Konsumsi Batubara Industri di Morowali Tembus 5 Juta Ton

Dialog Kebijakan bertema Mendorong Green Legislation dalam Rangka Membangun Ekonomi Berkelanjutan di Sulawesi Tengah, Jumat (5/12/2025). FOTO : DOK AJI PALU

PALU, MERCUSUAR – Indonesian Parliamentary Center (IPC) memaparkan temuan riset yang menunjukkan lonjakan konsumsi batubara pada PLTU captive di kawasan industri Morowali dan Morowali Utara. IPC menilai kondisi ini menguatkan adanya kekosongan regulasi hijau dalam tata kelola sektor energi dan industri di Sulawesi Tengah.

Temuan tersebut disampaikan Direktur IPC, Arif Adiputro, dalam Dialog Kebijakan bertema Mendorong Green Legislation dalam Rangka Membangun Ekonomi Berkelanjutan di Sulawesi Tengah. Kegiatan yang digelar IPC bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu itu berlangsung di Aston Hotel Palu dan dihadiri 20 peserta dari unsur pemerintah, akademisi, jurnalis, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil.

Dalam paparannya, Arif menjelaskan konsumsi batubara di kawasan industri mencapai 3 juta ton pada 2023. Pada periode Juni hingga Desember 2024, penggunaannya diperkirakan naik hingga 5 juta ton. Ia menyebut pertumbuhan industri nikel tidak diiringi kualitas tata kelola yang memadai.

“Pengawasan tidak sebanding dengan laju aktivitas industri yang terus menekan kualitas lingkungan. Kondisi ini mempertegas kekosongan regulasi hijau,” ujarnya.

Arif menambahkan PLTU captive menyulitkan inventarisasi emisi. Situasi ini berpotensi menjadikan Sulteng sebagai penyumbang emisi industri terbesar jika tidak diikuti penguatan pengawasan. IPC mendorong DPR dan DPRD Sulteng memperkuat regulasi lingkungan, termasuk mewajibkan penurunan emisi sedikitnya 10 persen setelah PLTU beroperasi selama 10 tahun.

Sekretaris Dinas ESDM Sulteng, Devi Yuniarty Elyana Borman, menegaskan tantangan besar dalam transisi energi. Ia menyebut bauran energi baru terbarukan baru mencapai 10,33 persen, salah satunya karena pelaku usaha belum melaporkan komposisi energinya.

Menurut Devi, Sulteng memiliki potensi energi surya yang besar. Namun persoalan kewenangan membuat pemanfaatannya belum optimal. Ia juga menyampaikan masih terdapat 86 desa yang belum teraliri listrik. Program Berani Menyala menargetkan 1.000 rumah tangga per tahun, tetapi terhambat minimnya anggaran.

Direktur Kompas Peduli Hutan (KOMIU), Given, menyoroti ketergantungan Morowali dan Morowali Utara pada dana bagi hasil (DBH) Minerba. Menurutnya, Sulteng masih memiliki 4,4 juta hektare kawasan hutan serta potensi perkebunan yang belum dikelola maksimal.

Akademisi FEB Universitas Tadulako, Moh Ahlis Djirimu, mengungkap ketimpangan penerimaan daerah dari sektor pertambangan. Dari 22 IUP yang mengantongi RKAB 2025, Sulteng hanya menerima Rp945 juta atau 30 persen dari iuran tetap, meski luas konsesi mencapai 52.517 hektare. Ia juga memaparkan tingginya kasus ISPA di Bahodopi, kawasan yang berada dalam lingkar industri.

Ketua APINDO Sulteng, Wijaya Candra, menilai persoalan lingkungan hidup di Morowali menjadi alarm bagi pemerintah. Ia menyinggung bencana di Sumatra sebagai contoh dampak aktivitas tambang dan ekspansi perkebunan. Ia juga mempertanyakan rencana pendirian pabrik pengolahan kelapa di Morowali, yang bukan daerah basis produksi kelapa.

Sekretaris PWI Sulteng, Temu Sutrisno, mengingatkan Sulteng telah memiliki Perda terkait regulasi hijau namun implementasinya dinilai belum berjalan.

Ketua AJI Palu, Agung, menyampaikan apresiasi kepada IPC atas kolaborasi dalam kegiatan tersebut. Ia menegaskan komitmen AJI memperkuat liputan isu lingkungan, energi, emisi, kesehatan warga, dan keselamatan kerja.

“Warga harus tahu risiko ekologis dan kesehatan yang mereka hadapi. Jurnalis memiliki tanggung jawab memastikan informasi ini tersedia dan akurat,” ujarnya.

Dialog kebijakan ini menjadi ruang multipihak untuk merumuskan langkah memperkuat regulasi dan pengawasan industri di Sulawesi Tengah. Di akhir kegiatan, IPC menyerahkan hasil riset terkait ESG dan dekarbonisasi PLTU captive di Morowali dan Morowali Utara.*/TIN

Pos terkait