MERCUSUAR – Gempa bumi dengan magnitudo 5.9 yang terjadi pada 14 Januari 2021 pukul 14.35 WITA, serta gempa bumi dengan magnitudo 6.2 yang terjadi pada 15 Januari 2021 pukul 02.28 WITA di Majene, Provinsi Sulawesi Barat, menambah panjang daftar bencana gempa bumi merusak di kawasan tersebut.
Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam penjelasannya di akun Twitter-nya @DaryonoBMKG menjelaskan, Gempa Majene dengan magnitudo 5.9, kedalaman 10 km dan pusat gempa di 4 km arah barat laut Majene ini, dipicu oleh sumber gempa Sesar Naik Mamuju (Mamuju Thrust). Sesar ini di lepas pantai sebagai fold-thrust-belt yang sangat aktif. Hal ini sesuai sengan analisis mekanisme sumber BMKG yang menunjukkan pergerakan naik (thrust fault). Sesar Naik Mamuju sendiri kata dia, memiliki magnitudo tertarget mencapai 7,0 dengan laju geser sesar 2 milimeter/tahun sehingga sesar ini memang harus diwaspadai karena mampu memicu gempa kuat.
Sementara itu, gempa dengan magnitudo 6.2, kedalaman 10 km dan pusat gempa di 6 km arah timur laut Majene, diperkirakan juga disebabkan oleh Sesar Naik Mamuju (Mamuju Thrust). Informasi dari PUSDALOPS-PB BNPB menyebut, gempa yang dirasakan hingga skala MMI IV-V di Majene ini, mengakibatkan korban jiwa di Kabupaten Majene, yakni 3 orang meninggal dunia, 24 orang luka-luka dan kurang lebih 2.000 orang mengungsi.
Adapun kerugian materil yakni di Kabupaten Mamuju, bangunan Hotel Maleo dan Kantor Gubernur Sulbar dalam keadaan rusak berat, serta jaringan listrik padam. Sementara di Kabupaten Majene, akibat gempa, terjadi longsor di 3 titik, sepanjang jalan poros Majene-Mamuju (akses jalan terputus), 62 unit rumah rusak (data sementara), serta kerusakan berat terjadi di 1 unit Puskesmas dan Kantor Danramil Malunda.
Adapun riyawat kesejarahan bencana gempa bumi di wilayah Provinsi Sulawesi Barat, adalah sebagai berikut:
1. Gempa bumi 12 Agustus 1915.
Surat kabar Het Vaderland edisi 23 Desember 1915 menuliskan pada 12 Agustus sekitar pukul 3.30 sore (15.30), gempa bumi diamati di divisi Luewoe (Luwu), Mandhar (Sulbar), Boni (Bone) dan Pare-Pare. Di Mandhar dilaporkan guncangan paling berdampak, di mana getaran gempa berulang di sana dan di Pare-Pare hingga pukul 9.30 malam (21.30). Arah utama gempa diprediksi antara Timur Laut dan Barat Daya. Adapun durasi gempa masing-masing adalah 1/2 dan 1/4 menit di Madjene pada kedua waktu yang disebutkan. Guncangan yang lebih ringan terjadi di Mamudju (Mamuju) hingga tanggal 20 Agustus.
2. Gempa dan Tsunami 11 April 1967
Pengamat kebencanaan Universitas Tadulako (Untad), Drs. Abdullah, MT menyebut, gempa bumi dan tsunami di Polewali Mandar terjadi pada 11 April 1967 pukul 05.09 UTC atau 13.09 WITA, dengan titik episenter 119,3 BT dan 3,7 LS, magnitudo 6.3 kedalaman 51 km.
Adapun dampak yang ditimbulkan yakni kerusakan kampung-kampung di wilayah pesisir, antara Tinambung – Campalagian. Korban tewas mencapai 58 orang, korban luka 100 orang, dan korban hilang 13 orang.
Gempa dan tsunami ini juga diwartakan oleh surat kabar Het Vrije Volk, edisi 18 April 1967. Mengutip Kantor Berita Antara, surat kabar ini menuliskan, gempa bumi dahsyat di Sulawesi Selatan menewaskan 37 orang dan melukai 51 pekan lalu (11 April 1967 red.). Adapun daerah yang terdampak bencana, yakni Polmas (Polewali Mamasa) dan Madjene (Majene) di Sulawesi Selatan, di mana 75.000 orang telah dievakuasi.
