Asa di Atas Patahan, PFI Palu Pamerkan 60 Karya Foto Jurnalistik

Ketua PFI Palu, Muh. Rifki, saat menjelaskan foto-foto yang dipamerkan kepada pengunjung, pada pembukaan pameran foto jurnalistik bertajuk "Asa di Atas Patahan", Senin (15/9/2025). FOTO: DOK PFI PALU

PALU, MERCUSUAR – Tujuh tahun setelah bencana dahsyat mengguncang Palu, Sigi, dan Donggala, sisa-sisa luka masih tertinggal. Namun, di tengah retakan tanah dan kenangan kelam, harapan terus tumbuh. Itulah pesan yang ingin disampaikan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu melalui pameran foto jurnalistik bertajuk “Asa di Atas Patahan”.

Digelar sejak 15 hingga 17 September 2025 di Palu Grand Mall, pameran ini menampilkan 60 karya foto dari 25 pewarta foto, baik lokal maupun internasional. Setiap bingkai gambar bukan hanya dokumentasi, tetapi juga refleksi atas ketangguhan dan daya hidup warga Sulawesi Tengah yang terus membangun kembali kehidupannya pascabencana.

Berbeda dari pendekatan visual bencana yang umumnya sarat dengan citra kehancuran dan penderitaan, pameran ini menekankan sisi lain, yakni semangat bangkit, solidaritas, dan keberlanjutan hidup.

Dewan Pakar PFI yang juga kurator pameran, Basri Marzuki mengatakan, pameran ini juga menjadi ruang kritik dan evaluasi terhadap cara para pewarta bekerja selama peristiwa bencana. Menurutnya, foto jurnalistik tidak hanya soal menangkap momen dramatis, tetapi juga soal menghadirkan empati dan martabat.

“Pewarta foto bukan sekadar mata di lapangan, tapi juga hati yang merekam. Sering kali kita terlalu fokus pada korban dan tangisan, padahal ada cerita lain yang sama pentingnya, yakni soal bertahan, soal harapan,” ungkap Basri.

Ketua PFI Palu, Muhammad Rifki, dalam sambutannya mengatakan, karya-karya yang ditampilkan tidak hanya berasal dari Palu, tetapi juga dari wilayah lainnya, bahkan Malaysia menandakan, bencana kemanusiaan adalah isu lintas batas. Lewat pendekatan partisipatif, PFI Palu membuka ruang kolaborasi, di mana narasi tentang luka dan penyembuhan disampaikan dari berbagai perspektif.

Menurut Rifki, ketimbang menjadi ruang nostalgia tragedi, pameran ini menjadi titik temu antara masa lalu dan masa depan, sebuah pengingat bahwa di atas tanah yang retak, kehidupan bisa tetap tumbuh. IKI

Pos terkait