PALU, MERCUSUAR – Pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Sulawesi Tengah mendoakan para korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Pantai Talise, Selasa (28/9) pagi. Doa yang dipimpin Pendeta Oni Yosetiawan sangat menyentuh dan membuat suasana hening.
Ia mendoakan para korban, mereka yang selamat, maupun para pejabat di daerah ini. “Kita semua adalah korban, kita yang selamat turut mendoakan, walaupun para korban yang meninggal tidak ada ikatan darah dengan kita,” katanya.
Sebelum pembacaan doa, sekitar 20 orang pengurus berdiri dan berjejer rapi di pinggir laut. Kemudian dengan kompak menabur bunga ke laut yang tenang. Saat bunga mengapung dan hanyut ke laut, Pendeta Oni Yosetiawan memimpin pembacaan doa.
“Kami memilih di pantai ini untuk melakukan tabur bunga karena di sinilah salah satu tempat yang terdapat banyak korban bencana tsunami 28 September 2018. Kami mengenang peristiwa dahsyat itu, mendoakan dan member penghormatan kepada para korban,” kata Ketua INTI Sulteng, Rudy Wijaya.
Disebutkan, bilamana kembali mengingat peristiwa itu, selalu muncul rasa sedih. “Banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban. INTI Sulteng menjadikan tabur bunga setiap 28 September sebagai agenda tetap untuk mengenang dan mendoakan para korban,” kata Rudy Wijaya.
Ia juga menjelaskan, INTI Sulteng, organisasi yang terbentuk setelah bencana itu punya moto “Kami Peduli”. Tabur bunga itu diikuti antara lain Sekretaris INTI Sulteng, Dolof Tirayo, Willem Chandra, Charles Amin, Oetomo Koentjoro, Mintarto Gunawan, dan lainnya.
Sementara Perempuan Indonesia Tionghoa (PINTI) Sulteng hadir ketuanya, Suryawati Hosari, Elma Dike Ruauw, Fonny Wongsonegoro, Ny. Charles Amin, Jane Malonda, dan lainnya.
Suryawati Hosari juga menambahkan, sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam kepada para korban, momen tiga tahun bencana dilakukan tabur bunga, sebagai bentuk duka cita, untuk mengingat dan terus waspada.
Ziarah di Poboya
Sementara itu Tempat Pemakaman Umum (TPU) Poboyo, Palu biasanya ramai dikunjungi warga yang berziarah di lokasi makam massal korban bencana alam tsunami dan likuefaksi yang terjadi di Palu.
Tahun lalu, misalnya. Clara datang ke makam kedua orangtuanya serta tiga saudaranya. Mereka adalah korban likuefaksi di Petobo.
“Waktu itu saya sekeluarga ada di rumah, terus pada saat kejadian, papa, mama, kakak sama adik-adik itu lari ke arah yang terdampak,” papar Clara dengan nada sedih kepada VOA Indonesia.
Likuefaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan tanah akibat besarnya massa dan volume lumpur yang keluar pasca gempa. Pada bencana di Palu dan sekitarnya itu tiga tahun lalu, likefaksi terjadi di Kelurahan Petobo dengan luas 180 hektar dan Balaroa seluas 47.8 hektare.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi Menghantam Palu Sementara itu Pelaksana Tugas Wali Kota Palu, Sigit Purnomo mengatakan ada 1.090 korban bencana gempa bumi yang dimakamkan di TPU Paboyo. Sigit berziarah bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Palu. Ia mengatakan walaupun bencana sudah terjadi dua tahun yang lalu, peristiwa tersebut masih sulit diterima oleh warga Kota Palu yang kehilangan anggota keluarga mereka. “Kita tidak pernah membayangkan dalam satu waktu kita kehilangan keluarga, kehilangan saudara dengan jumlah yang begitu besar tapi tentunya hari demi hari, waktu ke waktu kita berharap kita semua khususnya para keluarga yang kehilangan sanak saudara pada bencana kemarin bisa menerima dan terus mendoakan,” jelas Sigit Purnomo. Baca juga: Cerita Lisman Setiap Hari Datangi Lokasi Likuefaksi Palu yang Renggut Istri dan 2 Anaknya Dikutip dari Pusat Data dan Informasi Bencana (PUSDATINA) Sulteng 2019, total jumlah korban jiwa di Parigi Moutong, Sigi, Donggala dan Kota Palu mencapai 4.845. Dari angkat tersebut 1.016 korban dimakamkan secara massal di Kota Palu dan 705 lainnya hilang.
Dahsyatnya kekuatan gempa magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 juga menyebabkan 110 ribu rumah masyarakat mengalami kerusakan berat, sedang, dan ringan.
Tiga tahun setelah berlalu, kini masih banyak penyintas yang tinggal di hunian sementara.
Sementara itu Adriansyah Manu dari organisasi “Sulteng Bergerak” mengatakan banyak warga terdampak bencana alam yang masih tinggal di hunian sementara di Kota Palu. Ia mengatakan rata-rata warga mengalami kesulitan ekonomi terutama bagi pekerja informal yang kehilangan sumber mata pencaharian akibat pandemi Covid-19.
“Ditambah lagi dengan situasi pandemi saat ini, itu makin sulit buat mereka untuk bertahan hidup di huntara. Dari hasil pengamatan dan survei kami memang masih banyak sekali warga yang tidak punya pekerjaan. Rata-rata mereka pekerja serabutan dan malah sudah ada yang mengemis di lampu-lampu merah,” tambah Adriansyah dikutip dari Kompas.com.
Selain mendesak penyelesaian pembangunan hunian tetap, “Sulteng Bergerak” yang mendampingi lima ribu penyintas di 42 lokasi huntara di kota Palu itu juga mendesak agar pemerintah dapat segera menuntaskan penyaluran dana stimulan, jaminan hidup dan santunan duka yang belum seluruhnya tersalurkan untuk penyintas bencana alam di Kota Palu, Sigi dan Donggala.
Dari data Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2019 lalu, ada 11.788 unit hunian tetap yang akan dibangun di sejumlah lokasi di Palu dan Sigi. Hunian tetap tersebut ditargetkan rampung pada akhir tahun 2020. Rumah tersebut diperuntukkan bagi penyitas bencana yang direlokasi dari rumah mereka yang terkena likuefaksi dan tsunami.MG6/MAN