Bahasa Kaili Terancam Punah

Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah, Dr. Asrif, M.Hum., saat peluncuran kamus dwibahasa baru-baru ini di Kota Palu. FOTO: IST

TONDO, MERCUSUAR – Bahasa Kaili, bahasa asli suku terbesar di Sulawesi Tengah, kini berada dalam ancaman kepunahan. Generasi muda semakin jarang menggunakan bahasa ini, bahkan di kota Palu, yang merupakan ibu kota provinsi dan memiliki mayoritas penduduk suku Kaili, hampir seluruh wilayahnya kini masuk dalam kategori merah penggunaan bahasa Kaili. 

Hal ini mengindikasikan semakin menurunnya pemakaian bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Lebih memprihatinkan lagi, perhatian dari pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun Kota Palu, terhadap pelestarian bahasa daerah sangat minim. Tak ada kebijakan yang jelas untuk melindungi bahasa Kaili dalam bentuk peraturan gubernur (Pergub), peraturan wali kota (Perwali), maupun peraturan daerah (Perda). 

Keadaan ini disampaikan oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah, Dr. Asrif, M.Hum., saat peluncuran kamus dwibahasa baru-baru ini di Kota Palu.

Menurut Dr. Asrif, bukan hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab, tetapi juga perguruan tinggi di Sulawesi Tengah. Sebagai institusi akademik, mereka seharusnya lebih peduli dan tidak hanya diam melihat kondisi tersebut. 

“Pemerintah dan akademisi diharapkan bergerak untuk menyelamatkan bahasa Kaili agar tidak semakin tergerus oleh perkembangan zaman,” sebutnya.

Lebih lanjut, Dr. Asrif menjelaskan, seharusnya suku Kaili sebagai suku terbesar di Sulawesi Tengah bahasanya bisa menyebar ke daerah lain. Bahasa Kaili seharusnya dapat dipakai di wilayah seperti Kulawi, Pamona, dan daerah suku lainnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahasa ini semakin terpinggirkan.

“Hal ini jauh berbeda dengan suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, dan Bali, yang bangga dan tetap menjaga bahasa daerah mereka, bahkan ketika berada di luar provinsinya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Bugis, Jawa, dan Bali tetap menggunakan bahasa daerah mereka saat bertemu sesama suku, meskipun berada jauh dari kampung halaman,” katanya.

Kondisi ini memprihatinkan, karena jika tidak ada tindakan serius, generasi mendatang hanya akan mengenal bahasa Kaili melalui buku sejarah. Lebih buruk lagi, tidak ada satupun tokoh atau politisi asal suku Kaili yang mengangkat isu kepunahan bahasa ini. 

“Jika dibiarkan, bahasa Kaili akan semakin terpinggirkan dan menuju kepunahan,”tegasnya.

Fenomena ini juga mencerminkan masalah yang ada di masyarakat, di mana para ibu merasa bangga ketika anak-anak mereka bisa berbicara bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing, namun tidak merasa sedih jika anak-anak mereka tidak menguasai bahasa daerah.

Oleh karena itu, Dr. Asrif mengajak para orang tua untuk mulai membiasakan menggunakan bahasa daerah di dalam rumah. Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa daerah mereka.

“Pelestarian bahasa daerah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan semua pihak yang peduli terhadap kebudayaan dan warisan lokal. Jika langkah-langkah penyelamatan tidak segera diambil, bahasa Kaili yang kaya akan nilai budaya ini bisa saja hilang selamanya,” pesannya. UTM

Pos terkait