PALU, MERCUSUAR — Rencana Pemerintah Kota Palu untuk mengembangkan Elevated Road Silae–Lere–Besusu–Talise, termasuk ruas Jalan Cumi-cumi, sebagai kawasan wisata kuliner dan sentra UMKM kembali menuai sorotan dari kalangan akademisi dan ahli kebencanaan. Ir. Drs. Abdullah, MT, Dosen Teknik Geofisika sekaligus Kepala Laboratorium Palu-Koro Fakultas MIPA Universitas Tadulako, menilai rencana tersebut sangat berisiko karena berada tepat di zona merah tsunami dan wilayah yang pernah mengalami penurunan tanah signifikan akibat gempabumi 2018.
Hal ini disampaikan dalam paparan resmi Tim Ahli Studi Kelayakan Elevated Road pada Seminar Kajian Awal Elevated Road yang diselenggarakan oleh Tim Ahli dan Tim Fasilitasi Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kota Palu, yang berlangsung di ruang rapat Bantaya Kantor Wali Kota Palu, Selasa (4/11/2025), dan dibuka secara resmi oleh Wakil Wali Kota Palu, Imelda Liliana Muhidin. Seminar ini sebagai langkah awal dalam mengkaji potensi elevated road untuk pengembangan ekonomi masyarakat melalui sektor UMKM dan pariwisata.
Abdullah menegaskan, Teluk Palu memiliki rekam bencana yang terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mengingatkan, dalam kurun kurang dari satu abad, Teluk Palu mengalami empat kali tsunami besar, yakni pada 1870-an, 1927, 1938, dan 2018, dengan karakter yang sangat cepat dan destruktif. Tsunami 2018, misalnya, tiba di pesisir hanya dalam rentang satu hingga tiga menit setelah gempa, dengan ketinggian gelombang mencapai lebih dari sepuluh meter. Selain itu, lebih dari sepuluh pusat tsunami teridentifikasi di Teluk Palu, sebagian berasal dari longsor muara sungai dan sebagian lagi dari pergeseran vertikal Sesar Palu-Koro. Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, potensi terjadinya tsunami lokal atau bahkan tsunami senyap tidak boleh dipandang ringan.
Abdullah menekankan, sempadan pantai Teluk Palu telah ditetapkan sebagai Zona Terlarang atau zona merah dalam Peta Zonasi Rawan Bencana Bappenas 2018, dengan lebar hingga 200 meter di beberapa segmen seperti Lere, Besusu Barat, dan Talise. Elevated road yang dibangun pascabencana 2018 oleh BPJN Sulteng dengan dukungan JICA berada tepat di dalam zona tersebut. Menurutnya, elevated road memang berfungsi mengurangi risiko abrasi dan sebagian energi gelombang ekstrem, tetapi sama sekali tidak ditujukan sebagai ruang berkegiatan massal. Struktur tersebut hanya mereduksi risiko, bukan menghilangkannya. Karena itu, pengumpulan massa dalam jumlah besar di atas jalur ini dinilai berbahaya, terlebih jika dilakukan secara rutin.
Abdullah juga mengingatkan, warga Palu masih menyimpan trauma mendalam sejak bencana 2018. Getaran kecil dengan magnitudo empat atau lima saja dapat memicu kepanikan. Jika masyarakat dalam jumlah besar berada di atas struktur elevated road yang tingginya sekitar tiga hingga empat meter dari permukaan tanah, risiko jatuh, desak-desakan, atau cedera akibat upaya evakuasi spontan sangat besar. Ia menilai, belum adanya uji ketahanan struktur terhadap gempa besar pascapembangunan, menambah daftar alasan mengapa rencana tersebut perlu dipertimbangkan ulang.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Palu sedang gencar mengkaji pemanfaatan elevated road, termasuk ruas Jalan Cumi-cumi, sebagai pusat UMKM dan wisata perkotaan. Jalan Cumi-cumi belakangan dipandang sebagai ruang publik yang ramai digunakan warga untuk olahraga, rekreasi, dan aktivitas ekonomi kecil. Pemerintah menyebut, potensi tersebut dapat dikembangkan menjadi ruang wisata kuliner modern yang menyokong pemulihan ekonomi pascabencana, sekaligus mendorong visi pembangunan kota berorientasi pariwisata dan pencapaian sasaran SDGs 2030.
