PALU, MERCUSUAR – Pakar kebencanaan Universitas Tadulako, Ir. Drs. Abdullah MT mengatakan, Teluk Palu rawan terjadi tsunami meski tidak terjadi gempa. Warga yang tinggal di sekitar pantai diminta selalu waspada.
Hal itu dikemukakan Abdullah ketika tampil sebagai salah satu pembicara pada workshop orientasi aksi pengabdian masyarakat berbasis gender dan sosialisasi penanganan sosial pada pembangunan Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu di Swiss Belhotel, Palu, Minggu (14/11) siang.
Abdullah memberikan materi bejudul Pembangunan UIN Datokarama Palu Berbasis Mitigasi Bencana.
Disebutkan, akibat gempa dahsyat pada 28 Oktober 2018, sejumlah tebing terjal di dasar laut tidak mengalami longsoran. Tebing-tebing terjal itu sewaktu-waktu terjadi longsoran dan berpotensi menyebabkan tsunami meski tidak terjadi gempa.
“Tsunami senyap bisa melanda pesisir wilayah Teluk Palu seperti kejadian tsunami senyap di Selat Sunda pascatsunami Selat Sunda 22 Desember 2018,” kata dosen Fisika Fakultas MIPA Untad itu.
Menurutnya, saat itu dengan tiba-tiba gelombang besar datang menyapu wilayah pantai Banten dan Lampung. Termasuk merobohkan panggung musik yang sedang ramai tanpa ada seorangpun yang menyadari ada gelombang besar sedang menuju ke pantai yang sedang ramai tersebut. Bahkan, tsunami ini sama sekali tidak terdeteksi oleh BMKG.
Menurutnya, pemicu tsunami senyap di Teluk Palu itu adalah, pertama, sejumlah wilayah di Teluk Palu yang mengalami downlift (permukaan tanah yang turun) mengakibatkan tebingnya semakin terjal. Sehingga, semakin mudah longsor yang bisa menyebabkan tsunami senyap.
Ke dua, ada tebing terjal di wilayah Teluk Palu yang tak longsor saat terjadi gempa 28 September 2018 namun mengalami keretakan. Kondisi ini bisa tiba-tiba longsor dan mengakibatkan tsunami retak.
Abdullah menyebutkan wilayah di Teluk Palu yang mengalami downlift adalah muara Sungai di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu.
Downlift di Pantai Talise Kota Palu, downlift di muara Sungai Taipa, Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, serta anjungan Palu Nomoni yang kini menjadi dasar laut. Kemudian di muara Sungai Poboya di Jalan Komodo juga mengalami downlift.
“Setidaknya ada lebih 10 pusat tsunami tapi rata-rata dekat tebing tepi pantai. Umumnya di muara-muara sungai,” kata Abdullah.
Sebelum mengakhiri paparannya, Abdullah menjelaskan mengapa ia mengungkapkan potensi terjadinya tsunami senyap itu, agar masyarakat betul-betul menaati larangan membangun di zona merah di tepi pantai karena sangat rawan tsunami.
Apalagi belajar dari kejadian tsunami 28 September 2018, berdasarkan 7 CCTV yang tersebar di beberapa tempat bisa diketahui durasi penjalaran gelombang tsunami mulai terjadinya gempa, ke pantai Teluk Palu, yakni antara 1,43 menit hingga 3,36 menit.
“Jadi golden time atau kesempatan untuk menyelamatkan diri dari terjangan gelombang tsunami itu sangat pendek,” ujarnya.
Abdullah mengemukakan, Sulteng termasuk rawan bencana gempa. Dalam kurun waktu 1902 hingga 2021 tercatat beberapa gempa merusak di Sulawesi Tengah di antaranya, gempa Bada 1902, gempa Kulawi 30 Juli 1907, gempa Kulawi 18 Maret 1909.
Kemudian gempa besar yang diiringi tsunami terjadi di Selat Makassar-Kaltim pada 14 Mei 1921, di Teluk Palu pada 1 Desember 1927, di Teluk Palu pada 20 Mei 1938, di Teluk Tomini pada 20 Mei 1938, di Teluk Tambu pada 15 Agustus 1968, di Tonggolobibi pada 1 Januari 1996, di Banggai pada 4 Mei 2000, dan terakhir gempa 28 September 2018.
Ia merinci Teluk Tambu sebanyak dua kali, Teluk Sirenja sebanyak satu kali, Teluk Palu sebanyak tiga kali. Dari jumlah itu Abdullah menyebut Sulteng merupakan wilayah paling rawan tsunami di dunia.
Selanjutnya, Parigi Selatan-Parigi Utara sebanyak dua kali, dan terakhir Budong-Budong sebanyak satu kali.
“Jadi dalam kurun 97 tahun, Sulteng sembilan kali dilanda tsunami,” kata Abdullah sembari memperlihatkan foto-foto.
Ia menyebut gempa bumi pada 28 September 2018 memicu panca bencana di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Yaitu, gempa bumi diikuti bencana tsunami, likuefaksi, bencana longsor, downlift (tanah turun), serta perubahan landskap wilayah disertai beberapa jenis bencana sekunder. MAN