Pagi itu, matahari kembali terbit, jalanan mulai ramai oleh kendaraan yang lalu-lalang. Setiap orang ingin menghirup udara segar di pagi hari, namun tidak demikian dengan Momo (45). Setiap pagi, Momo, warga kelurahan Watusampu, kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini, disibukkan dengan aktivitas menyiapkan selang panjang untuk menyiram badan jalan di depan rumahnya. Debu yang berterbangan akibat aktivitas jalanan yang ramai, membuat sesak napas warga yang tinggal di sekitar tambang galian C jalan poros Palu-Donggala.
Oleh: Kartini Nainggolan/Wartawan Utama Mercusuar
Sudah puluhan tahun, Momo dan warga di kelurahan Watusampu, “dipaksa” menghirup debu yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang galian C (batu dan pasir) di jalan poros Palu-Donggala. Setiap hari, kepulan debu tampak pekat menyelimuti jalur poros Palu ke arah kabupaten Donggala. Tak sedikit warga yang mengeluh sesak napas, hingga batuk darah.
Momo bercerita, setiap jam, warga harus menyapu lantai rumah akibat tumpukan debu yang cukup tebal. Belum lagi, warga setiap hari harus menyiram jalan dan menutup pintu serta jendela agar debu tidak masuk ke dalam rumah mereka. Akibatnya, di dalam rumah lembab dan banyak kutu yang hidup. Selain Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit lain yang muncul adalah gatal-gatal.
Banyak warga merasa terganggu karena debu beterbangan ke permukiman. Ini semua akibat aktivitas tambang yang berlangsung setiap hari sejak pukul 06.00 Wita sampai pukul 18.00 Wita.
Bahkan, sejumlah ibu-ibu yang tinggal di sekitar tambang pernah mendatangi lokasi tambang untuk melakukan protes karena debu yang mengganggu warga, selain itu menyebabkan sesak napas dan penyakit ISPA hingga batuk darah.
“Aksi protes ibu-ibu di sekitar tambang pernah dilakukan. Kami juga pernah memasang palang di jalan. Truk pengangkut pasir maupun batu dari tambang boleh melintas asal mereka menyiram jalan, agar debu tidak terbang ke rumah kami,” Momo, Rabu (15/12/2022).
Beberapa kali, warga sempat memprotes operasional tambang galian C yang melakukan aktivitas di kelurahan Watusampu maupun di kelurahan Buluri. Ada sekitar 200 warga pernah mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Palu dan DPRD Palu di Jl Sam Ratulangi, pada 21 Juni 2018.
Difasilitasi kelompok masyarakat yang menamakan diri, Aliansi Palu Monggaya (APM), warga menggugat 28 perusahaan di Kelurahan Buluri dan Watusampu agar mengeluarkan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL).
Setelah resmi beroperasi melakukan aktivitas eksploitasi lahan sejak belasan tahun silam,warga mengaku belum pernah dapat manfaat langsung TJSL dari 28 perusahaan tambang galian C itu.
PENYAKIT ISPA MENINGKAT
Kasus penyakit ISPA di kelurahan Watusampu setiap tahun mengalami peningkatan. Catatan dari puskesmas Watusampu, ada sekitar 5-10 orang yang datang ke puskesmas dengan keluhan yang sama yaitu sesak napas dan batuk-batuk.
Data Puskesmas Watusampu menyebutkan bahwa setiap tahunnya ada 500-600 kasus ISPA di kelurahan Watusampu. Setiap tahun mengalami peningkatan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Palu, Deny Taufan mengatakan, olahan material batuan yang dilakukan pihak perusahaan galian C seharusnya dilakukan secara profesional, sehingga debu material tersebut tidak beterbangan kemana-mana.
Menurutnya, pihak Dinas Kesehatan telah menyampaikan kepada pihak perusahaan galian C agar mematuhi aturan pengelolaan material, sehingga debunya tidak menimbulkan dampak tidak baik bagi kesehatan warga sekitar tambang. Banyaknya debu beterbangan memicu menimbulkan penyakit ISPA.
