DONGGALA, MERCUSUAR – Hampir tujuh bulan pasca bencana 28 September 2018, masalah air laut pasang yang menggenangi pemukiman warga dan badan jalan, di sejumlah desa di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, belum juga terselesaikan. Fenomena air laut pasang yang menggenangi pemukiman warga dan badan jalan ini, menghambat aktivitas warga sekitar dan pengendara yang melintas di jalan yang melewati sejumlah desa tersebut.
Salah seorang warga setempat, Ahyadin, Selasa (23/4/2019) menjelaskan, saat air laut pasang, pengendara yang melintasi Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, selalu terhambat perjalanannya, akibat genangan air pasang yang menggenangi hingga ke badan jalan, setiap pagi dan sore hari. Para siswa yang sedang melakukan ujian nasional kata dia, juga tertunda pelaksanaannya, akibat kedatangan guru-guru terhambat oleh genangan air pasang.
“Pemerintah setempat sepertinya tidak mampu memberikan solusi alternatif, seperti pembuatan tanggul darurat, jembatan darurat, dan tindakan solutif lainnya, yang dapat memudahkan perjalanan para pengendara untuk melanjutkan aktivitas mereka,” ujarnya.
Pengamat Kebencanaan dari Universitas Tadulako (Untad), Drs Abdullah, MSi, Selasa (23/4/2019) menjelaskan, pasca bencana 28 September 2018, ada beberapa desa di Kecamatan Sirenja, yang wilayah pesisir pantainya mengalami downlift atau penurunan permukaan tanah. Fenomena ini kata dia, terjadi mulai dari Tondo, Dampal, lalu Tompe, Lompio dan Lende.
“Karena mengalami penurunan, maka ketika air laut pasang, wilayah yang mengalami downlift tersebut, digenangi air laut. Genangan air laut bahkan menyeberangi jalan raya, kecuali di Desa Tondo dan Dampal,” jelasnya.
Bahkan kata Abdullah, sejak sebulan terakhir, fenomena air pasang ini, tidak hanya terjadi pada sore sampai awal malam, tetapi juga sudah terjadi di pagi hari, sehingga mengganggu aktivitas warga dan siswa sekolah.
Menurut Abdullah, apa yang vterjadi di sejumlah desa di Kecamatan Siren ja tersebut, bukanlah banjir rob, seperti yang banyak bersliweran di media sosial. Dirinya menjelaskan, rob adalah kejadian pasang tertinggi di sekitar pantaidan kejadiannya sangat jarang, tidak setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan.
“Kadang juga hanya satu kali dalam setahun. Jadi, kejadian di Sirenja bukan rob, tetapi downlift atau penurunan muka tanah di wilayah pantai, yang lalu digenangi air laut ketika air laut sedang pasang,” lanjutnya.
Wilayah – wilayah yang digenangi air pasang tersebut, menurut Abdullah, sudah tidak layak huni, karena beresiko dan aktivitas warga pasti terganggu, setiap terjadi genangan. Selain itu, penyakit dan bencana juga mengancam masyarakat yang memutuskan tetap tinggal di lokasi yang digenangi tersebut.
“Ruas jalan di sana mungkin saja bisa ditinggikan, dengan teknik rekayasa yang bagus dan kuat, sehingga tetap aman dan selamat, bila digunakan. Untuk pesisir pantai bisa saja ditanggul, tetapi air laut tetap akan masuk ke darat, karena drainase tidak mungkin ditutup, karena selalu ada air yang mengalir dari arah hulu,” jelas Abdullah.
BERADAPTASI ATAU RELOKASI
Menurut Abdullah, jika memang masyarakat memutuskan untuk tetap bertahan, mereka harus beradaptasi dengan fenomena alam tersebut. Salah satunya, adalah dengan mendirikan pemukiman yang mengadopsi sistem permukiman orang Bajo. Rumah – rumah warga di wilayah yang digenangi tersebut, harus dibangun dengan konsep bangunan rumah panggung atau semi panggung, jika ingin tetap bertahan di lokasi tempat tinggal mereka saat ini.
“Pilihannya, beradaptasi dengan mendirikan rumah panggung atau relokasi ke kawasan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Abdullah menjelaskan, jika memang akhirnya relokasi jadi jalan keluar, wilayah yang ditinggalkan tersebut, otomatis menjadi Kawasan Lindung, kategori wilayah rawan bencana, yang dapat ditanami mangrove atau tumbuhan pantai lainnya. Kawasan Rawan Bencana adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam sedangkan Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama, melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah, serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. JEF