PALU, MERCUSUAR – Fenomena dugaan praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulteng, dinilai bukan sekadar isu teknis kebijakan pemerintah daerah semata, dalam hal ini terkait dengan kebijakan pergantian jabatan dalam lingkup organisasi pemerintahan daerah Provinsi Sulawesi Tengah, sebagaimana yang telah ramai ditanggapi oleh berbagai pihak. Lebih dari itu, secara politik kultural, menunjukkan bagaimana pihak-pihak yang berada dalam pusaran dan lingkaran kekuasaan, masih seringkali terjebak dalam imajinasi liar dan hasrat buruk, yang menjadi rujukan dalam berkuasa.
Demikian dikatakan antropolog Universitas Tadulako (Untad), Drs. Muh. Nasrum, M.Sc, Selasa (10/5/2022). Kata dia, fenomena ini sebenarnya, setali tiga uang dengan munculnya praktik-praktik relasi kuasa yang bersifat oligarkis, dan itu tidak hanya terjadi di pemerintahan daerah saja, namun juga di aras nasional yang terhubung dengan partai politik,menjadi sumber kekisruhan seperti yang disebut-sebut sebagai politik dinasti itu.
Celakanya kata dia, itu bukan hanya terjadi di alam politik praktis, dunia pendidikan tinggi juga jadi arena kontestasi politik praktis ugal-ugalan, dan ini sangat berbahaya karena kelakuan buruk itu turut terbawa dalam proses penanaman nilai pendidikan generasi muda kita. Secara kultural menurutnya, ada yang berjalan salah arah, dalam menafsirkan antara kebijakan dan kekuasaan di satu sisi, dan preferensi nilai-nilai.
“Saya bisa jelaskan secara konkret seperti ini, orang-orang masih melihat bahwa jabatan adalah sesuatu ‘modal yang terbatas’, bukan sebagai kesempatan untuk membawa arus perubahan bagi publik,” ujarnya.
Akibatnya kata dia, terjadi persaingan yang tidak hanya merujuk pada kompetensi rasional, tapi juga tak jarang irasional.
“Katakanlah aktor-aktor yang terlibat dalam jual-beli itu dipertemukan dalam satu kepentingan yang sama, yaitu untuk memenangkan kesempatan dalam meraih modal yang terbatas tadi, yaitu jabatan sebagai suatu perpanjangan dari barang-barang atau benda-benda atau kesenangan, yang dalam studi antropologi klasik, ini yang biasa disebut sebagai ‘image of limited good’. Dengan demikian, saya menganggap bahwa kesadaran sebagian besar dari orang-orang yang diduga tersebut, baik ‘penjual’ maupun ‘pembeli’, sebenarnya belum banyak berubah dari periode agraris-feodal, padahal katanya saat ini kita telah hidup di semesta maya,” jelasnya.
Mestinya kata dia, desentralisasi atau otonomi daerah yang sebenarnya salah satu tujuannya yang paling mendasar adalah mendorong arus kesadaran demokratis, dalam ide dan praktik pemerintahan di daerah, mampu mengikis habis penyakit lama ini di jajaran birokrasi pemerintahan. Tetapi nampaknya itu seperti melalui jalan terjal, malah terjadi semacam pukulan balik dengan munculnya fenomena ‘politik dinasti’.
“Ini adalah PR kita bersama yang harus terus diperjuangkan, pekerjaan berat karena tidak kasat mata dan beroperasi dalam alam kesadaran, yang tidak cukup hanya dengan slogan revolusi mental. Kembali ke kasus dugaan jual-beli tersebut, Saya percaya pak gubernur akan bekerja keras menuntaskan kekisruhan ini secara transparan, tapi jangan lupa, lebih penting lagi agar kita semua berani mengoreksi dan membenahi kemungkinan terjadinya kasus yang sama, di manapun tempat kita bergiat,” tandasnya. JEF