Perempuan, Bencana, dan Upaya Membangun Resiliensi (Bagian 2 – Selesai)

Menyadari pentingnya keberlanjutan lingkungan, terutama di daerah rawan bencana, komunitas peremupan aktif mengolah sampah plastik menjadi kerajinan bernilai ekonomi. Ini adalah bentuk kontribusi kecil tapi bermakna untuk menjaga alam. FOTO: KARTINI NAINGGOLAN/MS

“Kami menemukan banyak kasus perkawinan anak, usia 13 hingga 17 tahun. Sebagian karena kehamilan di luar nikah, sebagian lagi karena kehilangan orang tua dalam bencana. Tapi hampir semua berujung pada kekerasan dalam rumah tangga,” kata Dewi.

KARTINI NAINGGOLAN-HARIAN MERCUSUAR

Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulteng Dewi Rana Amir, menyebutkan bahwa pascabencana, provinsi Sulteng menghadapi tantangan serius dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ketidakamanan ekonomi, ketegangan sosial, dan trauma kolektif menjadi pemicu utama. Salah satu fenomena yang mencuat adalah meningkatnya kasus perkawinan anak, banyak di antaranya berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga.

“Kami menemukan banyak kasus perkawinan anak, usia 13 hingga 17 tahun. Sebagian karena kehamilan di luar nikah, sebagian lagi karena kehilangan orang tua dalam bencana. Tapi hampir semua berujung pada kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Dewi.

Bagi perempuan, kerentanan pascabencana sering kali bertumpuk, mulai dari kehilangan sumber penghidupan, tekanan untuk menjadi pencari nafkah utama, hingga risiko pernikahan dini yang justru semakin memperkuat siklus kekerasan.

“Banyak kasus terjadi ketika anak dinikahkan, orang tua berharap anaknya bisa mandiri, apalagi setelah kehilangan anggota keluarga atau mengalami krisis ekonomi akibat bencana,” jelas Dewi.

Sayangnya, keputusan itu justru memperburuk kondisi, menciptakan siklus baru ketidakadilan dan ketimpangan gender.

LIBU Perempuan bersama berbagai organisasi masyarakat sipil melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan dan anak-anak korban perkawinan usia dini. Mereka menyediakan ruang aman, konseling, pelatihan keterampilan, dan edukasi tentang hak-hak perempuan. Dalam banyak kasus, kekuatan komunitas menjadi benteng pertama dalam menghadapi dampak pascabencana.

Sulawesi Tengah masih menyimpan luka. Gempa, tsunami, dan likuifaksi yang menghantam Palu, Sigi, dan Donggala merenggut lebih dari 4.000 jiwa dan menghancurkan ribuan rumah. Namun bencana alam itu juga membuka lapisan-lapisan lain dari kerentanan sosial.

Kepala Lapas Perempuan Palu, Udur Martionna, tidak menutup-nutupi realitas pahit yang menjadi latar belakang mayoritas penghuninya. Data terkini menunjukkan bahwa dari 187 wabin di Lapas Perempuan Palu, 140 orang terjerat kasus narkoba.

Namun lembaga ini bukan hanya tempat menampung kesalahan. Sejak awal masa hukuman, para wabin mendapatkan pembinaan intensif, mulai dari pembinaan dalam aspek hukum dan kepribadian hingga pelatihan keterampilan seperti tata rias, boga, laundry, hingga pembuatan tas rajut. Ini adalah upaya membekali mereka dengan keterampilan yang bisa menjadi modal hidup mandiri setelah bebas.

“Pelatihan keterampilan itu penting, karena saat mereka keluar, mereka harus bisa berdiri sendiri. Tidak semua dari mereka punya keluarga yang siap menerima kembali,” kata Udur, Rabu (12/3/2025).

Meski dengan sumber daya yang terbatas, pembinaan tetap berjalan. Bahkan, antar wabin saling berbagi ilmu dan saling menguatkan.

Udur menceritakan kisah-kisah solidaritas yang terjadi antar wabin dalam Lapas. Ada tiga wabin yang membawa serta balita ke dalam lapas. Alih-alih dijauhi, ibu-ibu ini justru mendapat dukungan dari sesama penghuni. Mereka terkadang membantu membeli susu, popok, dan kebutuhan lainnya. Semangat kolektif inilah yang menjadi pondasi penting dalam proses reintegrasi sosial.

Setelah masa hukuman berakhir kata Udur, proses baru dimulai. Para mantan wabin akan menjalani pembebasan bersyarat dengan pengawasan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Palu.

“Pembebasan bersyarat ini adalah kesempatan bagi mereka untuk menjalani kehidupan baru, dengan pengawasan dari Bapas,” ujar Udur.

Meskipun sudah ada program pembebasan bersyarat dan pengawasan yang ketat, tantangan terbesar tetap ada stigma masyarakat terhadap mantan napi perempuan sangat kuat. Mereka sering kali dianggap tidak layak mendapat kesempatan kedua.

“Masyarakat sering kali menilai mereka dari masa lalu mereka, bukan melihat potensi yang mereka miliki setelah mereka bebas,” jelas Udur.

