PALU, MERCUSUAR – Sekretaris Jenderal Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah (Sulteng), Nurlaela Lamasitudju menyebutkan, ada beberapa poin tentang penanganan pascabencana yang perlu menjadi perhatian bersama. Hal ini menurutnya, terangkum dalam 9 karya jurnalistik yang dihasilkan oleh 9 jurnalis di Palu, dalam program fellowship yang diinisiasi oleh Tempo Institute, IMS, dan AJI Palu, sebulan lalu.
Ella sapaan akrabnya menyebut, dalam proses penanganan pascabencana ini, aspek humanistis dalam penyelenggaraan layanan terabaikan. Hal itu berasal dari mentalitas korup aparat yang masih terus berlangsung, dan tercermin dari praktik curang yang dilakukan, seperti beras busuk di bantuan jadup, bantuan perahu yang ternyata adalah perahu bekas, kualitas huntara yang buruk dan rawan pelecehan seksual, serta masalah-masalah lainnya.
Mental ini kata dia, tidak hanya tercermin dari momen pascabencana, tapi jauh sebelum bencana 28 September 2018 terjadi.
Kemudian kata dia, hal ini diperparah dengan kerja-kerja penanganan bencana yang dilakukan secara lintas sektoral, terlihat masih parsial. Menurutnya, penanganan lintas sektor cenderung hanya bergerak sendiri-sendiri dan kadang tumpang tindih satu dengan yang lain.
Nurlaela juga berharap agar prinsip transparansi dan akuntabilitas, menjadi bagian yang melekat dalam penyelenggaraan layanan bantuan korban bencana. Pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan terkait penanganan pascabencana kata dia, juga menjadi hal penting yang harus diperhatikan pemerintah.
“Sesungguhnya, bukan bencananya yang membuatnya trauma. Namun yang membuat trauma, adalah persoalan penanganan dan ketiadaan kepastian tentang bagaimana hidup penyintas setelah bencana,” ujarnya.
Uraian tersebut disampaikan Ella, dalam diskusi membahas karya jurnalistik dalam rangka setahun bencana, yang diinisiasi oleh Tempo Institute, IMS dan Mercusuar, Jumat (11/10/2019) di Rumah Peduli SKP-HAM Sulteng.
Diskusi yang dihadiri peserta lintas sektoral ini, membahas 9 karya jurnalistik yang dihasilkan oleh 9 jurnalis di Palu, dalam program fellowship yang diinisiasi oleh Tempo Institute, IMS, dan AJI Palu.
Sementara itu, pengamat kebencanaan, Drs. Abdullah, MT, menyebut, akuntabilitas dalam kerja-kerja penanganan pascabencana, bisa juga diarahkan ke pihak donor atau relawan. Menurutnya, di beberapa desa, distribusi bantuan tumpang tindih, bahkan terkadang, di satu desa, ada tiga bahkan lebih LSM yang melakukan penanganan pasca bencana.
Selain itu, dia mengajak semua pihak, mencermati rencana strategis daerah untuk mitigasi bencana, agar tidak salah arah. APBD Sulteng kata dia, perlu lebih akomodatif terhadap strategi dan rencana tanggap bencana.
Sementara Asisten II Gubernur Sulawesi Tengah, Bunga Elim Somba mengapresiasi karya jurnalistik edisi setahun bencana Sulawesi Tengah yang ditulis 9 wartawan di Palu. Karya-karya jurnalis itu menjadi masukan untuk menyusun konsep penanganan korban bencana yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Selain Elim Somba, pembicara lainnya adalah Abdullah dari akademisi, Ibnu Mundzir dari Bappeda Palu, Sekjen SKP-HAM Sulteng, dan Nurlaela Lamasitudju, dipandu moderator Neny Muhidin. Hadir pula Direktur Program Tempo Institute, Sopril Amir.
Sebelum diskusi dimulai, 9 jurnalis diberi kesempatan masing-masing menceritakan bagaimana proses mengumpulkan bahan, menulis, dan menerbitkan karyanya berupa liputan mendalam dan liputan investigasi setelah menggarapnya selama dua bulan.
Sebelumnya, para wartawan mengikuti workshop selama tiga hari. Kemudian dipilih 10 jurnalis yang terbaik mengajukan proposal isu untuk liputan. Ke-10 jurnalis itu kemudian mengikuti master class selama dua hari sebelum melakukan liputan.
Sembilan jurnalis yang menyelesaikan tugasnya adalah Kartini Nainggolah, Jefrianto, dan Tasman Banto ketiganya dari Mercusuar. Kemudian ada Syamsuddin dan Muh Izfaldi dari MAL, Rahmat Dani (Rajawali TV), Polis Muchlis (Kompas TV), Erna Dwi (Kompas.com), dan Syamsu Rizal (Metro Sulawesi).JEF