Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
“Selamat datang di Kota Palu,” kelakar seorang teman kepada kawannya yang baru berkunjung ke Kota Palu, ketika pemadaman listrik terjadi di medio 2000-an. Kelakar ini hadir bukan tanpa alasan. Hingga periode awal 2000-an, wilayah Kota Palu identik dengan pemadaman listrik. Pemadaman listrik berjam-jam dengan waktu pemadaman yang tidak pasti, jadi hal yang biasa bagi masyarakat Kota Palu saat itu.
Dengan beban puncak pemakaian listrik berkisar antara 70 -80 an Megawatt (MW) saat itu, kehadiran tiga unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Silae yang masing-masing berkapasitas 1,3 Megawatt (MW), jelas bukan jawaban. Pada 2007, harapan baru lahir dengan hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Panau yang dioperasikan oleh PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP). Pembangkit listrik yang diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono ini, memiliki daya suplai rata-rata berkisar antara 48-58 MW. Sementara daya mampu yang dihasilkan mencapai 66 MW dari 4 unit pembangkit yang berkapasitas 2 x 15 MW dan 2 x 18 MW.
Kehadiran PLTU Panau dan PLTD Silae, menjadi jawaban bagi permasalahan listrik di Kota Palu. Frekuensi pemadaman listrik mulai berkurang. Namun 10 tahun beroperasi, PLTU Panau terus berhadapan dengan kritikan soal dampak lingkungan yang ditimbulkan, terutama untuk warga sekitar lokasi pembangkitnya. Puncaknya pada 22 Januari 2018, masyarakat dari beberapa kelurahan, yakni Kelurahan Panau, Lambara dan Kayumalue menggelar aksi dengan memblokade jalan Trans Sulawesi, dengan tuntutan agar pemerintah menghentikan aktivitas PLTU Panau karena dampak lingkungan yang ditimbulkan. Bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018, kemudian menjadi penghujung aktivitas PLTU Panau.
Tidak beroperasinya PLTU Panau menimbulkan tanda tanya besar, kemana Kota Palu harus berharap untuk pasokan listriknya. Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang dioperasikan oleh PT Poso Energy, menjadi jawaban. Dibangun sejak 2003 dan mulai beroperasi di 2012, baru pada 2016 atau dua tahun sebelum PLTU Panau berhenti beroperasi, PLTA Poso mulai mengalirkan listrik ke wilayah Kota Palu sebanyak 28 MW. Pasokan listrik ini menopang beban puncak Kota Palu saat itu, yang berkisar antara 70-80-an MW.
Dalam rentang tiga tahun hingga 2019, beban puncak Kota Palu meningkat dari 70-80 MW, menjadi 142 MW. Pada 2023, Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid menyebut, beban puncak penggunaan listrik di Kota Palu berkisar antara 130-140 MW. Kebutuhan pasokan listrik yang besar ini, sepenuhnya bergantung pada pasokan listrik sebesar 150 MW dari PLTA Poso.
Kehadiran pembangkit dengan kapasitas 515 MW di Poso yang diresmikan pada 25 Februari 2022 oleh Presiden RI, Joko Widodo, diharapkan akan menjadi pembangkit peaker yang akan dioperasikan selama waktu beban puncak di sistem Sulawesi Bagian Selatan. Kehadiran pembangkit ini juga menjadi kabar gembira bagi masyarakat Sulteng, khususnya Kota Palu, yang bergantung pada pasokan dari PLTA Poso.
Potensi Sungai Poso sebagai pembangkit listrik, telah dilirik sejak jaman kolonial. Surat kabar berbahasa Belanda, De Locomotief dalam artikel berjudul Waterkracht-onderzoek in de Buitengewesten (penelitian pembangkit listrik tenaga air di daerah luar) yang terbit pada 3 Juni 1919 menyebut, Dienst voor Waterkracht en Irrigatie (Pelayanan Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Irigasi) atau departemen yang menangani masalah PLTA dan Irigasi di Hindia Belanda, melakukan eksplorasi tenaga air untuk PLTA di beberapa tempat Sulawesi Tengah (saat itu Midden Celebes), termasuk di Sungai Poso. Hasilnya, Sungai Poso disebut memiliki potensi besar untuk dieksplorasi menjadi PLTA, dengan proyeksi daya listrik mencapai 500.000 PK atau 367 MW. Potensi inilah yang di kemudian hari dioptimalkan oleh Poso Energy, lewat PLTA Poso, yang dampaknya dirasakan di separuh Sulawesi, termasuk Sulteng.
