PARIGI MOUTONG, MERCUSUAR – Pengelolaan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) masih menghadapi sejumlah tantangan, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong (Parmout). Penanggung jawab Pengelola DTSEN pada Dinas Sosial Parmout, Ayub Ansyari menegaskan integrasi berbagai basis data nasional membutuhkan kerja sama erat antara pemerintah daerah hingga tingkat desa, terutama dalam proses verifikasi dan pembaruan data.
Ayub menjelaskan, DTSEN merupakan amanat dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025, yang menegaskan bahwa seluruh program bantuan pemerintah baik itu pemberdayaan, perlindungan, maupun jaminan sosial harus merujuk pada satu data terpadu.
“DTSEN dihimpun dari tiga pangkalan utama, yaitu Regsosek (BPS), P3KE (BKKBN), dan DTKS (Kemensos). Kemudian, dipadankan dengan data kependudukan dan pencatatan sipil (Capil) sebagai rujukan utama,” ujar Ayub di ruang kerjanya, Selasa (9/12/2025).
Menurut Ayub, proses penggabungan tersebut menimbulkan banyak ketidaksesuaian di lapangan. Hal tersebut dikarenakan karakteristik masing-masing basis data yang berbeda.
“Menggabungkan tiga data besar dan menyandingkannya dengan Capil, ibarat mempertemukan hal-hal yang bertolak belakang. Wajar kalau kemudian banyak persoalan, seperti munculnya pendistribusian bantuan sosial di setiap desa tidak tepat sasaran,” tutur Ayub.
Ia menerangkan pada Maret 2025, Kemensos menginstruksikan pendamping PKH di semua tingkatan wilayah untuk melakukan ground checking atau proses pengecekan selama satu bulan penuh.
Proses tersebut, kata dia, bertujuan untuk meverifikasi 39 indikator. Mulai dari kondisi individu, keluarga, hingga kepemilikan aset. Namun, Ayub mengakui bahwa hasil verifikasi lapangan belum akurat. Karena, banyak warga yang salah menafsirkan pertanyaan maupun faktor medan yang sulit dijangkau.
“Usai verifikasi, data kembali diolah oleh BPS, tetapi perubahannya tidak signifikan. Banyak keluarga yang mengalami perubahan desil kesejahteraan tanpa memahami penyebabnya,” ujarnya.
Ayub menegaskan, program bansos hanya diberikan kepada warga pada desil 1 sampai 5, dengan ketentuan berbeda pada tiap program. Misalnya, PKH hanya untuk desil 1–4, sedangkan Sembako mencakup desil 1–5.
Menanggapi sejumlah kepala desa yang mengaku tidak dilibatkan dalam proses pemutakhiran data, Ayub menjelaskan bahwa pendamping PKH sebenarnya telah diarahkan untuk berkoordinasi dengan pemerintah desa.
Namun, karena keterbatasan waktu akibat dalam kondisi bulan Ramadan dan beban kerja yang besar, komunikasi di lapangan kerap terputus.
“Kami tidak menolak bahwa ada miss komunikasi. Bisa jadi informasi hanya sampai ke operator atau perangkat desa, tidak diteruskan ke kepala desa. Ini fakta yang harus kita perbaiki, bukan diperdebatkan,” tegasnya.
Olehnya, Ayub mendorong pemerintah desa untuk lebih aktif memanfaatkan aplikasi 6NG dalam memeriksa, memperbarui, dan mengusulkan perbaikan data warganya. Ia menekankan bahwa aplikasi tersebut telah menyediakan menu lengkap untuk memproses setiap keluhan atau aduan Masyarakat. Baik terkait ketidaksesuaian desil atau status data.
“Masyarakat datang mengadu? Silakan cek desilnya di 6NG. Kalau tidak sesuai, segera usulkan perbaikan. Semua punya akses, tinggal kita mau bergerak atau tidak,” imbuhnya.
Ayub mengajak seluruh masyarakat untuk meninggalkan budaya saling menyalahkan. Ia menyebut sistem DTSEN saat ini masih seperti ‘bayi yang baru lahir’ dan membutuhkan proses panjang untuk menjadi akurat dan stabil.
“Intinya, Dinas Sosial Parmout terbuka terhadap koreksi dan masukan. Ini bagian dari upaya kita bersama untuk memperbaiki data, bukan mencari siapa yang salah,” pungkas Ayub. AFL