Banyak dari mantan napi yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari lapas. Kondisi ini berpotensi memicu residivisme, atau kembali melakukan tindak kejahatan karena tidak ada tempat untuk kembali atau sumber daya yang cukup untuk membangun kehidupan yang baru.

Udur berharap, dengan adanya pembinaan yang berkelanjutan dari Bapas dan dukungan dari masyarakat, mantan napi perempuan dapat diberi kesempatan untuk benar-benar berubah.

Kepala Bapas Kelas I Palu, Hasrudin, S.Sos, M.A.P., menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengawasi, tetapi juga membimbing agar para mantan napi benar-benar siap kembali ke masyarakat.

Pembinaan meliputi pembentukan kepribadian, keagamaan, dan peningkatan keterampilan. Lebih dari itu, Bapas juga menjalin kerja sama dengan kelompok masyarakat dan pemerhati sosial agar stigma terhadap eks napi perempuan bisa dikikis.

Salah satu tujuan utama sistem pemasyarakatan, menurut Hasrudin, adalah mengembalikan hubungan yang retak antara individu dan masyarakat serta memperbaikinya.

Selain itu, Bapas juga bekerja sama dengan Pokmas (Kelompok Masyarakat), serta berbagai pemerhati sosial lainnya, untuk menghilangkan stigma negatif terhadap mantan narapidana. Kerja sama ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi mereka untuk diterima kembali oleh masyarakat.

“Kami ingin membuktikan bahwa setiap orang layak mendapat kesempatan kedua,” ujar Hasrudin Senin (24/3/2025).

Data dari Bapas mencatat bahwa dari 1.558 orang yang dalam pengawasan, 1.109 telah bekerja, termasuk 59 perempuan. Banyak dari mereka bekerja mandiri atau di perusahaan lokal.

Bapas juga tengah mengembangkan aplikasi berbasis komunitas, yang memungkinkan masyarakat ikut memantau dan mendukung proses reintegrasi mantan napi. Aplikasi ini diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan masyarakat dengan para penyintas melalui sistem peradilan pidana ini.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kanwil Ditjen Pas) Sulteng, Bagus Kurniawan, menegaskan pentingnya perlindungan dan pendekatan lintas sektor. Ia menyoroti bahwa banyak napi perempuan hanyalah kurir narkoba yang mendapat bayaran rendah.

Selain itu, perhatian juga harus diberikan kepada perempuan yang mengalami perceraian akibat masuk penjara. Banyak napi perempuan yang harus menghadapi kenyataan pahit ditinggalkan oleh suami mereka saat menjalani hukuman. Dalam hal ini, diperlukan regulasi dan dukungan sosial agar hak-hak perempuan tetap terlindungi, serta mereka memiliki kesempatan untuk bangkit kembali setelah menjalani masa tahanan.

Bagus menekankan bahwa dukungan terhadap mantan napi tidak cukup dari negara. Diperlukan keterlibatan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah. Salah satu strategi yang dianggap penting adalah pemberdayaan ekonomi perempuan dan pendampingan psikososial.

Mutmainah Korona, pendiri Yayasan Sikola Mombine, memperkuat narasi ini. Menurutnya, kriminalisasi terhadap perempuan seringkali bermula dari peran ganda yang dibebankan pada mereka.

“Ketika ekonomi keluarga goyah, perempuan jadi tumpuan terakhir. Ini membuka celah keterlibatan dalam tindakan ilegal karena keterpaksaan,” katanya, Selasa (25/3/2025).

Ia mengusulkan agar mantan napi perempuan tidak hanya diberi pelatihan, tetapi juga akses ke pekerjaan nyata. Bahkan, ia menyarankan agar mereka dijadikan brand ambassador bagi program pemasyarakatan. Ini bukan hanya strategi kampanye, tetapi juga langkah konkret membalikkan stigma menjadi inspirasi.

Pada akhirnya, proses pemasyarakatan bukan semata perkara menjalani hukuman. Ia adalah perjalanan panjang menuju pemulihan, perbaikan, dan pengakuan kembali sebagai bagian dari masyarakat. Lapas dan Bapas mungkin adalah panggung awalnya, tetapi peran terbesar tetap ada di tangan masyarakat.

Menurut Mutmainah, resiliensi bukanlah sesuatu yang instan, dibangun dari keberanian untuk menghadapi luka, kemauan untuk belajar dari kesalahan. Apalagi bila sistem yang seringkali tidak berpihak pada perempuan, terutama mereka yang pernah berhadapan dengan hukum atau berasal dari kelompok rentan.

Nofika, Nonce, Bella dan Perempuan-perempuan penyintas lainya adalah simbol dari harapan untuk kembali bangkit. Mereka bukan hanya penyintas, tapi juga pemimpin dalam kapasitasnya masing-masing. Dari jeruji besi hingga ke tengah komunitas, mereka membawa pesan penting, bahwa perdamaian tidak hanya dibangun di ruang-ruang politik, tetapi juga di dapur, di ruang pembinaan, di ruang menjahit, di komunitas kecil, dan dalam pelukan solidaritas sesama perempuan. ***

Pos terkait