PARMOUT, MERCUSUAR – Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Parigi Moutong (Parmout), Faradiba Zaenong menilai polemik penetapan 53 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bukan lagi sekadar perdebatan administratif. Melainkan, telah menjelma menjadi persoalan serius yang menyangkut wibawa dan kejujuran Pemerintahan Daerah (Pemda).
Menurut Faradiba, publik awalnya hanya mengetahui bahwa Bupati Parmout, H. Erwin Burase hanya menyetujui sebanyak 16 titik WPR. Namun, dalam dokumen resmi yang ditandatangani langsung oleh Bupati dan beredar luas, jumlahnya justru melonjak menjadi 53 titik.
“Pertanyaannya sederhana, siapa yang menambah, atas dasar apa, dan mengapa Bupati bisa menandatangani tanpa mengetahui isi dokumen secara utuh,” ujar Faradiba kepada awak media di Parigi, Rabu (29/10/2025).
Ia menegaskan, bahwa kondisi tersebut menimbulkan keraguan publik terhadap kredibilitas dan transparansi birokrasi pemerintahan daerah. Faradiba menyebut, masyarakat kini mulai mempertanyakan apakah sistem pemerintahan masih berjalan sesuai aturan, atau justru dipengaruhi oleh kedekatan dan kepentingan tertentu di balik meja kekuasaan.
Faradiba juga menyoroti lemahnya koordinasi antar pejabat di lingkungan Pemkab Parigi Moutong. Hal itu dibuktikan dengan setiap kali masyarakat menantikan klarifikasi yang menenangkan, malah yang muncul justru pernyataan saling bantah dan menyalahkan, sehingga menambah kebingungan publik.
“Rakyat hanya butuh kepemimpinan yang tegas dan tahu apa yang sedang terjadi di bawah tanggung jawabnya. Bupati seharusnya menjadi penenang badai, bukan bagian dari pusarannya,” tegas Faradiba.
Ia pun menilai, bila memang terjadi kesalahan atau manipulasi internal, maka penyelesaiannya seharusnya dilakukan dengan cara tertutup dan bermartabat. Bukan melalui pernyataan publik yang justru memperkeruh suasana.
Sebab, menurut Faradiba, semakin sering pejabat berbicara tanpa arah dan satu kendali komunikasi yang jelas, maka hal itu hanya menampakkan lemahnya sistem pemerintahan daerah.
“Semakin sering pejabat bicara tanpa arah, semakin terlihat lemahnya koordinasi dan kontrol dalam pemerintahan. Ini berbahaya bagi kepercayaan rakyat,” katanya.
Faradiba kembali menegaskan bahwa polemik 53 titik WPR tersebut harus dijadikan momentum koreksi dan pembenahan sistem, bukan sekedar ajang saling serang antar pejabat atau panggung pencitraan politik.
Ia mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa keras seseorang membela diri, melainkan dari kemampuannya menenangkan dan menuntaskan kekacauan di bawah sistem yang ia pimpin.
“Pada akhirnya, kepemimpinan tidak diukur dari seberapa keras seseorang membela diri, tapi dari seberapa tenang ia menuntaskan kekacauan yang terjadi di bawah sistemnya sendiri,” tandas Faradiba. AFL






