PALU, MERCUSUAR – Pertambangan emas ilegal di Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, yang sempat berhenti melakukan aktifitas pertambangan akhir tahun 2019, kini kembali beroperasi. Geliat aktifitas dan hiruk-pikuk alat berat (eksafator) yang mengeruk material dan dump truck yang mengangkut material hasil kerukan kembali terlihat.
“Pertambangan emas secara besar-besaran menggunakan alat berat ini dapat dipastikan adalah praktik illegal mining,” kata Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulteng, Dedi Askari.
Menurut Dedi dalam rilisnya yang diterima Mercusuar, kemarin, kembali beroperasinya pertambangan emas Ilegal di Desa Kayuboko mencerminkan ketidakseriusan pemerintah (eksekutif, legis latif) lebih-lebih aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun pihak Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri.
Aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, sebagaimana ditegaskan oleh Kapolda Sulteng beberapa waktu yang lalu bahwa “Siapapun yang terlibat, tidak peduli, kita Proses!!!. Pokoknya kita tangkap, tidak ada alasan apapun, kalau dia melanggar, ada perbuatan pidana yang dia langgar, karenanya kita proses”.
Pernyataan Kapolda Sulteng itu menurut Dedi hanyalah lips service semata. Buktinya, tambang emas illegal di Kayuboko kembali beroperasi.
Lazimnya terhadap respon seperti ini, kuat dugaan oknum-oknum institusi yang ada di daerah telah “bersetubuh” dengan pemodal di balik kembali beroperasinya tambang emas Ilegal di Kayuboko. Pada hal, jika serius, sesungguhnya tampak jelas siapa pelaku utama yang bermain di balik aktifitas pertambangan emas ilegal di Kayuboko.
Sudah menjadi rahasia umum, dan kuat dugaan bahwa ada “JF” di balik semua ini. Hal tersebut dapat dilihat beberapa eksafator dan puluhan dump truck diketahui adalah miliknya. Lebih jauh dugaan keterlibatan yang bersangkutan dapat dilihat dari staf atau orang-orang lapangan yang mengawasi kerja-kerja pengerukan dan pengangkutan di Desa Kayuboko, semisal ada dengan inisial “S”.
Dedi menjelaskan, Komnas HAM Perwakilan Sulteng menganggap aktivitas pertambangan emas yang kembali berlangsung saat ini di Desa Kayuboko telah melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Undang-Undang itu menegaskan sebagai-berikut: ”Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah)”.
Hal tersebut didasari temuan hasil penyelidikan Komnas HAM-RI Perwakilan Sulteng, bahwa:
Pertama: Tidak ada satu dokumen apapun terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) bahwa dikawasan tersebut ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diterbitkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah.
Kedua: Merujuk pada dokumen RT/RW yang ada, kawasan tersebut, bukanlah kawasan yang peruntukannya untuk pertambangan, melainkan sebagai pertanian kering dan sebagai kawasan perkebunan.
Ketiga: Selain telah melanggar berbagai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, aktifitas pertambangan emas illegal di Kayuboko, dapat dipastikan juga melanggar Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.
Lebih jauh aktifitas pertambangan illegal tersebut telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2009 tentang Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
Menurut Dedi, aktivitas pertambangan ilegal di Desa Kayuboko ini juga sebenarnya telah memberikan kerugian besar kepada Negara. Aktifitasnya melakukan pengerukan terus menerus terhadap sumber daya alam yang tujuannya hanya memperkaya segelintir orang tanpa melakukan kewajibannya kepada negara.
Namun, di balik semua hal yang dikemukakan di atas, khususnya terkait kembali beroperasinya pertambangan emas ilegal di Desa Kayuboko Kecamatan Parigi Barat, Kabupaten Parigimoutong, seakan semua pihak (eksekutif dan legislative) lebih-lebih aparat penegak hukum tutup mata dan bisu, hingga tidak melakukan langkah hukum apapun.
Padahal penegasan dalam Undang-Undang Minerba sangat jelas bahwa “setiap usaha pertambangan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital menurut Undang-undang Pertambangan dan Mineral ini, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan izin pertambangan”.
Terhadap mereka yang melakukan pelanggaran ketentuan undang-undang tersebut, dapat diancam pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara.MAN