PALU, MERCUSUAR – Aksi unjuk rasa beberapa pekan ini di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Sorotan juga datang dari tokoh dan juga aktivis reformasi, Agussalim Faisal. Melihat kondisi yang ada, Agus berpendapat, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh elemen mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat, menandakan adanya kekeliruan dari pemerintah sekarang, dalam menjalankan agenda reformasi dan kebebasan dalam kehendak politik, di negara yang menganut demokrasi ini.
Ia menyatakan, kehendak politik itu ada dua fakta dalam demokrasi. Pertama pihak berkuasa menjalankan kehendak politiknya. Kedua, rakyat dan mahasiswa menuntaskan agenda demokrasinya.
Hal itu ditegaskan Agus kepada sejumlah wartawan, Rabu (2/10/2019). Menurutnya, reformasi telah dibajak oleh para penguasa, lantaran demokrasinya memakan korban. Melihat situasi sekarang sebut Agus, demokrasi tengah berada di titik nadir.
“Terbukti reformasi telah dibajak. Sistem kan sudah baik, janganlah aksi – aksi massa dan khususnya dari mahasiswa dianggap sesuatu bukan berdemokrasi,” tegas Agussalim.
Ia menegaskan, mestinya diperlukan suatu sistem pengetahuan yang berbasis kebudayan manusia nusantara menuju Indonesia yang merdeka, dari peristiwa penjajahan dan nepotisme feodal politik. Agussalim melihat, demokrasi saat ini telah menjadi alat politik penguasa dari tradisi liberal. Sebut saja, bias isu parlemen menggagas berbagai produk hukum kontroversial.
“Antagonis presidensial ikut menciptakan “ontos” dan “logos”, rakyat keluar dari manifestasi konstitusi negara,” katanya.
Menurutnya, rakyat berdaulat ternyata hanya ada dalam logika normatif Undang – Undang Dasar (UUD) 1945, namun yang terjadi justru dengan bahasa ontologi politik. Di mana bekerjanya demokrasi mengalami era baru penjajahan dengan apa yang sering disebut Bung Karno dan Bung Syahrir sebagai nekolimnya kaum feodal modern.
Agus menegaskan, birokrasi pemerintahan presidensial saat ini merupakan titik nadir demokrasi yang belum menjawab agenda reformasi 1998. Sebagai salah seorang pelaku reformasi 98 saat menumbangkan rezim Orde Baru (Orba), dirinya mengutuk keras aksi mahasiswa terjadi memakan korban. Meski berbeda dengan 98, korban jatuh dikarenakan musuh bersama final dalam menyatunya kekuatan rakyat dan aksi mahasiswa.
“Namun saat ini kan berbeda kondisinya. Keterbukaan dan inisiatif kritis menyuarakan aspirasi memiliki kualitas tersendiri dalam berdemokrasi,” jelas Agus.
Sebab itu, lanjutnya kehendak politik rezim dengan kebudayaan yang melahirkan demokrasi sebagai sistem oleh rakyat dan mahasiswa wajib dan prinsip memiliki kedudukan tertinggi menjaga negara dan ideologinya.
Agus berharap, semoga kejadian tragedi aksi mahasiswa beberapa hari ini cepat tuntas dan dipenuhi tuntutannya oleh pengendali kuasa politik saat ini. Sebab bagaimanapun juga, mahasiswa adalah anak revolusinya rakyat di semua negeri. Reformasi 98 adalah hasil nyata tugas revolusi mahasiswa. Dan multi partai yang hadir saat ini merupakan buah dari perjuangan mahasiswa. BOB