POSO, MERCUSUAR –Proyek pembangunan Jalan dan jembatan di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan alokasi anggaran dari APBdes tahun 2019, diduga fiktif.
Hal ini diungkapkan salah satu warga Desa Katu yang namanya enggan untuk di korankan.
Dia mengatakan, dugaan adanya proyek fiktif itu berdasarkan hasil investigasi yang dilakukannya bersama warga lainnya di Desa Katu.
“Ini adalah hasil investigasi kami di lapangan. Ada dua temuan yang mengarah pada program pelaksanaan dana desa 2019 itu yang diduga fiktif,” ungkapnya kepada media ini.
Dia menyebutkan, dua titik proyek yang diduga fiktif itu yakni pembangunan jembatan dan jalan yang nilainya sekitar Rp700 juta.
Hasil inverstigasi masyarakat desa Katu menyebutkan, ada dua proyek pembangunan di Desa Katu tahun anggaran 2019 yang dalam laporan realisasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa pemerintah desa Katu tahun anggaran 2019 telah terlaksana, namun fisik proyek tidak ada atau fiktif.
Dua proyek itu adalah belanja modal jalan dan prasarana jalan senilai Rp 439.105.000 dan belanja modal jembatan senilai Rp318.479.470.
Dalam laporan realisasi belanja modal jalan prasarana jalan dengan nilai anggaran Rp 439.105.000 itu, realisasinya sebesar Rp443.230.000 atau mengalami kekurangan anggaran sebesar 4.125.000.
Demikian pula laporan belanja modal jembatan yang dianggarakan sebesar Rp318.479.470, dimana realisasinya sebesar 341.509.450 atau mengalami kekurangan dana sebesar Rp 23.029.980.
Dua proyek tersebut menghabiskan dana negara sebesar Rp 757.584.470.
Pembangunan dua proyek tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai sekarang, namun dalam laporan realisasi tahun 2019 telah terlaksana, bahkan mengalami kekurangan dana.
Dua proyek itu belum terlaksana hingga masuk tahun anggaran 2020 yang semestinya pelaksanaan di tahun 2019 sudah selesai.
Pantauan media ini dilapangan, bahwa lokasi pembangunan jembatan dan prasarana jalan yang direncanakan tahun 2019 dan dalam laporan telah tersealisasi, tidak ada bangunan fisik seperti yang telah direncanakan. Yang terlihat hanya galian tanah yang saat ini sudah menjadi kubangan.
Beberapa warga desa Katu bahkan mengakui bahwa sebelumnya mereka mengetahui adanya renana pembangunan jalan dan jembatan di lokasi tersebut, namun hingga tahun 2020 yang akan segera berakhir, fisik bangunan tidak ada sama sekali.
Bahkan sebelumnya warga desa Katu sudah pernah melaksanakan kerja bakti membuka jalur jalan yang menurut kepala desa akan dibangun jalan dan jembatan.
“kami sudah pernah kerja bakti membuka jalan yang kata kepala desa akan dibangun jalan dan jembatan. Tapi sampai sekarang jembatan maupun jalan yang rencananya dibangun tidak ada bentuknya, bahkan jalur jalan yang kami kerjakan sekarang sudah ditumbuhi rumput dan tidak berbentuk lagi,” ujarnya.
Akibat tidak terlaksana pembangunan jembatan dan jalan ke kantong produksi, masyarakat desa Katu secara swadaya membangun jembatan gantung untuk akses jalan dari perkebunan menuju desa
Tahun 2019, Anggaran pendapatan dan belanja pemerintag desa Katu sebesar Rp 1.465.720.363 dengan uraian Dana Desa (DD) sebesar Rp 900.273.000, Bagi hasil pajak dan retribusi sebesar Rp 23.526.963, dan alokasi dana desa sebesar Rp 541.920.400.
Sementara jumlah belanja sebesar Rp 1.415.720.363 yang berasal dari belanja pegawai sebesar Rp 334.579.200, belanja barang dan jasa sebesar Rp 238.081.693, dan belanja modal sebesar Rp 843.059.470.
BPD AKUI
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Katu, Joni Pantoli mengakui realisasi pembangunan jalan dan jembatan yang dianggarkan tahun 2019 tidak ada atau fiktif.