Ketergantungan pasokan listrik Kota Palu terhadap PLTA Poso terbukti, saat pasokan listrik menurun dan berujung pada pemadaman bergilir sejak Oktober 2023, sebagai dampak dari El Nino, yang menyebabkan debit air di Sungai Poso menurun. Pemadaman listrik yang terjadi sebagai dampak dari El Nino ini, sangat dirasakan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat, utamanya pelaku UMKM. Is, salah seorang pelaku usaha minuman dan makanan ringan di Tawaeli misalnya, mengeluhkan pemadaman listrik yang kerap terjadi. Menurutnya, pemadaman listrik ini berpengaruh ke usahanya, karena usaha minumannya menggunakan perangkat elektronik seperti blender, kompor listrik, dan kulkas untuk menyimpan es batu.
“Pemadaman membuat es batu yang saya simpan mencair dan tidak bisa digunakan untuk menjual. Bahan makanan yang saya pakai menjual juga tidak bisa disimpan lama karena cepat busuk kalau kulkas tidak ada listrik. Kemudian saya harus membeli lagi blender manual karena blender saya tidak bisa dipakai karena listrik padam. Belum lagi kompor listrik yang biasa saya pakai bikin sosis bakar, tidak bisa dipakai kalau listrik padam. Kalau begini terus, bisa rugi saya,” keluhnya.
General Manager PLN UID Suluttenggo, Ari Dartomo, kepada Mercusuar, Selasa (5/12/2023) lalu mengatakan, kemarau panjang selama beberapa bulan terakhir, mengakibatkan turunnya debit air di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH), yang memegang 33 persen dari total pasokan listrik di Sistem Sulawesi bagian Selatan (Sulbagsel). Hal tersebut berdampak pada pengoperasian pasokan listrik, yang menyebabkan kemampuan PLTA turun sekitar 75 persen dari 850 Megawatt (MW), menjadi hanya 200 MW.
Hal ini pun diamini Business Development Manager PT Poso Energy, Ismet Rahmad Kartono, saat Workshop dengan PWI Sulteng, 21 November 2023 lalu. Menurutnya, PT Poso Energy sudah mendesain PLTA ini akan selalu sanggup menghasilkan 515 MW dalam setahun, namun dengan El Nino yang dapat dikatakan sebagai bencana alam, terkadang rendahnya permukaan air Danau Poso melebihi desain PLTA Poso, sehingga PLTA Poso hanya bisa memproduksi 200 MW dari kemampuan i 515 MW.
Hal ini kata dia, diakibatkan penurunan debit permukaan air Danau Poso hingga mencapai 510 meter. Di desain PLTA Poso, debit permukaan untuk pengoperasian PLTA hanya sampai 510 meter. Bahkan, pihak Poso Energy bersama PLN, meminta ke Balai Wilayah Sungai (BWS) untuk menstabilkan permukaan danau. Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di daerah aliran sungai lokasi PLTA juga dilakukan untuk dapat menambah debit air secara berkesinambungan.
Terkait pemadaman listrik yang terjadi, Ismet juga mengatakan, sistem ketenagalistrikan PLN dengan adanya El Nino masih kurang stabil, sehingga pasokan listrik masih bisa defisit. Menurutnya, cadangan energi listrik yang disiapkan PLN ternyata masih kurang, menghadapi El Nino.
Ismet juga menjelaskan, untuk keberlangsungan pasokan listrik, pihaknya juga melakukan upaya untuk menjaga pasokan air danau dan sungai Poso. Dikutip dari laman resmi Poso Energy, sejak 2015 hingga 2022, luas area rehabilitasi lahan kritis pada Daerah Aliran Sungai DAS Poso yang telah dilakukan oleh Poso Energy adalah rehabilitasi DAS berdasarkan SK Rehabilitasi DAS dari KLHK, seluas 70.96 Ha pada Sub Das Mayoa dan Sub Das Kalaena tahun 2015 – 2021. Kemudian, rehabilitasi DAS Mandiri yang bekerja sama dengan kelompok tani dan Forum Pecinta Alam Tentena, seluas 131 Ha pada Sub Das Meko tahun 2019 -2022. Selanjutnya, penanaman Mandiri di area lahan milik masyarakat yang tersebar di area Danau Poso dan Sungai Poso pada 40 desa 5 kecamatan dengan jumlah 112.000 bibit seluas 273 Ha tahun 2015 – 2022.
Keluhan terkait pemadaman listrik bergilir ini, menunjukkan besarnya pengaruh pasokan listrik dari PLTA Poso ke Kota Palu, terutama pada sektor ekonomi mikro seperti UMKM. Untuk itu, PT Poso Energy sebagai pihak yang mengoperasikan PLTA Poso, perlu memikirkan ke depannya, bagaimana menghadapi situasi serupa atau bahkan lebih parah dari fenomena El Nino saat ini. Kehadiran PLTA Poso sangat vital untuk Kota Palu. Untuk itu, tidak berlebihan jika PLTA Poso disebut “Cahaya Terang Dari Sulewana Untuk Palu”. ***