Dari data dimiliki Dinas Kesehatan, penderita ISPA di Kecamatan Ulujadi mengalami peningkatan setiap tahun, dimana peningkatan penderita ISPA di kecamatan itu sebesar 300 persen.
Temuan baru bahwa semua perusahaan tambang galian C melanggar aturan karena tidak memiliki alat pengukur kualitas udara. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu menyebut areal pertambangan galian C yang dikelola berbagai perusahaan di wilayah Kelurahan Buluri dan Watusampu, tidak dilengkapi alat pengukur kualitas udara.
Temuan ini berdasarkan laporan kunjungan Sekretaris Komisi C DPRD Palu, Muslimun, di lokasi tambang galian C di kecamatan Ulujadi, 20 Juni 2021.
“Saat saya melakukan peninjauan di lokasi tambang, ternyata semua perusahaan tambang di sana tidak memiliki alat ukur udara,” kata Muslimun.
Menurutnya, pihak perusahaan yang mengelola pertambangan diharuskan memiliki alat ukur udara, dan hal ini telah diamanatkan dalam dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPH).
“Tidak adanya alat pengukur udara juga menjadi faktor banyaknya masyarakat sekitar terkena penyakit ISPA. Data dari puskesmas setempat, warga yang terkena ISPA terus bertambah,” katanya.
Muslimun menyatakan, organisasi perangkat daerah (OPD) terkait sudah lalai menjalankan tugasnya. Sebab jika peran dari perangkat pemerintah berjalan, maka permasalahan tersebut tidak akan terjadi.
“Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Palu sudah masuk kawasan tambang, hanya saja kami menginginkan kawasan tambang yang ramah lingkungan. Kalau hal itu juga tidak dilakukan maka izin mereka harus ditinjau kembali,” katanya.
Ia menambahkan, dalam waktu dekat DPRD Kota Palu akan memanggil seluruh pihak yang terkait, karena jika permasalahan ini dibiarkan terus terjadi, maka akan berdampak luas dan makin banyak masyarakat yang terkena ISPA.
TUMPANG TINDIH PERIZINAN
Berdasarkan Peraturan Daerah tentang RTRW, dari sisi wilayah Izin Usaha Pertambanagn (IUP) milik perusahaan tambang terjadi tumpang tindih.
Berdasarkan Perda Kota Palu Nomor 16 tahun 2011 tentang RTRW, kawasan-kawasan tertentu di Kecamatan Ulujadi termasuk Watusampu dan Buluri, merupakan kawasan zona rawan bencana dan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu, Moh Rizal mengakui adanya tumpang tindih wilayah IUP milik perusahaan. Namun, sejumlah perusahaan memegang Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang perubahan kawasan lindung menjadi kawasan tidak lindung.
Menurutnya, wilayah kota Palu tidak tepat dijadikan sebagai daerah eksploitasi pertambangan galian C, karena berada dalam wilayah perkotaan. Sehingga pemerintah kota Palu saat ini menolak beberapa permohonan perpanjangan izin beberapa perusahaan tambang galian C.
Tercatat, ada sekitar 39 izin pertambangan galian C di wilayah kecamatan Ulujadi, Kota Palu. Pemberian izin yang tidak terkendali menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng menimbulkan begitu banyak masalah, terutama dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang galian C.
Potensi alam di kota Palu sangat besar, salah satunya pertambangan. Hasil tambang galian C sebagian besar dikirim ke Kalimantan. Bahkan 7.000 ton material batu agregat kasar sirkuit Internasional Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) berasal dari tambang galian C di Palu. Di mana batu Palu terkenal dengan kekerasannya.
Praktisi Tambang, Lukman S Thahir mengatakan, potensi alam yang dimiliki kota Palu, khususnya pertambangan batu dan pasir di Watusampu sangat besar, namun dampak yang ditimbulkan dari pengelolaannya tidak menjadi perhatian pemerintah, sehingga sering terjadi kesenjangan.
Perusahaan tambang kata dia, wajib berkontribusi kepada penduduk setempat melalui dana tanggung jawab sosial, termasuk kontribusi terhadap lingkungan dan pendapatan daerah.
