Kejadian bencana alam 28 september 2018, 16 bulan lalu, sebenarnya mengajarkan kepada kita, bahwa kemampuan memitigasi bencana dan menyiapkan alternative teknis untuk penyelematan warga pada saat sebelum dan pasca bencana, sesunguhnya belumlah mencukupi, jika tidak mengintervensi satu titik krusial yang sebenarnya, juga harus dipahami secara utuh oleh para pihak yang turut terlibat dalam penangaan bencana secara holistic, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah lainnya.
Titik krusial tersebut adalah proses pemindahan masyarakat/relokasi yang terkena bencana ketempat hunian baru yang aman dari bencana.
Belajar dari berbagai tempat yang pernah melaksanakan relokasi masyarakat pasca bencana, bahwa lokasi pemukiman (location) tidak otomatis sama dengan tempat tinggal (place), bahkan ditemukan bahwa bencana itu suatu hal yang disruptif, namun pelaksanan rekolasi itu lebih disruptif, sedangkan relokasi permanen makin disruptif, yang bukan hanya terjadi dan dirasakan akibatnya pada level individu samata, namun juga pada level komunitas.
Kejadian di Merapi Jogjakarta, misalnya, mengambarkan bahwa proses relokasi yang dilakukan mengakibatkan masyarakat Merapi kehilangan ruang hidup yang terintegrasi, yang berdampak pada kehilangah makna tempat di lokasi tempat tinggalnya yang baru.
Fakta bencana alam di Kota Palu, menyebabkan sebanyak 3.182 orang meninggal dunia, dan jumlah pengungsi sebanyak 40.137 jiwa atau 10.720 KK, adapun kerusakan rumah sebanyak 55.569 unit, terdiri dari rusak berat sebanyak 11.643 unit, rusak sedang 16.050 unit, rusak ringan sebanyak 6.522 unit, dan rumah yang hilang akibat likuifaksi dan tsunami sebayak 6.522 unit.
Kejadian bencana tersebut mengajarkan beberapa hal sederhana, diantaranya yaitu beberapa wilayah di Kota Palu, sebenarnya memang tidak cocok untuk menjadi daerah terbangun, dan hal itu mengakibatkan lokasi pemukimannyapun otomatis menjadi terbatas.
Untuk itu pemerintah Kota Palu, perlu membuat beberapa kebijakan yang bertujuan menjamin keberlangsungan pembangunan dan penghidupan di Kota Palu secara lestari dan berkelanjutan serta aman dari bencana di masa depan.
Untuk menjamin keberlangsungan prikehidupan yang selaras antara keseimbangan investasi dan keamanan dari bencana, maka pemerintah wajib mengidentifikasi dan mengelola data dan informasi sebaik mungkin, dengan cara penyiapan informasi dan data yang relevan untuk kondisi pemukiman dan ini mutlak harus diketahui dan melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling awal menerima dampak kebijakan tersebut, agar dapat diterima baik secara sosiak, budaya maupun lingkungan.
Peran para saintis kebencanaan yang telah sukses menyusun analisis multi resiko melalui pembuatan Zona Rawan Bencana, haruslah juga mengiku sertakan para ahli komunikasi massal dan sejarah local untuk merekam kembali berbagai data historis kebencanaan, untuk dimanfaatkan sebagai upaya estimasi bencana masa depan, sebab kita paham, hukum priode pengulangan suatu bencana, khsuusnya bencana geologis.
Untuk pemilihan lokasi hunian pasca bencana, proses demokratisasi pemilihan lokasi hunian, juga harus terus didorong dan diseriusi pelaksanaannya, jangan sampai pragmatisme dan mental terabas yang sangat project oriented terlalu dikedepankan dengan alasan praktis, padahal keikutsertan warga dalam proses village planning sebagai bagia instrumen rekonstruksi kelurahan yang terkena dampak menjadi laboratorium besar untuk terwujudnya slogan Palu Kuat, Palu Bangkit, membangun kembali lebih baik, bisa dimulai dari lokasi pemukiman warga.
Mainstriming pembangunan perumahan tangguh bencana, harus sudah terskenario secara serius, keberadan dokumen tata ruang seperti Rencana Detail Tata Ruang/RDTR dan Peraturan Zonasi/PZ yang akan disusun haruslah sudah memuat building code yang ketat dan benar-benar sensitif kebencanan, keberadan Tim Ahli Banguan Gedung/TABG yang powerfull, dari mulai aspek perencanaan sampai pengawasan sangat dibutuhkan, serta memastian terbangunnya mitigasi struktural dan non struktural berupa keterlibatan kelembagaan masyarakat, lembaga adat dan satuan tugas K5 yang telah terbukti aktif dikelurahan di Kota Palu, dapat diikut sertakan, tentu saja dengan terlebih dahulu memberikan bekal pengetahuan praktis dalama mendorong pemwujudan proses mitigasi non struktural bisa berjalan seperti yang diharapkan bersama, Wallahu alam.***
Penulis adalah Birokrat Muda Kota Palu