Kohati Buol Demo di Dekab

ilustrasi-pencabulan

BUOL, MERCUSUAR – Puluhan perempuan yang tergabung dalam Korp HMI Wati (Kohati) Cabang Buol menggelar aksi demo di DPRD Kabupaten (Dekab) Buol, terkait maraknya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan di Buol, Senin (23/9/2019).

Tercatat sejak tahun 2018  jumlah kasus tersebut meningkat sampai 68 kasus, dan terhitung periode  Januari hingga Agustus tahun 2019 tercatat sebanyak 48 kasus.

Koordinator Lapangan (Korlap), Risnawati Saleh mengatakan makin tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan disebabkan lemahnya proses penegakkan hukum terhadap oknum pelakunya. Bahkan cenderung upaya penyelesaian kasus tersebut selama ini hanya dilakukan secara kekeluargaan antara keluarga pelaku dengan keluarga korban.

Padahal, katanya, kasus kekerasan seksual sangat berdampak pada pisikologis korban.

“Lebih memprihatinkan lagi, adanya rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri Negara Nomor: 1 Tahun 2010. Rencana revisi tersebut, justru makin melemahkan proses penindakan secara hukum pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dibawa umur,” ujarnya.

Menyikapi itu, kata Rinawati, Korp HMI Wati (Kohati) Buol menyatakan agar Pemkab Buol tetap melaksanakan Peraturan Menteri Negara Nomor: 1 Tahun 2010 Pasal 1 poin 7 dan 8, serta lebih proaktip dan tegas menyikapi  proses penegakkan hukum terhadap para pelaku.

Selain itu, pihaknya juga meminta Pemkab Buol mempertanyakan kinerja Lembaga Pelayanan,  Perlindungan  Pemberdayaan Terpadu dan Perlindungan Anak (P2TP2A), sekaligus meminta dekab melakukan hearing atau dengar pendapat antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak,  P2TP2A bersama Kohati.

Menanggapi tuntutan Kohati, Dekab Buol berjanji akan menyahutinya serta meninjau kembali keberadaan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang selama dua tahun terakhir melekat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD).

“Sebelumnya memang ada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang nomenklaturnya berdiri sendiri. Namun tiba-tiba keberadaan dinas itu dilebur menjadi Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga bidang tersebut saat ini melekat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Buol. Jadi peleburan instansi itu menjadi bidang, menyebabkan lemahnya tugas pokok dan fungsi dalam hal penanganan kasus kasus-tersebut. Sebab kalau hanya setingkat bidang sudah pasti kewenangan terbatas, termasuk alokasi anggarannya juga terbatas.  Jadi pihak DPRD berjanji akan meninjau kembali. Insya Allah tahun 2020 mendatang keberadaan dinas tersebut akan diupayakan berdiri sendiri seperti sebelumnya,” jelas Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Badan PMD Buol,  Samsiar Djanggola pada Wartawan media ini.

Dia mengaku optimis proses penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dapat dikendalikan lebih maksimal jika Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berdiri sendiri seperti sebelumnya. ”Ini sangat erat kaitannya dengan kewenangan yang lebih luas,” tutur Samsiar. SUL         

Pos terkait