RANPERDA RTRW PUTIHKAN PELANGGARAN TATA RUANG
Rancangan peraturan daerah (Ranperda) RTRW Kota Palu 2021-2041 yang telah disusun oleh Pansus RTRW dan mendapat persetujuan seluruh fraksi di DPRD Kota Palu. Ranperda ini diduga hanya untuk memutihkan pelanggaran Perda Nomor 16 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Palu Tahun 2010 – 2030.
Direktur WALHI Sulteng, Sunardi Katili, Sabtu (18/12/2022) mengatakan, hasil audit tata ruang kawasan perkotaan Palu dan Donggala yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dan Penguasaan Tanah Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/BPN tahun 2019, menunjukkan banyaknya indikasi pelanggaran RTRW di Kota Palu.
Diantaranya, adanya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai baik kegiatan yang memiliki izin maupun tanpa izin. Selanjutnya, adanya rencana pola ruang yang tidak mempertimbangkan kondisi penggunaan lahan dan daya dukung ruang.
Sunardi mencontohkan di wilayah Watusampu dan Buluri, berdasarkan arahan tata ruang ditetapkan sebagai kawasan rawan Bencana Longsor dan RTH. Namun di lapangan ada kegiatan pertambangan.
Hasil audit BPN menemukan fakta bahwa, perubahan lahan perkebunan warga beralih fungsi menjadi lokasi izin pertambangan galian C di Kelurahan Watusampu dan Buluri yang terus meluas hingga tahun mencapai 111,7 hektar.
Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dan kecenderungan terjadinya penyimpangan terhadap RTRW yang mengarah pada perubahan fungsi ruang dan pelanggaran Perda RTRW Tahun 2010-2030.
Ranperda RTRW seharusnya tidak menganulir pelanggaran aturan tata ruang di masa lalu. Karena itu, WALHI Sulteng mendesak agar pemerintah dan DPRD Kota Palu serta Provinsi untuk menghentikan pembahasan RTRW yang sementara dalam proses drafting. Kembali mengajak seluruh stakeholder guna membahas substansi dari Ranperda RTRW dalam rangka menjaga konsistensi RTRW, sebagai pengendalian penggunaan ruang dan untuk mewujudkan keadilan ruang bagi rakyat Kota Palu.
IUP CACAT HUKUM
Ombudsman RI Perwakilan Sulteng sebelumnya, telah menyarankan Polda Sulteng untuk melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana lingkungan serta aktivitas penambangan di luar wilayah IUP yang dilakukan sejumlah perusahaan Galian C di sepanjang poros Palu-Donggala.
Saran dimaksud berdasarkan kajian Rapid Assessment berupa investigasi lapangan, klarifikasi, koordinasi dengan pemerintah Kota Palu dan Donggala, serta Pemerintah Sulteng. Kajian ini sebagai tindak lanjut laporan masyarakat yang diterima Ombudsman.
Berdasarkan itu, Ombudsman menemukan indikasi maladministrasi dalam tata kelola pertambangan mineral bukan logam dan batuan di Kota Palu dan Kabupaten Donggala yang dilakukan pemerintah setempat.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulteng, Sofyan Farid Lembah, mengungkapkan beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas tidak sesuai dengan lokasi dari titik koordinat yang ditentukan.
Bahkan ada perusahaan yang titik koordinatnya hingga ke laut. Hal ini diduga karena adanya izin yang dikeluarkan asal-asalan atau disengaja, sehingga berpeluang terjadinya reklamasi.
“Melihat kondisi ini, dimana titik koordinat IUP yang berada hingga ke laut dan bahkan di badan jalan, artinya IUP itu cacat hukum,” kata Sofyan.
Menurutnya, perilaku itu merupakan perbuatan maladministrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Tak hanya itu, pemerintah provinsi hingga pemerintah kota Palu tidak maksimal dalam melaksanakan kewajiban pengawasan dalam pengelolaan di lingkungan pertambangan.
Pertanyaannya, siapa yang berperan keluarnya IUP dan harus bertanggung jawab atas dampak negatif yang mengena pada rakyat? ***