3. Gempa dan Tsunami 23 Februari 1969
Kepala Pusat gempa dan Tsunami BMKG, Daryono menyebut, pusat gempa Majene dengan magnitudo 5.9 yang terjadi pada 14 Januari 2021, sangat berdekatan dengan sumber gempa yang memicu tsunami pada 23 Februari 1969, dengan magnitudo 6,9 pada kedalaman 13 km.
Gempa 23 Februari 1969 itu sebutnya, menyebabkan 64 orang meninggal, 97 orang luka-luka dan 1.287 rumah serta masjid mengalami kerusakan. Dermaga pelabuhan pecah, timbul tsunami dengan ketinggian 4 meter di Pelattoang dan 1,5 m di Parasanga dan Palili.
Sementara itu, pengamat kebencanaan Untad, Drs. Abdullah, MT menyebut, gempa dan tsunami Majene 1969 terjadi pada pukul 00.36 UTC atau 08.36 WITA, dengan titik episenter 118,5 BT dan 3,1 LS, magnitudo 6,1 dan kedalaman 13 km.
Adapun dampak yang ditimbulkan kata dia, yakni ribuan bangunan rusak, terutama di Kota Majene. Di Campalagian, Wonomulyo dan Polewali Polman juga rusak beberapa bangunan, termasuk Masjid Jami’ Tanro Polewali yang rusak berat.
Bencana ini juga diwartakan surat kabar Leeuwarder Courant, edisi 10 Maret 1969. Surat kabar ini menuliskan, mengutip Kantor Berita Antara, di daerah Paletoang, Sulawesi selatan, 600 orang telah tenggelam oleh gelombang pasang setinggi empat meter. Banyak dari yang selamat, telah mundur ke tempat yang tinggi. Gelombang pasang tersebut disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi dua minggu lalu (23 Februari 1969 red). Gubernur Sulawesi Selatan mengatakan, 60.000 orang kehilangan tempat tinggal dan telah dievakuasi dari daerah bencana. Di kota Madjene (Majene), dengan populasi sekitar 20.000 orang, kebanyakan rumah hancur.
Bencana ini juga tercatat dalam laporan surat kabar De Volkskrant, edisi 28 Februari 1969. Mengutip Reuter, surat kabar ini melaporkan, gempa di pantai barat Sulawesi telah menewaskan sedikitnya 64 orang. Tim penyelamat sibuk melacak korban tewas di reruntuhan ibu kota wilayah Madjene (Majene). Di kawasan yang sama, lebih dari 200 orang tewas dalam bencana serupa Agustus lalu. Dikhawatirkan gempa yang dimulai pada hari Minggu, akan merenggut lebih banyak nyawa manusia.
Surat kabar ini juga menulis, gempa bumi, yang merupakan gempa terparah yang pernah melanda pulau itu sepanjang ingatan, terutama dirasakan di titik menonjol pulau itu di pantai barat dekat Teluk Mandar, di mana Desa Palatoang, Samoa dan Somba sebagian besar hancur. Dilaporkan lebih dari seratus orang terluka di Palatoang.
Gubernur Sulawesi Selatan, Achmad Lamo, menyatakan wilayah sekitar Madjene (Majene) sebagai daerah bencana.
Hal yang sama juga diwartakan surat kabar Nederlands Dagblad, edisi 11 Maret 1969, yang menulis, Kementerian Sosial juga melaporkan bahwa di kota Madjene (Majene), 64 orang tewas dan 97 luka-luka akibat gempa. Kerusakan material signifikan. Kota yang terkena dampak paling parah adalah Paletoang, yang berjarak sekitar seratus kilometer dari Madjene.
4. Gempa dan Tsunami Mamuju 1984
Pengamat kebencanaan Untad, Drs. Abdullah,MT menyebut, gempa dan tsunami Mamuju terjadi pada 8 Januari 1984, pukul 15.24 UTC atau 23.24 WITA, dengan titik episenter 118,81 BT dan 2,82 LS magnitudo 6.7 dan kedalaman 33 km.
Adapun dampak yang diakibatkan antara lain, bangunan yang rusak berjumlah 689 (bangunan pemerintah, rumah warga dan rumah ibadah), serta terjadi longsor di Tappalang. Kemudian, korban tewas 2 orang, luka parah 23 orang dan luka ringan 84 orang. JEF