Menurut Joni, dirinya mengetahu soal pembangunan dua proyek fiktif itu, namun secara pengelolaan ia tidak mengetahi mengapa hingga tertunda seperti itu.
Pihak BPD kata dia bahkan sudah beberapakali mendesak kepala desa untuk segera melaksanakan, dan kepala desa yang saat ini tidak lagi menjabat mengatakan akan segera dilaksanakan.
“kami sudah mendesak, kepala desa menjawab akan segera dilaksanakan. Ini material semen sudah menumpuk di depan rumah kepala desa dan tahun anggaran 2019 sudah berakhir. Yang menjadi pertanyaan, kenapa anggarannya sudah keluar, sementara kegiatannya nol persen,” kata Joni kepada media ini, Selasa (13/10/2020).
Joni mempertanyakan soal bagaimana kepala desa mempertangungjawabkan soal pembangunan dua proyek itu, karena secara otomotis kata dia, masyarakat Katu yang dirugikan akibat tidak terlaksana proyek pembangunan jalan dan jembatan yang bertujuan untuk mempermudah akses ke kantorng-kantong produksi.
“Saya tau soal proyek itu, namun secara pengelolaan dananyapun tidak tau. Kita juga mendesak terus karena mendengar aspirasi dari masyarakat, dan kepala desa selalu diam,” kata dia.
Menurut Joni, ada beberapa material bangunan seperti semen dan besi yang sudah terbeli dan saat ini hanya tersimpan di rumah kepala desa.
“Saya juga bergumul soal itu, karena jelas ketika terjadi apa-apa, saya juga ikut terlibat nantinya. Karena sebelumnya ada surat kesepakatan dengan BPD Katu sehingga anggarannya bisa keluar. Sudah berkali-kalis saya desak, tapi kepala desa cuek saja, karena saya tidak mau kena batunya juga. Disetiap pertemuan saya selalu mengingatkan kepala desa,” ujarnya.
Semantar itu kepala Desa Katu, Ferdinan Lumeno sulit dihubungi media ini, sementara telepon selulernya tidak aktif karena belum adanya akses jaringan di desa Katu.
OMBUDSMAN SEGERA SURATI BUPATI POSO
Kepala Ombudsman RI perwakilan Sulteng, Sofian Farid Lembah mengatakan, bagi Ombudsman, kasus ini perlu diklarifikasi kepada pihak yang berwenang dan Ombudsman siap menangani bila ada anggota masyarakat berani melaporkannya.
Tapi lepas dari itu sebagai langkah awal kata Sofian, Ombudsman siap gunakan kewenangan inisiatifnya mempertanyakan dugaan maladministrasi ini kepada pihak Bupati Poso.
Menurutnya, tidak boleh ada penyalahgunaan dana desa dan Ini harus ada yang bertanggungjawab, mulai dari pengelola di tingkat desa, hingga pada pengawas pembangunan. Dugaan maladministrasi ini perlu diklarifikasi.
“saya sudah sampaikan data dugaan penyalahgunaan dana desa Katu ke sekretaris kabupaten Poso untuk ditindaklanjuti. Saya juga hari Selasa akan resmi menyurat ke pemerintah kabuaten Poso,” ujarnya.
Sofian mengungkapkan, dana desa menjadi banyak masalah karena dampingan program manejerial tidak kuat bagi para pengelolanya. Ombudsman Sulteng kerap menerima pengaduan masyarakat, bahkan lebih parah penyimpangan dana desa berimbas pada konflik disetiap pemilihan kepala desa (Pilkades).
Di Donggala saja kata dia, sedikitnya ada enam desa berperkara dari pengelolaan dana desa, terkait pula soal Pilkades.
Uniknya lanjut Sofian, BPD sebagai perwakilan warga kini banyak mengeluh karena disetiap pertanggungjawaban pengelolaan dana desa mereka kerap tidak dilibatkan.
Manajemen tertutup pemerintah desa kata dia, memunculkan keresahan mulai dari dugaan proyek fiktif, penyimpangan dana, bahkan hingga pertanggungjawaban keuangan. Bahkan, dibeberapa kabupaten, pernah ada program titipan berupa perpustakaan desa yang dalam perencanaan tidak pernah diusulkan masyarakat.
“Perlu ada kajian khusus sebagai bahan evaluasi efektivitas pengelolaan dana desa,” kata Sofian.TIN