Namun, Abdullah menilai, pemanfaatan elevated road untuk kegiatan UMKM-wisata, justru menimbulkan persoalan serius dalam konteks keselamatan publik. Menurutnya, rencana tersebut bertentangan dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman, terutama bagi kelompok rentan. Mengumpulkan masyarakat di zona merah tsunami, dalam pandangannya, merupakan kebijakan yang berpotensi melanggar prinsip dasar mitigasi dan pencegahan.
Dalam aspek tata kota, elevated road merupakan jalan arteri sekunder yang harus terbuka dan berfungsi melayani perjalanan jarak jauh serta mobilitas utama antarkawasan. Menutupnya dua hari setiap pekan untuk kegiatan kuliner akan mengganggu arus transportasi dan berpotensi melanggar UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, Surat Edaran Wali Kota Palu Nomor 551/0493/HUKUM/2022 secara tegas melarang penutupan jalan untuk kegiatan apa pun kecuali tenda kedukaan dengan syarat separuh lebar jalan tetap terbuka. Karena itu, Abdullah menilai, rencana pemanfaatan elevated road sebagai pusat kuliner dan bazar UMKM tidak hanya berisiko secara geologi, tetapi juga problematis secara hukum.
Selain risiko bencana dan persoalan regulasi, Abdullah juga menggarisbawahi beban ekologis yang dapat muncul. Teluk Palu selama puluhan tahun menjadi tempat akumulasi limbah plastik, termasuk yang tenggelam dan tertimbun sedimen di sekitar muara Sungai Palu. Dalam pengamatannya dua dekade lalu, ia menemukan lapisan plastik di dasar perairan yang telah terjebak di bawah endapan sungai. Menurutnya, pengembangan wisata kuliner di atas elevated road hanya akan meningkatkan tekanan limbah plastik dan memperburuk kerusakan ekosistem pesisir yang sudah rapuh.
Sebelumnya, Abdullah dalam opininya di Harian Mercusuar juga menyoroti rencana Pemkot Palu tersebut. Artikel tersebut menilai bahwa menjadikan elevated road sebagai kawasan kuliner ibarat menciptakan “beban sosial-bencana” baru. Abdullah menilai, pembangunan ruang publik di zona merah tanpa analisis risiko komprehensif akan membuat warga berada dalam situasi rawan jika bencana datang tiba-tiba, sementara jalur evakuasi sulit diakses akibat kepadatan aktivitas ekonomi.
Walaupun memberikan kritik, Abdullah juga menawarkan solusi konkret. Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan sejumlah lokasi alternatif yang lebih aman dan tetap potensial untuk pengembangan UMKM-wisata. Beberapa lokasi seperti eks lapangan futsal Talise, eks Rumah Sakit Mata Talise, eks area penjual buah di Talise, eks Kantor DLH Sulteng di Besusu Barat, lahan eks permukiman di Lere, serta kawasan segitiga Silae, dinilai memiliki akses evakuasi yang lebih baik dan berada di luar zona merah tsunami.
Menurut Abdullah, rekonstruksi ekonomi Kota Palu harus tetap berjalan, tetapi tidak boleh mengorbankan keselamatan warga. Ia menekankan, Palu sebagai kota yang pernah mengalami bencana besar harus menempatkan mitigasi sebagai dasar pembangunan. Wisata kuliner dan UMKM dapat dikembangkan, tetapi harus diposisikan pada area aman dan sesuai dengan peta risiko.
“Kita tidak menolak UMKM, yang kita tolak adalah risiko besar yang muncul jika kegiatan massal ditempatkan di zona merah tsunami. Memfasilitasi kegiatan warga di lokasi yang memiliki risiko tinggi sama saja dengan menyuruh mereka menjemput bencana.” ujar Abdullah menutup penjelasannya.
Dengan meningkatnya dinamika wacana ini, Pemerintah Kota Palu dijadwalkan akan melakukan pembahasan lanjutan bersama BRIDA, BPJN Sulteng, akademisi, dan pemangku kepentingan untuk memastikan arah pemanfaatan elevated road ke depan. Perdebatan ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan pemulihan ekonomi, pengembangan kota, dan keselamatan publik dalam satu kerangka kebijakan yang matang.






