Kekekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Meningkat Pasca Bencana di Sulteng

Perempuan dan anak yang tinggal di Huntara Talise, Kota Palu. FOTO : IST

PALU, MERCUSUAR – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) meningkat pasca bencana yang terjadi 28 September 2019.

Dinas Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (DP3A) provinsi Sulteng mencatat, sampai bulan Juni 2019, ada 152 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di Sulteng. Jumlah ini belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan.

Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Provinsi Sulteng, Sukarti mengatakan, kasus kekerasan terhapa perempuan dan anak meningkat drastis pasca bencana.

Bentuk kekerasan yang terjadi seperti KDRT, tindak pemukulan terhadap anak, perkawinan anak, bahkan pelecehan seksual Khususnya di wilayah terdampak bencana, yakni Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala (Pasigala).

Menurutnya, bencana yang menimpa tiga daerah di Sulawesi Tengah, selain menimbulkan korban jiwa, juga ikut melahirkan masalah-masalah baru termasuk pernikahan dini, pelecehan anak dan perempuan di kalangan penyintas, baik yang mendiami huntara maupun shelter tenda pengungsian.

“Pernikahan dini merusak generasi bangsa, jangan sampai membawa kita kena bencana lainnya yaitu bencana demografi,” ucap Sukarti.

Sukarti menambahkan, untuk mencegah dan meminimalisir tindak pidana itu, pihaknya membentuk sub klaster perlindungan hak perempuan dan anak.

PERKAWINAN ANAK SOLUSI ORANGTUA KURANGI BEBAN EKONOMI

Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulawesi Tengah (Sulteng), Dewi Rana Amir, mengungkapkan dari kegiatan pendampingan di 12 tenda ramah perempuan yang didirikan di lokasi pengungsian di kota Palu, Sigi dan Donggala pihaknya menemukan 33 kasus kasus kawin anak.

Ia menegaskan tidak satu pun dari 33 kasus kawin anak, dengan usia antara 13 hingga 17 tahun itu, tidak banyak yang bertahan lama karena maraknya kasus KDRT.

Dewi menerangkan penyebab terjadinya perkawinan usia anak antara lain faktor kehamilan di luar nikah dan kerentanan ekonomi pasca bencana. Ini semua mempengaruhi keputusan orang tua untuk menikahkan anak mereka sehingga dapat mandiri. Ada pula kasus kawin anak karena orang tua mereka meninggal dalam bencana alam itu.

Dewi mengatakan mengingat adanya 400 lokasi titik pengungsiandi kota Palu, Sigi dan Donggala, tidak tertutup kemungkinan masih ada kasus lainnya yang tidak terlaporkan.

Sementara itu kepala DP3A Kota Palu, Irmayanti Pettalolo mengatakan, pernikahan dini yang meningkat usai anak-anak pengungsi di bawah umur yang menempati selter atau tenda pengungsian maupun hunian sementara (huntara) akibat pergaulan bebas.

“Kontrol orang tua yang hidup di tenda-tenda ini tidak seperti biasanya saat tinggal di rumah jadi mereka tidak bisa mengetahui anaknya keluyuran ke mana. Ada beberapa selter itu tempat yang anak-anak itu dinikahkan di bawah umur. Anak-anak usia SMP,” ujarnya.

Menurutnya, peran serta pihak-pihak yang terkait yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan anak, baik dari pemerintah maupun non pemerintah sangat penting untuk mengatasi persoalan tersebut.

Hunian tetap (Huntap) kata Irmayanti, menjadi solusi terbaik untuk mengatasi persoalan tersebut sebab hidup di tenda pengungsian. Huntara dalam beberapa waktu ke depan menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi dan dialami anak-anak dan perempuan.

“Saya berjuang agar mereka cepat dapat huntap. Kalau begini ini anak-anak dan perempuan yang sangat rentan. Boleh dibilang saya ini mengemis huntap baik kepada lembaga, yayasan atau organisasi non pemerintah dan pemerintah,” ujarnya.TIN

Pos terkait