Urban Donggala, Ketika Kota Diingat Kembali dari Seni

DONGGALA, MERCUSUAR — Pada suatu masa, bunyi stoom kapal uap dari pelabuhan lama menjadi alarm kota. Ia menandai dimulainya hari dan berlanjut hingga malam, di mana buruh pelabuhan bekerja bergiliran, pedagang membuka lapak, orang-orang keluar rumah karena ada alasan untuk bergerak. Kota hidup mengikuti arus laut. Ketika bunyi itu berhenti terdengar dan arus berpindah, denyut kota ikut meredup, siang dan malam.

Puluhan tahun kemudian, ingatan tentang Donggala sebagai kota urban pelabuhan itulah yang coba dihidupkan kembali melalui jalur yang berbeda. Bukan lewat pembangunan fisik berskala besar, melainkan melalui seni, budaya, dan aktivasi ruang kota. Inilah konteks lahirnya URBAN DONGGALA #2025: Kota dan Kita, program yang digagas oleh Bengkel Sandiwara Donggala pada 26–27 Desember 2025 di kawasan Kota Tua Donggala, tepatnya di Jl. Mutiara, Kelurahan Boya (eks Toko Teng Hien).

Dalam diskusi publik yang mengawali kegiatan ini, Bobi, pengagas kegiatan, menyebut program ini sebagai upaya sadar untuk mengembalikan spirit kejayaan kota urban Donggala, bukan sekadar sebagai nostalgia, tetapi sebagai pengalaman hidup yang bisa dirasakan kembali oleh warga. Ia menyoroti perubahan paling kasat mata dari pergeseran itu, yakni matinya kehidupan malam kota.

“Dulu malam hari di Donggala itu berdenyut aktivitasnya. Orang punya alasan keluar rumah. Sekarang warga tidak punya alasan untuk keluar, karena kotanya tidak menawarkan aktivitas,” kata Bobi. Dari kegelisahan itulah URBAN DONGGALA #2025 diinisiasi, untuk menciptakan kembali alasan bagi warga untuk hadir, bertemu dan mengalami kota.

Pemilihan lokasi di jantung Kota Tua Donggala bukan kebetulan. Kawasan ini menyimpan jejak masa ketika Donggala berfungsi sebagai simpul niaga dan perjumpaan sosial. Dalam sejarahnya, Donggala menjadi kota urban bukan karena status administratif, melainkan karena fungsinya sebagai kota pelabuhan. Ketika pelabuhan lama kehilangan daya teknis dan pusat arus dipindahkan ke Pantoloan pada 1970-an, struktur kota ikut berbalik. Palu tumbuh sebagai kota urban baru, sementara Donggala perlahan menjadi peri-peri administratif, hidup di pinggir arus.

Pandangan ini ditegaskan oleh Jamrin Abubakar dari Donggala Heritage. Menurutnya, denyut kota Donggala secara historis selalu bergantung pada keberadaan pelabuhannya.

“Kalau kita bicara hidup-matinya kota Donggala, itu sangat terkait dengan pelabuhan. Karena itu, keberadaan pelabuhan penumpang saat ini menjadi penting,” ujarnya. Bagi Jamrin, pelabuhan bukan hanya soal transportasi, tetapi soal ritme kota, arus orang yang datang dan pergi, yang kemudian menghidupkan ruang-ruang sosial.

URBAN DONGGALA #2025 hadir dengan kesadaran penuh atas sejarah pembalikan itu. Para penggagasnya tidak menjanjikan kembalinya Donggala sebagai kota pusat yang menyaingi Palu. Mereka berangkat dari pembacaan yang lebih jujur, yakni urbanitas Donggala hari ini tidak bisa dipulihkan hanya dengan infrastruktur, meskipun pelabuhan baru secara teknis jauh lebih layak dibanding pelabuhan lama. Hal yang bisa dipulihkan lebih dulu adalah ingatan kota, rasa memiliki, dan kebiasaan warganya untuk kembali hadir di ruang publik.

Dengan mengusung tema “Kota dan Kita”, program ini mengajak warga merefleksikan relasi timbal balik antara kota dan penghuninya. Kota tidak ditempatkan sebagai latar pasif, tetapi sebagai ruang yang hidup melalui praktik sosial. Seni dan budaya dijadikan titik masuk untuk mengaktifkan kembali ruang Kota Tua, mengubah bangunan lama dari saksi bisu menjadi ruang pertemuan, dialog, dan kemungkinan.

Dalam visi jangka panjang, URBAN DONGGALA #2025 digagas sebagai langkah awal membangun kembali Donggala sebagai Kota Budaya. Bukan kota pusat, melainkan kota simpul yang menemukan relevansinya melalui praktik kebudayaan, pariwisata sejarah, dan ekonomi jasa berbasis komunitas. Sebuah kota yang kembali berfungsi karena warganya memiliki alasan untuk hadir, beraktivitas, dan merawat ruang bersama.

Di Donggala, kota akan diingat kembali. Bukan melalui bunyi stoom kapal uap, tetapi melalui cahaya malam, perjumpaan warga, dan praktik seni di ruang yang pernah menjadi pusat kehidupan. Sebuah alarm yang berbeda, lebih sunyi, tetapi mungkin lebih tahan lama, tentang kota, pelabuhan dan kita. JEF

Pos terkait