Revisi RTRW Parigi Moutong Fokus Jaga Lumbung Pangan

Pemkab Parmout menggelar rapat penyusunan revisi RTRW, berlangsung di ruang kerja Bupati Parmout, Kamis (30/10/2025). FOTO: ABDUL FARID/MS

PARIGI MOUTONG, MERCUSUAR – Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong (Pemkab Parmout) menegaskan komitmennya untuk memprioritaskan ketahanan pangan dibandingkan perluasan aktivitas pertambangan. Hal tersebut mengemuka dalam rapat pembahasan penyusunan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang berlangsung di ruang kerja Bupati Parmout, Kamis (30/10/2025).

Dalam rapat ini, Bupati Parmout H. Erwin Burase menyoroti pentingnya penataan ruang agar tidak terjadi tumpang tindih antara lahan pertanian, kawasan tambang, dan zona lindung. Ia juga menyampaikan, bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) akan berhati-hati dalam menentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) demi menjaga kelestarian lahan pertanian produktif.

“Jika suatu wilayah belum memiliki aktivitas pertambangan, maka sebaiknya dikeluarkan dari rencana kawasan tambang. Contohnya, seperti di wilayah Lemusa dan sekitarnya. Itu kan belum ada kegiatan tambang, sehingga lebih baik dikeluarkan saja dari rencana pertambangan. Jangan sampai nanti muncul WPR baru yang justru merugikan masyarakat,” tegas Bupati.

Erwin juga menekankan pentingnya menjaga wilayah pertanian di Kecamatan Kasimbar, Toribulu, dan Tinombo Selatan yang selama ini menjadi lumbung pangan utama Parigi Moutong. Menurutnya, investasi di bidang lain tetap diperbolehkan, selama tidak beririsan dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), termasuk yang dilindungi.

“Jangan jadikan Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan sebagai wilayah pertambangan. Itu lumbung pangan kita. Investasi boleh, tapi jangan menyentuh lahan pertanian dan LP2B,” jelas Erwin.

Sementara dikesempatan yang sama, Tenaga Ahli Penyusunan Revisi RTRW, Syamsuri Satria menuturkan bahwa masih ada sejumlah ketidaksesuaian dalam peta tata ruang. Sehingga, masih perlu disempurnakan sebelum memasuki tahap konsultasi publik. Ia mengingatkan, agar penentuan wilayah pertambangan dilakukan secara hati-hati, karena sebagian besar lokasi berpotensi tumpang tindih dengan lahan produktif.

“Wilayah-wilayah yang menjadi lumbung pangan, tidak boleh bertabrakan dengan kawasan pertambangan. Karena jika ini dibiarkan, konflik dan polemik bisa muncul saat konsultasi publik,” jelas Syamsuri.

Ia juga menjelaskan bahwa terdapat delapan WPR yang telah disetujui berdasarkan keputusan Kementerian ESDM. Namun, sebagian di antaranya perlu dikaji ulang. Tujuannya, agar selaras dengan kebijakan daerah dan tidak mengancam sawah produktif, khususnya di Kasimbar yang memiliki lebih dari 2.000 hektare lahan pertanian.

Sementara itu, anggota DPRD Parmout, I Wayan Leli Pariani menegaskan perlunya sinkronisasi RTRW dengan regulasi teknis terkait LP2B, kawasan konservasi, dan tata ruang kehutanan. Ia menilai, pengaturan ruang yang tidak tepat bisa menimbulkan tumpang tindih antara kawasan industri, permukiman, dan pertambangan.

“LP2B harus menjadi acuan utama dalam penataan ruang. Jangan sampai kawasan industri atau pertambangan, justru menyalahi zona lindung dan lahan produktif masyarakat,” ujarnya.

Leli pun mengajak semua pihak, bersepakat untuk melakukan tinjauan internal terhadap rencana penggunaan lahan sebelum konsultasi publik dilakukan. Sebab, perencanaan dan koordinasi yang matang sangat diperlukan, agar revisi RTRW dapat menjadi dasar pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan ramah lingkungan.

“Dengan arah kebijakan ini, kami berharap kepada Pemkab Parmout, agar dalam penataan ruang ke depan, dapat menyeimbangkan antara kepentingan investasi dan perlindungan sumber daya alam, tanpa mengorbankan lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup ribuan warga,” pungkas Leli. AFL

Pos terkait