MERCUSUAR NEWSPAPER

Nur-64886c81

Oleh : Nur Sang Adji

 

 

ENTAH apa yang ada dalam fikirannya H.Rusdi Toana hingga memberi nama koran ini, “Mercusuar”. Cukuplah lama saya dan kawan-kawan berinteraksi dengan beliau. Tapi, tak terbetik niat untuk bertanya tentang makna kata mercusuar.

Kalau saya mencoba berandai. Mercusuar itu adalah pemberi tanda,  petunjuk sekaligus peringatan.. Ada satu tiang atau menara di pinggir laut. Di ujungnya itu terletak lampu. Cahayanya tidak terang sekali. Namun, bisa ditatap dari kejauhan. Meskipun samar, cahaya itu menyelamatkan. Menghindarkan kapal dari karam karena bongkahan karang atau dangkal. Menuntunnya ke jalan yang benar. Tidak menabrak karang dangkal atau bentang alam lainnya.

Dia dengan begitu, berfungsi sebagai peringatan “early warning” untuk keselamatan bersama.

***

Malam itu tanggal 1 September 2021, kawan kawan berkumpul dalam satu gawean nostalgis. Mengenang 59 tahun perjalanan koran Mercusuar di Palu. Tepatnya tanggal 1 September 1962, koran ini lahir. Dia dilahirkan di Palu oleh H.Rusdi Toana. Seorang tokoh nasional asal Parigi, Sulawesi Tengah. Tanggalnya berhimpit dengan kelahiran anak kedua beliau, Triputra Toana. Kami lebih akrab memanggilnya Ongki. Lantaran tanggalnya berhimpit ini, maka Ongki berkelakar.  Menyebutkan Mercusuar sebagai kembarannnya.

Sebenarnya bulan September ini, Selain Mercusuar dan Ongki,  ada dua lagi kelahiran yang mengikutkan saya secara emosional. Pertama, IPB university, almamater saya  yang ketiga, juga lahir pada tanggal 1 September 1963. Dan, kedua, saya sendiri yang lahir tanggal 8 September 1962.

Dialog nostalgis itu tidak bisa saya  ikut tuntas, karena kelelahan. Besoknya harus ke Tentena, Poso untuk lihat danau dan masyarakatnya. Dinas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Tengah mengagendakan pertemuan itu. Saya dan anggota DPRD, Sony Tandra diminta bicara sebagai narasumber. Karena itu, saya harus tidur. Lagi pula, sudah agak larut. Jelang pukul 24.00 Wita. Saya mendisiplinkan diri tidak boleh tidur malam melewati atau menyeberang ke hari berikut. Padahal, saya juga ingin beri cerita. Maka, di sinilah cerita itu saya tuangkan.

***

Waktu itu, sekitar tahun 1986. Saya dipercaya para karib untuk memimpin HMI Cabang Palu. Inilah posisi yang memberikan saya kesempatan sangat sering bertemu dengan H.Rusdi Toana. Beliau kami panggil kakak sebagai tradisi organisasi. Tapi, di kampus beliau memanggil kami, “Anak”.

Satu waktu setelah beliau tidak lagi aktif di Universitas Tadulako. Saya menghadiri satu seminar di Hotel Palu Golden. Beliau salah satu narasumbernya. Beliau memulai jawaban atas pertanyaan saya di forum bergengsi itu dengan kata-kata berikut. “Saya mau jawab pertanyaan dari anak saya, Nur Sangadji”. Mendapat sebutan itu dari sang Guru, di forum terbuka. Saya benar-benar berbangga hati. Belakangan saya tahu, ternyata menyapa murid dengan kata-kata merangkul adalah model pendidikan yang tidak ada tandingannya. Sebab, guru itu memberi jiwa. Bukan cuma mengajar.

Dari beliau, saya mendapat spirit juang. Keyakinan pantang menyerah. Berani karena benar. Dituangkan sifat itu dalam kolom Tona kodi yang melagenda dari koran Mercusuar masa lalu. Beliau juga memperkaya kita dengan gagasan demi gagasan. Sahabat ku, Sofyan Lemba sampai memberikan gelar khusus kepada Kak Rusdi sebagai Bapak Ide. Alasannya sederhana sekali. Banyak benar ide dari beliau setiap kami berdiskusi atau minta nasehat.

***

Di zaman itu, kerja jurnalistik secara khusus dan gairah tulis menulis sedang jadi idola. Maestro sekelas Rosihan Anwar kita hadirkan di Palu. Zulharmansyah juga kita undang. Tokoh tokah lokal juga banyak. Selain Kanda Rusdi Toana, ada Aba Nungci, Hamid Rana dan Surya Lasni. Semua mereka ini memberi jiwa.  Bukan hanya membagi pengetahuan.

Dalam presentasi mereka, saya menemukan kebenaran dan keberanian menyatu. Resiko dijumpakan dengan keikhlasan. Surya Lasni bicara tentang idealisme jurnalis. Kaca rumahnya berhamburan di lantai. Dilempari orang tak dikenal. Sulit temukan bukti. Namun, dugaan beralamat pada berita-berita yang beliau tulis beberapa hari sebelumnya. Memori ku berputar cepat ke masa itu.

Pengalaman mereka menjadi comparasi berhikmah ketika jendela rumah saya mengalami nasib sama.  Tengah malam, dilempari orang tak dikenal. Terjadi pada hari yang sama, saat saya dan kawan-kawan menyoal kasus korupsi di kampus ku.

***

Hal yang diturunkan H.Rusdi Toana kepada kami kadernya adalah kesungguhan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Beliau teguh dalam pendirian. Istiqamah dalam bersikap. Salah satunya, tentang Dies Natalis Universitas Tadulako. Sampai wafat,  beliau tetap beranggapan bahwa lahirnya Universitas Tadulako itu 8 Mei 1963. 18 Agustus itu adalah peralihan status saja.  Dari swasta menjadi negeri.

Relatif setahun kemudian, Provinsi Sulawesi Tengah berdiri. Tanggal 13 April 1964. Tahunnya bersusun-susun. Ketika wafatnya, baru saya tahu bahwa beliau ternyata seorang prajurit TNI. Dikuburkan secara militer di kampus Universitas Muhammadiyah Palu. Kampus yang beliau bangun dengan menggabungkan dua hal. Keseriusan dan keihlasan. Saya ada di situ saat penguburannya.

Jadi, ada tiga momentum kelahiran yang tidak bisa dipisahkan. Harian Mercusuar, Universitas Tadulako dan Provinsi Sulawesi Tengah. Nampaknya, ketiga tiganya punya temali istimewa dalam sejarah. Maka, tidak berlibihan bila ada anggapan kalau Mercusuar dan Universitas Tadulako harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Milad Barokah bro Ongki dan dirgahayu Mercusuar news paper ke 59.***

Pos terkait