Mengejar Mimpi 10 Triliun

DALAM nota pengantar RAPBD 2023, Pemprov Sulteng menargetkan pendapatan asli daerah(PAD) Rp1,54 triliun. Pendapatan tersebut terdiri dari pendapatan pajak daerah Rp1,1 triliun, hasil retribusi daerah Rp18,7 miliar, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp144,1 miliar, serta lain-lain PAD yang sah Rp274,9 miliar.

Rp1,54 triliun sekilas merupakan angka yang besar. Angka ini kecil jika dibandingkan ‘mimpi’ Gubernur Sulteng Rusdy Mastura, yang menargetkan Rp10 triliun dalam kampanye Pilkada 2020 silam.
Rusdy Mastura berjanji akan mengupayakan peningkatan PAD Sulteng menjadi Rp10 Triliun selama masa kepemimpinannya periode 2021 – 2024.

“Daerah kami adalah daerah yang kaya, kami mampu untuk mendapatkan PAD menjadi Rp10 triliun,” ucap Rusdy kala itu.

Tahun 2023 merupakan tahun ketiga, sebelum Pilkada serentak 2024. Rusdy Mastura-Ma’mun Amir masih akan menyusun RAPBD untuk terakhir kalinya tahun anggaran 2024. Jika 2023 PAD ditargetkan Rp1,54 triliun, mungkinkah 2024 PAD melonjak menjadi Rp10 triliun? Bukan tidak mungkin. Namun sangat, sangat, dan sangat sulit.

Bisa saja secara politik, akan ada pihak yang menjawab: Rp10 triliun itu akumulasi 2021 hingga 2024. Jika itu jawabannya, dengan rata-rata Rp1,5 triliun selama empat tahun, angka Rp10 triliun juga tidak bakal terkejar.

Bisa jadi saat Cudy-panggilan Rusdy Mastura, melontarkan angka Rp10 triliun punya hitung-hitungan rasional berdasar potensi yang ada. Terbayang Cudy menghitung Rp10 triliun didapat dari beragam potensi pertambangan yang menarik investor dunia, potensi ekonomi biru dari panjang pantai dan laut yang mengelilingi wilayah Sulteng, dan potensi ekonomi lainnya. Mungkin saat itu Cudy punya data di tangan. Atau bisa jadi lontaran itu, muncul dari optimisme dan keyakinan seorang Cudy yang memang cara berpikirnya out of the box.

Sepertinya Cudy butuh aparat pemerintahan yang juga berpikir dengan pola yang sama, bukan aparat dengan rutinitas kerja yang ajeg dari staf hingga pimpinan tinggi pratama. Cudy butuh birokrat yang mampu menerjemahkan pikiran dan kebijakannya dalam tataran implementasi.

Mungkin juga tenaga ahli yang diangkat Cudy untuk membantunya, tidak sepenuhnya dapat menjadi perantara antara keinginan Gubernur dengan aparat yang ada. Tenaga ahli (TA) semestinya diisi orang yang benar-benar ahli, menjadi pengawal pikiran besar Cudy dan mengarahkan (OPD), tidak boleh beralih peran tunggu arahan (TA).

Para birokrat dan tenaga ahli harus berpikir dan bertindak kreatif dan inovatif untuk mengejar janji Rp10 triliun.

Meski terlambat, saatnya bangun. Jangan terlelap dalam mimpi Rp10 triliun.
Jangan sampai berlaku peribahasa; murah di mulut, mahal di timbangan. Mudah berjanji, sulit menepati. Ringan bicara, sukar mewujudkannya. Wallahualam bishawab. **

Pos terkait