PALU, MERCUSUAR – Taufik Lauto, pemuda dan masyarakat asli Morowali Utara, Sulawesi Tengah, mengaku geram. Lelaki kelahiran Januari 1987 dari seorang ibu yang berdarah suku Mori ini tak habis pikir dengan aksi segelintir orang terhadap PT Agro Nusa Abadi (ANA). PT ANA adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan tempat ia lahir dan dibesarkan, Morowali Utara.
“Dorang (dia/mereka) harus tahu, bahwa informasi yang mereka sebarkan itu tidak benar,” katanya mencoba meluruskan. “Banyak hal aneh dan tidak masuk akal,” lanjut ayah dari dua anak yang berdomisili di Desa Onepute, Petasia Barat, Morowali Utara ini.
Beberapa hari lalu organisasi yang menamakan diri Front Rakyat Anti Sawit (FRAS) menyebarkan press release. Dokumen tersebut berisi sejumlah tuduhan yang berkisar pada tiga hal; legalitas operasional perusahaan yang dinilai maladministrasi, perampasan lahan milik masyarakat, dan aksi pemenjaraan dengan tuduhan pencurian buah sawit.
“Semua hal itu sudah saya bantah,” katanya. Bahkan, secara resmi ia sudah mengadukan tuduhan-tuduhan sepihak itu ke kantor Bupati Morowali Utara, September lalu. Di hadapan Bupati, Taufik Lauto selaku Ketua Serikat Pekerja Mandiri PT ANA, memohon bantuan kepala daerah agar gangguan terhadap PT ANA bisa diselesaikan. “Nasib karyawan dan keluarga yang menggantungkan hidup pada perusahaan jadi taruhan,” kata pekerja di bagian pabrik ini.
Sebagai warga asli, Taufik paham betul sejarah kedatangan dan pengoperasian PT ANA. Dokumen-dokumen legal yang menjadi dasar hukum, menurutnya, tersimpan rapi dan masih terus dalam proses pengurusan. Lagipula, menurutnya, tidak mungkin perusahaan dengan investasi sangat besar berani mendirikan perkebunan tanpa ijin.
Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), dengan segala permasalahan yang terjadi di lapangan, tetap menjadi komitmen perusahaan dan terus dikoordinasikan dengan masyarakat serta instansi-instansi terkait.
Karena itu, ia sama sekali tidak sependapat dengan tuduhan bahwa PT ANA melakukan perampasan lahan. Yang jelas, dari cerita orang tua dan keluarga besarnya, sebelum perusahaan beroperasi tidak ada aktivitas apapun di lahan yang di-claim, mengingat sulitnya mengelola lahan tersebut. Saking beratnya kondisi medan, orang tuanya pun dulu ragu bila PT ANA akan berhasil mendirikan perkebunan kelapa sawit di situ. Ternyata bisa.
Hal aneh berikutnya, menurut Taufik, seandainya pun benar lahan yang dikelola PT ANA itu milik masyarakat, mengapa klaim tersebut baru mereka sampaikan sekarang. Mengapa baru mengaku punya hak milik saat PT ANA sudah terbukti berhasil mengolah lahan.
Ia menyayangkan jika LSM atau kelompok itu terus mengobok-obok PT ANA. Karyawan resah. Nasib mereka beserta keluarganya juga menjadi pertaruhan.
Padahal, menurutnya, sejak awal kedatangan di Morowali Utara PT ANA termasuk perusahaan yang menjadi favorit masyarakat sekitar. Banyak pemuda, termasuk dirinya, yang sangat ingin menjadi bagian dari PT ANA, mengelola kawasan dan tumbuh bersama-sama.
Dampak positif kehadiran perusahaan sudah terbukti. Ekonomi menggeliat. Lapangan kerja terbuka. Masyarakat pun banyak mendapat keuntungan, ikut menanam kelapa sawit dan menjual panennya ke pabrik kelapa sawit. “Dampak kehadiran ANA itu luar biasa,” tegas Taufik Lauto sambil berharap perusahaan dapat berjalan baik dan terus memberikan kontribusi bagi ekonomi di Morowali Utara dan sekitarnya.(*)