PALU, MERCUSUAR – Puluhan penyintas bencana alam 28 September 2019 yang tinggal dari berbagai hunian sementara (huntara) mendatangi Wali Kota Palu Hadianto Rasyid yang tengah menggelar upacara perayaan ulang tahun ke-43 Kota Palu di halaman Balai Kota, Senin (27/9).
Mereka mengemukakan empat tuntutan yang mereka tulis dalam spanduk Refleksi 3 tahun pasca bencana penyintas huntara Kota Palu. Pertama, warga terdampak bencana yang tidak memiliki alas hak juga diberikan lahan untuk membangun hunian yang layak atau hunian tetap (huntap).
Kedua, meminta pemerintah kota Palu untuk mempercepat pembangunan huntap. Ketiga, memberikan kepastian hukum atas hak keperdataan tanah warga yang berada di zona rawan bencana. Keempat, memberikan jaminan hidup kepada penyintas.
Menurut penyintas, setelah tiga tahun pemilik lahan di huntara Pengawu dan huntara Donggala Kodi tidak lagi diizinkan tinggal lebih lama. Bila pun ingin bertahan, pemilik lahan meminta biaya sewa per bilik sebesar Rp 150 ribu dan pemerintah tidak dapat melarang, karena di luar kewenangannya.
Pemkot melalui Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman Kota Palu telah menyiapkan huntara yang lahannya milik pemda di huntara Hutan Kota, Layana, Duyu. Juga disiapkan transportasi pemindahan barang milik penyintas namun ditolak. Alasannya karena jauh.
Sri mewakili penyintas huntara Hutan Kota mengingatkan janji wali kota dalam penyelesaian huntap mereka.
“Ada apa denganmu bapak! Ingat dulu kamu ke huntara kami. Sebelum duduk di kursi manis bapak sering datang di huntara kami, tetapi apa yang terjadi. Jangankan menyapa, melambaikan tangan pun tidak mau. Dijanjikan sabar sampai kapan, ini kabar buruk akibat janji palsu,” teriaknya.
“Pendataan terus menerus! Kami bersertifikat. Dan bagaimana yang tidak ada? Jika teada huntap… bawa kemari saja uang itu yang Rp 50 juta. Jika tidak ada uang stimulan …kasikan saja lahan untuk membangun,” katanya.
Sampai saat ini penyintas huntara di Donggala Kodi belum mendapatkan kepastian, baik huntap atau stimulan!
“Kami meminta perhatian pemerintah untuk memberikan hak kami, percepatan pembangunan huntap. Bagi saudara kami yang tidak memiliki alas hak dan yang masih berada di huntara, kami minta bagaimana bentuk penyelesaiannya ke depan,” katanya.
Sementara Wali Kota Palu, Hadianto kepada penyintas menjelaskan hambatan pembangunan huntap yang belum ada dikarenakan saudara kita di Talise dan Petobo mengklaim lahan mereka. Saat ini tahap konsolidasi dan hasilnya 32 hektar lahan untuk warga Talise.
“Sampesuvu ta Talise keberatan! Dengan lahan yang ditetapkan untuk huntap, karena menurut mereka tanah keluarganya. Alhamdulillah setelah kita bertemu, mereka menerima untuk pembangunan huntap, karena saya tak ingin dibilang babohong oleh keluarga Talise maka pembangunan huntap dimulai setelah konsolidasi. Kita berikan selesai dirapikan/rata pengerjaannya agar layak,” tegasnya.
“Pemerintah tidak bisa terburu-buru, ada aturannya, ada waktunya. Ya dianggaran perubahan berjalan yakni di bulan Oktober. Di bulan itu lahan yang diberikan pemerintah untuk warga Talise dimatangkan, dikasi rapi, begitu dikerjakan, pembangunan huntap juga berjalan,” tegas Hadianto.
“Huntap Tondo II juga begitu, keberatan warga, sedangkan kita ingin dapat bantuan Bank Dunia untuk pembangunan huntap itu, tidak boleh ada ribut-ribut. Alhamdullilah bersama tokoh masyarakat lagi diperjuangkan, usulan pemerintah kepada Kementerian ATR/BPN, meminta tanah yang di ex HGB bisa diberikan kepada pemerintah Kota Palu untuk pembangunan kota baru. Jika itu diberikan maka land konsolidasi tanah di Tondo, Insya Allah bisa terjawab. Namun saat ini belum ada yang bisa kita berikan,” ungkapnya terkait dengan lahan di Talise dan Tondo.
Wali Kota minta penyintas posbara karena pembangunan huntap ke depan di Talise dan Tondo, diselesaikan di bulan Oktober nanti.
Adapun warga yang menjadi prioritas adalah warga yang terdampak (WTB). Jika yang masuk masih di huntara tidak akan diusir jika pun ada akan dipindahkan ke huntara yang masih kosong milik pemerintah.
Banyak keluarga penyintas tidak masuk katagori huntap sebab sebelumnya mereka berstatus sewa. Tidak ada alas hak. Aturan ini diatur kementrian bukan pemda.
Dikatakan, inilah yang ribut menuntut mendapatkan huntap juga. Padahal mereka tidak memiliki rumah dan banyak juga setelah bencana baru datang menempati huntara. Kemudian sertamerta menuntut hak. Padahal mereka warga baru.ABS