BESUSU TIMUR, MERCUSUAR – Keputusan pemerintah menolak rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), terkait larangan mantan narapidana (napi) khususnya napi kasus korupsi untuk ikut serta dalam pencalonan legislatif beberapa waktu lalu, menuai pro kontra. Tidak sedikit yang menolak, namun tidak sedikit pula yang mengamini keputusan tersebut.
Koordinator Posko Menangkan Pancasila (PMP) Sulteng, Azman Asgar misalnya, menganggap keputusan pemerintah tersebut sudah tepat. Menurutnya, peluang mantan napi untuk ikut dalam bursa pencalonan legislatif harus dibolehkan, sebab hak mereka sebagai warga negara tidak boleh dihilangkan oleh penyelenggara negara.
“Bagaimanapun, mereka berhak memilih dan dipilih oleh orang lain. Itu merupakan hak politik dari para mantan napi itu sendiri,” ujarnya.
Menurut Azman, hukuman yang mereka (napi red.) dapatkan sewaktu dalam rumah tahanan, sudah cukup menjadi hukuman atas kesalahan yang pernah mereka lakukan. Rutan pun menurut dia adalah rumah untuk berbenah, juga bengkel untuk ‘memperbaiki’ setiap warga negara yang melakukan tindakan melawan hukum, bukan sebagai tempat yang menjadi tolak ukur kita mengukur baik dan tidaknya seorang manusia.
“Tidak ada yang menjamin mantan napi maupun yang tidak pernah tersentuh kasus hukum, bisa benar-benar menjadi wakil rakyat di parlemen maupun eksekutif. Berikan hak mereka sebagai warga negara, baik dipilih atau memilih sebagai calon anggota legislatif,” tegasnya.
Azman juga menyerukan agar negara memberi ruang kepada mereka untuk berbenah menjadi warga negara yang baik, bertanggung jawab atas pilihannya, serta bisa mengembangkan bakat yang mereka miliki, untuk didedikasikan sepenuhnya untuk masyarakatnya. Melarang pencalonan anggota legislatif hanya karena seseorang mantan napi, menurutnya terlalu berlebihan, sebab jika itu terjadi, negara sepertinya sudah terlalu jauh merampas hak-hak demokratis seseorang.
“Atas nama hak asasi, mereka berhak untuk dipilih atau memilih. Hanya saja kultur bangsa kita masih mengedepankan soal moralitas dalam melihat dan menilai sesuatu, sehingga kita kadang disuguhkan orang-orang baik secara formal saja, misalnya banyak orang jadi religius ketika momen politik elektoral akan dilaksanakan, namun paska pileg dan kontestasi lainnya, praktis tak lagi terlihat sikap religiusitas seperti saat kampanye. Ini salah satu contoh kecil, jika hanya moralitas yang jadi tolak ukurnya. Penting buat kita melihat kuantitas dan kualitas mereka, baik dari aspek gagasan, ide, maupun kerja-kerja yang kongkret adanya,” urainya.
Azman sendiri optimis dan percaya akan kebaikan serta kualitas kecerdasan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, juga dengan kualitas sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, yang harus terus-menerus dievaluasi adalah sistem hukum kita.
“Jangan lagi ada perlakuan berbeda antara maling sendal dan koruptor. Itu yang terkadang membuat rakyat mati kepercayaannya terhadap napi koruptor maupun pelecehan seksual, sehingga benar adanya jika rutan itu menjadi rumah berbenah diri, memperbaiki diri setiap warga negara untuk menjadi lebih baik dan mampu memberikan implikasi yang baik bagi para penghuninya, ketika kembali ke tengah-tengah masyarakat,” tutupnya. JEF