Kemitraan Vale – Huayou dan Lompatan Teknologi Hijau di COP30

Perkuat Kepemimpinan Nikel Global Indonesia, PT Vale Indonesia dan Huayou Teguhkan Komitmen pada Teknologi Sejalan Iklim di COP30. FOTO : HUMAS PT VALE INDONESIA

BRASIL, MERCUSUAR – Di tengah udara lembab Kota Belém, Brasil, yang saat itu dipenuhi suara percakapan para delegasi dari berbagai belahan dunia, Indonesia tampil dengan kepercayaan diri baru. Di antara diskusi serius tentang masa depan bumi, Paviliun Indonesia pada COP30 menjadi ruang di mana satu pesan penting disampaikan.

Indonesia tidak hanya hadir sebagai negara pemilik cadangan mineral strategis, tetapi sebagai bangsa yang sedang menata masa depan industri hijau melalui inovasi, tanggung jawab, dan visi jangka panjang. Dan pesan itu disampaikan dengan kuat oleh PT Vale Indonesia Tbk, salah satu pelaku utama dalam industri nikel yang kini menjadi jantung transisi energi global.

Sesi talkshow bertajuk “Emerging Technologies to Respond to Climate Change” yang berlangsung di Paviliun Indonesia menghadirkan perwakilan dari pemerintah dan industri yang sama-sama memahami urgensi perubahan.

Diskusi ini menjadi saksi bagaimana Indonesia tidak lagi berbicara hanya tentang potensi, tetapi tentang capaian konkret dan strategi terarah menuju masa depan rendah karbon. Di panggung kecil itu, yang diterangi cahaya hangat dan dikelilingi poster tentang inisiatif hijau Indonesia, narasi tentang transformasi industri nikel mengalir dengan jernih.

Sambutan pembuka dari Hanifah Dwi Nirwana, Plt. Deputi Bidang Pengelolaan Limbah KLHK, yang ditayangkan melalui video, menjadi titik awal bagaimana Indonesia menempatkan tata kelola lingkungan sebagai fondasi utama.

Hanifah menekankan bahwa suksesnya pengelolaan mineral kritis harus dibangun di atas regulasi yang kuat dan kepatuhan yang tidak bisa ditawar. Ucapannya menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju industri hijau tidak dapat dilepaskan dari komitmen pemerintah dalam memperkuat kerangka kerja lingkungan. Saat video usai, para peserta dalam ruangan seolah menyadari bahwa diskusi yang akan berlangsung bukan sekadar debat teknis, tetapi tentang etika dan tanggung jawab antar generasi.

Setelah itu, Amsor, Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non-B3, mengambil alih panggung. Suaranya tenang, tetapi mengandung kekuatan. Ia menegaskan pentingnya integritas regulasi dalam mendorong industri ke arah yang benar transparan, bertanggung jawab, dan selaras dengan standar global.

Di antara sorotan lampu panggung, Budiawansyah, Direktur sekaligus Chief Sustainability & Corporate Affairs Officer PT Vale, kemudian tampil. Dengan gestur yang tenang dan wawasan yang luas, ia membawa audiens masuk ke dalam proses transformasi teknologi yang sedang berlangsung di operasi PT Vale, terutama di Sorowako. Ia menjelaskan bagaimana perusahaan tidak hanya melakukan penyesuaian kosmetik, tetapi melakukan perubahan struktural yang mendalam mulai dari pemanfaatan panas buangan untuk mengurangi penggunaan energi, pengoptimalan proses pengeringan bijih, elektrifikasi infrastruktur pemrosesan, hingga pemanfaatan off-gas sebagai energi alternatif.

Semua teknologi ini, ujarnya, bukan hanya menurunkan intensitas karbon produk nikel secara signifikan, tetapi juga membantu perusahaan mencapai target ambisius, penurunan emisi absolut sebesar 33 persen pada 2030 dan pengurangan intensitas karbon hingga 50 persen.

“Dekarbonisasi bagi kami bukan semboyan,” ucapnya dalam satu bagian. “Ia adalah mandat organisasi.” Di balik pernyataan itu, terpancar perubahan paradigma dari industri yang dulu hanya mengejar volume ke industri yang kini menjadikan tanggung jawab lingkungan sebagai inti identitasnya.

Momen penting lainnya adalah ketika PT Vale mengumumkan capaian skor Sustainalytics ESG Risk Rating 23,7, pencapaian terbaik sepanjang sejarah perusahaan. Skor ini menempatkan PT Vale sebagai salah satu perusahaan dalam kategori diversified metals & mining dengan risiko ESG terendah di dunia. Capaian itu tidak hanya memvalidasi upaya perusahaan, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam upaya mendorong praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab di tingkat global.

Dari sisi teknologi hilirisasi, perspektif yang dibawa oleh Huayou Indonesia menambah lapisan penting dalam diskusi. Stevanus, Director of Public Affairs, tampil dengan perangkat data dan kisah inovasi yang sangat teknis, namun dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami.

Ia menjelaskan bagaimana teknologi hidrometalurgi terbaru yang diterapkan Huayou mampu memotong penggunaan listrik secara drastis melalui pemulihan panas, memenuhi lebih dari 70 persen kebutuhan energi proyek. Ia menggambarkan bagaimana self-flow ore slurry memungkinkan bijih mengalir dengan gravitasi tanpa konsumsi energi berlebih, bagaimana solidifikasi CO₂ dapat menyerap emisi dengan efisien, bagaimana elektrifikasi dan daur ulang limbah menjadi bagian yang menyatu dalam proses produksi.

“Inovasi kami memungkinkan penurunan lebih dari dua ton CO₂e per ton nikel,” ujarnya. Angka itu, bagi sebagian peserta, terdengar seperti lompatan besar menuju proses produksi nikel yang lebih bersih. Ketika ia kemudian menjelaskan bahwa kemitraan Huayou dengan PT Vale bukan hanya kerja sama bisnis, tetapi aliansi dua kekuatan teknologi dan tata Kelola ruangan seolah memahami bahwa kolaborasi inilah yang sedang mengubah posisi Indonesia di peta industri global.

Dari Belém yang jauh dari pusat industri nikel Indonesia, pesan yang dibawa PT Vale terasa menggemakan semangat baru. Bahwa dari Sorowako, Bahodopi, Pomalaa, hingga Morowali Wilayah yang selama ini menjadi tulang punggung produksi nikel Indonesia Sedang berlangsung perubahan besar yang tidak hanya penting bagi negara, tetapi juga bagi dunia. Indonesia, melalui langkah-langkah berani ini, sedang membangun reputasi sebagai pemimpin mineral kritis yang bertanggung jawab, pada saat dunia semakin mendesak membutuhkan material untuk transisi energi bersih.TIN

Pos terkait