakan sudah siap di lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu. Ketersediaan listrik di Sulteng sudah mencukupi dengan sistem jaringan terkoneksi Pulau Sulawesi.
Penghasil Terbesar
Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan daerahnya merupakan penghasil komoditas kakao terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
“Produksi kakao petani Sulteng setiap tahunnya sekitar 250 ribu ton,” katanya di sela-sela peringatan Hari Pangan se-Dunia tingkat provinsi yang berlangsung di Kota Palu, Kamis (11/10/2018).
Gubernur Longki mengatakan kakao merupakan komoditas unggulan petani di seluruh kabupaten di provinsi itu.
Produksi kakao petani Sulawesi Tengah selama ini sudah banyak diekspor ke berbagai negara di kawasan Asia, Amerika maupun Eropa dengan menghasilkan devisa cukup besar bagi negara.
Sebagai komoditi primadona, pemerintah daerah terus mendorong para petani untuk mengembangkan tanaman perkebunan tersebut mengingat kebutuhan pasar setiap tahunnya semakin meningkat.
Sementara Sekretaris DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sulawesi Tengah, Achrul Udaya membenarkan ekspor perdana biji kakao langsung dari Pelabuhan Pantoloan Palu menuju negara konsumen dilakukan pada 1994.
Ekspor perdana biji kakao petani Sulawesi Tengah tersebut dilepas langsung oleh Gubernur ketika itu dijabat Azis Lamadjido.
Selama beberapa tahun, komoditas kakao tercatat sebagai produk ekspor non-migas penghasil devisa terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah.
Namun, kata dia, kurun beberapa tahun terakhir ini, volume maupun perolehan devisa dari ekspor kakao mengalami penurunan akibat produksi petani terus berkurang.
Petani kakao di Sulteng pernah mencapai puncak kejayaan ketika harga kakao di pasaran lokal maupun internasional bergerak naik pada saat krisis moneter terjadi era 1998.
Saat itu, harga biji kakao di pasaran Kota Palu naik mencapai Rp 30 ribu/kg.
Banyak petani yang memiliki lahan kakao cukup luas tiba-tiba ekonominya meningkat sehingga bisa membeli kendaraan mobil dan naik haji.
“Saya kebetulan waktu itu masih menjabat Kepala Cabang PT Sucofindo dan saya tahu persis bagaimana Sulteng melakukan ekspor perdana komoditi kakao langsung dari Pelabuhan Pantoloan Palu,” kata dia dikutip Antara.
Selama itu, kata Achrul, hasil panen petani hanya diantarpulaukan ke Surabaya. Dari sana baru komoditi tersebut diekspor ke berbagai negara konsumen.
Harga biji kakao di pasaran Kota Palu akhir tahun lalu berkisar Rp 26.000/kg. Di tingkat petani bervariasi antara Rp 22.000 s/d Rp 24.000/kg.
Data Dinas Perkebunan Provinsi Sulteng menyebutkan luas lahan kakao di daerah ini sekitar 291.000 hektare tersebar di 13 kabupaten dan kota.BOB