Komunitas Tana Sanggamu Terbitkan Buku Desa

FOTO KOMUNITAS DONGGALA

DONGGALA, MERCUSUAR – Komunitas anak-anak muda di Desa Toaya Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala menerbitkan sebuah buku yang mencatat sejarah hingga potensi bencana yang ada di desa dan bagaimana warga menghadapinya.

Buku setebal 128 halaman itu diberi judul Ngapa Nu Ranga-Ranga : Sejarah dan Dinamika Masyarakat Desa Toaya Menghadapi Bencana.

Ketua Institut Tana Sanggamu (sebuah komunitas tempat anak-anak muda itu berhimpun), Ade Nuriadin mengatakan, bahwa buku ini merupakan kolaborasi dari 13 orang anak muda di Desa Toaya. Mereka berbagi tugas. Ada yang menulis, ada yang melakukan riset lapangan.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah mereka melakukan pemetaan geospasial untuk melihat bagaimana rupa wilayah desa mereka secara lebih jelas. Dari hasil pemetaan itu, mereka bisa melihat mana lokasi yang rawan saat bencana terjadi, sekaligus melihat dimana lokasi yang aman untuk mengungsi ketika bencana terjadi sewaktu-waktu.

Saat melakukan penulisan buku, komunita anak muda ini juga mewawancarai orang-orang tua di kampung untuk mengetahui sejarah desa mereka. Dari beberapa orang tua mereka mengetahui bahwa kalau dahulu kampung mereka masih sebuah dusun bernama Ranga-Ranga yang kini menjadi Dusun 1 Desa Toaya. Dari wawancara dengan orang-orang tua mereka juga menemukan 4 versi asal nama Toaya.

Ade menjelaskan, didalam buku ini mereka memetakan lokasi rawan bencana berdasarkan sejarah dan hasil pemetaan geospasial.

“Ada dua jenis bencana alam yang sangat mungkin terulang di wilayah Desa Toaya, yaitu gempa bumi dan tsunami. Apalagi mengingat letak pemukiman sebagian warga tidak begitu tinggi dari bibir pantai. Selain itu, letak desa juga bisa dikatakan dekat dengan jalur sesar Palu-Koro,” kata Ade.

Buku ini diharapkan bisa memberikan panduan atau menjadi salah satu sumber pengetahuan masyarakat untuk mendorong lahirnya rencana mitigasi yang lebih baik dari pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada warga desa mereka.

Bukan hanya memetakan potensi bencana alam, buku ini juga menuliskan dampak bencana 28 September 2018 terhadap perekonomian masyarakat seperti dialami oleh nelayan, kelompok usaha kecil serta para petani.

Dalam buku ini, Institut Tana Sanggamu mencatat, kondisi para petani di desa mereka memang belum begitu baik sejak sebelum bencana. Saat bencana terjadi kondisi itu makin parah karena dua jaringan irigasi rusak parah. Mereka kemudian berinisiatif mengajak para petani dan warga yang memiliki sedikit lahan untuk memulai pertanian organik. Tahap pertama mereka mengolah lahan sekitar 1/4 hektar untuk ditanami kacang tanah.

Buku ini juga merekam bagaimana hanya dalam waktu 3 hari pasca bencana 28 September 2018 itu, persediaan makanan warga berkurang dan pasokan terputus. Padahal sumber-sumber makanan sebenarnya ada di sekitar mereka.

Hal itulah yang menjadi salah satu upaya mereka dalam mitigasi bencana, yakni mengajak warga untuk kembali bertani, menanam sayuran dan rempah dan bahan makanan lainnya. HID

Pos terkait